Saat sang waktu membenamkan diri dalam ungkapan syahdu, berbarengan dengan kepakan sayap burung walet kembali keperaduan, saat itu pula terlintas sebuah khayalan kebahagiaan dari sebuah kesederhanaan masyarakat pemilik pulau Ceningan.
Sebuah ungkapan puitis yang sangat agung untuk dilantunkan namun teramat miris apabila kita lihat dalam kenyataannya. Pulau Ceningan yang selama ini jarang kita ketahui secara mendetail kecuali sebuah pulau yang merupakan bagian dari propinsi Bali, ternyata memendam berbagai masalah yang amat sangat pelik. Apabila kita menelusuri pulau ini mulai dari arah laut maka yang tampak adalah gundukan bukit yang indah dan “terhiasi” beberapa cottages diatasnya, dan apabila kita menelusuri lebih jauh maka akan terlihat jalan-jalan yang “indah” karena hiasan lubang-lubangnya (perlu diketahui jalan itu adalah jalan swadaya masyarakat) dan hamparan rumput laut di tepi jalan.
Daerah yang bersambung dengan Nusa lembongan memiliki banyak sekali sumber daya hayati yang beroentasi ekonomi dan pariwisata, dimulai dari daya tarik laut, terumbu karang dan kondisi alam perbukitannya sangat ideal bagi sebuah tujuan pariwisata. Dan daerah ini sempat terusik oleh rencana besar pengembangan pariwisata sekitar tahun 90-an oleh BTDC (Bali Tourism Devolovment Coorporation) yang bermaksud menjadikan Pulau Ceningan sebagai kawasan pariwisata megah, tapi berkat keteguhan dan pendirian masyarakat Ceningan yang tidak setuju dengan pola wisata yang ditawarkan bahkan cenderung dipaksakan, akhirnya proyek itu gagal dilaksanakan dengan segala umpatan dari pihak investor.
Ternyata ini bukanlah masalah terakhir bagi masyarakat ceningan. Di Pulau ini terdapat sarang burung walet dipesisir utara pantai yang sampai saat ini masih terpelihara. Namun sayang beribu sayang ternyata walet yang ber-omset jutaan bahkan milyaran rupiah itu bukan sepenuhnya milik masyarakat adat Ceningan.
Fenomena walet, kekuasaan, dan investor.
Burung walet yang bersarang di gua pesisir pantai utara adalah walet yang sangat produktif , sekali panen kira-kira menghasilkan kurang lebih 35 kg sarang burung walet. Pada tahun 1995 dengan dalih demi pembangunan dan keefektifan pengelolaan sarang walet alias ketidakpercayaan Pemda tk II Klungkung kepada masyarakat Ceningan, secara tiba-tiba gua walet ini dikontrakkan kepada investor dalam hal ini diberikan kepada PT. Jaya Alam Semesta (PT. JAS ), dan tidak tangung- tanggung dikontrakan selama kurun waktu 20 tahun. Mengapa hal ini menjadi sangat ironis?
Secara logika apabila Jaya Alam Semesta ini sebagai investor seharusnya ada sesuatu yang berbentuk material yang ditanam sebagai konsekwensi awal sebuah investasi, namun perlu dilihat ternyata sarang burung walet yang ada disana adalah sarang burung walet alami dan bukan hasil penangkaran. Sebagai sebuah produksi alami dari burung walet ini tentunya tanpa investasi pun sarang ini akan tetap ada. Dan sangat bisa ditebak bahwasanya dengan modal dengkul pun maka sarang walet ini akan dapat terpelihara dengan baik.
Terus dari sini pasti akan muncul sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, apa yang di investasikan oleh PT. JAS dan apa alasan dari Pemda TK II Klungkung lebih mempercayai PT. JAS dari pada masyarakat setempat yang sudah bertahun-tahun mengetahui seluk beluk sarang dan burung walet ini. Sebuah pertanyaan yang sangat gampang dijawab, tak lain adalah kepentingan segelitir oknum/ kelompok alias terjadi praktik kolusi untuk kepentingan penguasa.
Kenapa penulis berani meyakinkan jawaban ini, karena selain logika diatas tadi, dapat juga kita lihat dari pembagian hasil antara investor dengan pemda. 20 persen hasil diserahkan ke Pemda Tk II Klungkung sementara 80 persen adalah untuk investor, terus buat masyarakatnya mana?. Kalau dikalkulasikan hasil dari produksi burung walet ini, akan menghasilkan hitungan hasil yang sangat mengejutkan. Dalam setahun sarang walet dipetik dalam masa 4 kali panen, sekali petik/panen rata-rata menghasilkan 35 kg sarang walet (seperti yang tadi diatas saya tulis) ,sementara harga sarang burung walet dipasaran per- kilonya mencapai 8juta bahkan bisa jadi sampai 12 juta. Bayangkan seandainya semua itu dihitung, maka sudah dapat dipastikan muncul angka yang mencengangkan.
Dalam kurun waktu setahun ,maka keuntungan sudah bisa didapat milyaran rupiah sementara kalau dibandingkan pengeluaran dan biaya investasi yang dikeluarkan (mengingat walet ini adalah produksi alam) maka cendrung bisa dikatakan nol jikalau diperbandingkan dengan omset yang didapat.
Sebenarnya hal ini sudah sejak lama meresahkan masyarakat Ceningan. Sebagai pemilik pulau tempat walet bersarang, jelas ada kekecewaan di dalam hati mereka. Menjadi penonton setia dibawah penindasan state dan kapitalis seakan-akan adalah takdir bagi mereka.
Berbagai bentuk protes dan perlawanan dari masyarakat terhadap keberadaan investor ini sudah berulang kali dilakukan, namun dengan kekuasaan state mereka tak bisa berkutik. Dari evaluasi keberadaan PT. JAS yang tak berbadan hukum pun pernah diserang, namun hal ini segera disiasati oleh state dengan memberikan keabsahsan kepada PT. Jaya Alam Semesta.
Sungguh sangat ironis dan bahkan tragis, kayanya alam yang dikeruk oleh Pemda dan para kapitalis secara sewenang-wenang, namun tetap saja menyisakan lubang-lubang jalan yang menggangga, aspal kelas tiga yang carut-marut dan segala kemiskinan.
Dalih tentang ketidakcakapan masyarakat Ceningan dalam pengelolaan sarang walet, termasuk managemen pemasarannya bukanlah alasan yang rasional dan logis. Seharusnya Pemda Tk II Klungkung sebagai pengayom masyarakat berani untuk membina masyarakat ceningan sekaligus mempercayakan pengelolaan walet ini, sebagaimana mereka dipercaya untuk mengelola rumput laut sebagai sumber perekonomian.
Perjanjian kontrak yang dilakukan oleh Pemda Tk II Klungkung tanpa melibatkan masyarakat Ceningan ,semakin menguatkan indikasi adanya penindasan dan pembodohan serta pemiskinan struktural. Sangat wajar apabila kejadian ini disikapi terus-menerus oleh masyarakat Ceningan sebagai pemilik pulau yang mau tidak mau akan berada pada garis depan tanggung jawab, baik secara sekala maupun niskala. Sehingga tidak ada lagi nyanyian ketertindasan dan ungkapan Bali,” cara kebo mebalih Gong “.
*Tulisan ini dibuat pada tahun 2000
bli Gendo, sekarang kasusnya sudah sampai mana kah? Apakah masih ada yang mendampingi kasus ini? segala bentuk penindasan terhadap rakyat harus di hapuskan, jangan lelah menyuarakan suara rakyat bli. Salam….