URGENSI VONIS REHABILITASI TERHADAP KORBAN NAPZA DI INDONESIA*

gendovara

URGENSI VONIS REHABILITASI TERHADAP KORBAN NAPZA DI INDONESIA*

Oleh: I Wayan “Gendo” Suardana**

 

I.     SEKAPUR SIRIH

Semenjak Indonesia membentuk regulasi mengenai Napza terkait dengan perang terhadap Napza, beribu-ribu bahkan berjuta-juta pengguna Napza ada dalam posisi yang tidak sebenarnya. Paradigma Negara yang menempatkan pengguna Napza sebatas hanya dalam kedudukannya sebagai pelaku kejahatan dapat terlihat secara jelas dalam berbagai regulasi nasional tentang NAPZA.

Paradigma yang dianut oleh Indonesia selama ini harus diakui sebagai factor utama dari terjadinya praktik dehumanisasi terdap pengguna napza. Paradigma Negara yang steoritif terhadap pengguna napza menular dan membentuk paradigma yang sirama kedalam masyarakat. Sehingga pengguna napza dituduh sampah, penjahat, dan berbagai stigma yang bersifat diskriminatif dan berujung kepada dehumanisasi. Lalu selesaikah persoalan? Ternyata  praktik dehumanisasi tetap terjadi namun prevelensi penyalahgunaan napza tidak pernah menurun secara signifikan.

Persoalan yang lain adalah; praktik dehumanisasi semakin menggeser posisi pengguna napza sebagai pelaku kejahatan dan melupakan bahwa mereka juga adalah korban yang melekat dengan segala hak-hak yang mesti disandangnya. Disaat Negara ini melanggengkan kriminalisasi terhadap pengguna napza, namun di belahan dunia yang lain terjadi perkembangan yang cukup signifikan terhadap penggiuna napza dengan melakuakn tindaka-tindakan dekriminalisasi terhadap pengguna napza dan mengembalikan kedudukan pengguna sebagai korban.  Di Negara kita malah saat ini telah mulai persiapan amandemen regulasi napza, namun samapi saat ini belum ada wujud yang kongkrit di dalam Rancangan regulasi yang dibuat (RUU Narkotika) untuk menempatkan pengguna napza tidak hanya sebagai kriminal tetapi juga menitikberatkan bahwa pengguna adalah korban. Di Indonesia, dekriminalisasi pengguna napza baru sebatas wacana dan sedikit tindakan diskresi Kapolri terhadap pecandu anak-anak. Sementara  kriminalisasi makin massif ternyata pada tingkat yang sama Negara sedang melakukan viktimisasi  korban napza.

Melihat kondisi diatas maka saya mencoba untuk memaparkan bagaimana kedudukan korban napza dalam ilmu hukum berikut hak-haknya.

Dari pertemuan terakhir, masih ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan ”forum” dari pembahasan gagasan-gagasan yang tertuang. Diantaranya;

a.   Bagaimana arti penting dari vonis rehabilitasi bagi pengguna napza di Indonesia?

Pertanyaan ini urgen untuk dijawab karena terkait dengan mengembalikan kekedukan napza sebagai korban sehingga berhak untuk mendapatkan reparasi.

II.   PENGERTIAN-PENGERTIAN

 

A.  PENGERTIAN KORBAN

 

Pembahasan tentang korban penting  diberikan untuk membantu menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan pandangan. Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli maupun yang bersumber dari peraturan-peraturan hukum nasional dan internasional mengenai korban kejahatan

1.   Menurut Arief Gosita, korban adalah: “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri  atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan”.[1]

2.    Muladi menyatakan bahwa korban (victims) adalah:

orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau ganguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui suatu perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.[2]

3.   Dalam perspektif viktimologi, pada fase new victimology[3]  Zvonimir Paul Separovic dalam bukunya yang berjudul “victimology, Studies Of Victims” memberikan pengertian tentang korban sebagai berikut:

…those person who are threatened, injured or destroyed by an act or omission of another (man, structure, organization, or institution) and consequently, a victim would be any one who has suffered from or been threatened by punishable act (ot only criminal act but also other punisable acts as misdemeanors, economic offenses, non-fulfilment of  work duties) or from an accident (accident at work, at home, trafict accident, etc). Suffering may be caused by another man (man made victim) or another structure where people are also involved.[4]

4.   Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002  pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, mendefinisikan korban: “orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk ahli warisnya”.

5.   Definisi korban menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah: “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

6.   Definisi korban menurut Resolusi Majelis Umum PBB 40/34 tertanggal 29 November 1995 tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of  Crime and Abuse of Power menyatakan:

persons who individually or collectively, have surffered harm, including pysical or mental injury, emotional suffering, economic  loss or substantial impairment or their fundamental rights,  troughs actor  omissions that are in violation of criminal laws operative within member States, including those laws proscribing criminal abuse power (Seksi A, Pasal 1)

 

atau

     …troughs act or omissions that do not yet constitute violations of national criminal laws but of  internationally recognised norms relating to human rights (Seksi B, Pasal 18)

Dari pengertian diatas, jelas bahwa korban adalah orang yang mengalami penderitaan karena sesuatu hal. Yang dimaksud dengan sesuatu hal disini adalah meliputi orang, institusi atau lembaga, struktur.

Korban pada dasarnya tidak hanya orang-perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.[5]

B.  KORBAN NAPZA DALAM PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI

    

Dalam perspektif viktimologi  terutama mengenai tipologi korban, terdapat beberapa pendapat ahli hukum mengenai korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, maka korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika menurut Ezzat Abdul Fateh,  adalah dalam tipologi; “false victims yaitu mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri’.[6]

Dari perspektif tanggungjawab korban, menurut Stephen Schafer menyatakan:

Self-victimizing victims adalah mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Beberapa literatur menyatakan ini sebagai kejahatan tanpa korban.

Akan tetapi, pandangan ini menjadi dasar pemikiran bahwa tidak ada kejahatan tanpa korban. Semua atau setiap kejahatan melibatkan 2 hal, yaitu penjahat dan korban. Sebagai contoh dari self-victimizing victims adalah: pecandu obat bius (koersif-penulis), alkoholisme, homoseks, judi. Hal ini berarti pertanggungjawaban terletak penuh pada si pelaku, yang juga sekaligus merupakan korban.[7]

Menurut Sellin dan Wolfgang, korban penyalahgunaan narkotika dan psikotropika adalah merupakan: “mutual victimization  yaitu yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri. Misalnya: pelacuran, perzinahan, narkotika[8] (koersif-penulis).[9]

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli hukum mengenai tipologi korban dalam perspektif viktimologi dapat dinyatakan, bahwa pecandu narkotika dan psikotropika adalah merupakan self-victimizing victims, yaitu seseorang yang menjadi korban karena perbuatannya sendiri. Namun, ada juga yang mengelompokannya  dalam victimless crime atau kejahatan tanpa korban karena kejahatan ini biasanya tidak ada sasaran korban, semua pihak terlibat.[10]

Hal ini senada dengan Rumusan teoritis Savitz bahwa suatu perbuatan dinyatakan jahat haruslah menimbulkan korban dan korban itu adalah orang lain. Di sini timbul pertanyaan, bagaimana bila korban tersebut adalah diri sendiri? Dalam criteria Savitz,  apabila hanya diri sendiri yang menjadi korban bukan sebagai kejahatan. Apabila seorang pengguna narkoba menggkonsumsi barang haram itu, hanya untuk dirinya sendiri, dalam konteks criteria Savitz, pengguna tersebut bukan pelaku tindak pidana.

Dari hukum nasional yang mengatur mengenai tindak pidana NAPZA, juga ada penegasan pecandu NAPZA selain adalah pelaku kejahatan juga adalah sebagai korban:

A. Dalam konteks UU no. 5/1997 tentang psikotropika dan UU no. 22/1997 tentang Narkotika dinyatakan sebagai berikut:

a.   pasal 37 ayat 1 UU no. 5/1997 menyatakan:

“pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban ikut serta dalam pengobatan dan atau perawatan”.

b.   pasal 44 ayat 1 UU no. 22/1997 tentang Narkotika, intinya menegaskan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan atau perawatan pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan dan membawa narkotika, dengan syarat narkotika tersebut diperoleh secara sah. Pada pasal 45  undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pecandu wajib menjalani perawatan dan pengobatan.(kursif: penulis).

C.  REHABILITASI SEBAGAI BAGIAN DARI HAK KORBAN

Ada beberapa hak-hak umum yang disediakan bagi korban dan keluarga korban kejahatan yang meliputi:[11]

a.   Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti negara atau lembaga khusus yang bentuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban;

b.   Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi (huruf tebal: penulis)

c.   Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;

d.   Hak untuk memperoleh bantuan hukum;

e.   Hak untuk memperoleh hak (harta) miliknya;

f.     Hak untuk memperoleh akses pelayanan medis;

g.   Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau pelaku buron dari tahanan;

h.   Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan  yang menimpa korban;

i.     Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor telepon  atau identitas korban lainnya.

Demikian juga pada pasal 6 undang-undang menyatakan: korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan:

a. bantuan medis; dan

b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial. (huruf tebal; penulis)

Dalam penjelasannya dinyatakan: “yang dimaksud dengan “bantuan rehabilitasi psiko-sosial” adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban”

Dalam hukum internasional, reparasi adalah hak korban yang tidak dapat dihilangkan dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Untuk menjamin reparasi  komisi HAM PBB telah membuat prinsip dasar dan panduan yang dikenal dengan “Basic Principles and Guidelines on the Rights to a Remedy and Reparation”. Reparasi yang diatur dalam hukum internasional ada 4 (empat) bentuk yaitu:

1.       Kompensasi

2.       Restitusi

3.       Rehabilitasi (huruf tebal: penulis)

4.       Jaminan tidak berulangnya pelanggaran berat  HAM tersebut

Menurut Prinsip-prinsip Van Boven-Bassiouni,[12]Rehabilitasi yang juga harus menyertakan perawatan medis dan psikologis dan psikiatris (Butir 24)” (koersif; penulis).

Dari paparan diatas dapat diperhatikan bahwa salah satu hak yang dimiliki korban yaitu : berhak untuk mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi.

D.  DEFINISI REHABILITASI DALAM KONTEKS PEMULIHAN KORBAN NAPZA

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dari perspektif viktimologi,  Pecandu NAPZA adalah merupakan korban sehingga berhak untuk mendapatkan hak atas rehabilitasi . Hak ini sesungguhnya telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang terkait dengan pecandu NAPZA  diantaranya adalah: (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika; (2) Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika; (3) KEPMENKES 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana  Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA;  (4) KEPMENKES 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana  Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA.

     Pada dasarnya Rehabilitasi  yang diatur dalam regulasi tersebut ada 2 yaitu:

a.               Rehabilitasi Medis;

b.               Rehabilitasi Sosial

Ada beberapa definisi tentang rehabilitasi yang tercantum dalam ketentuan tersebut yaitu:

a.               Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Narkotika, Rehabilitasi Medis adalah “suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika”.

b.   Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Rehabilitasi Sosial adalah ”suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat”.

c.   Menurut KEPMENKES 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana  Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA. Rehabilitasi adalah ”Upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non-medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin”.

d.   KEPMENKES 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana  Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA, Sarana Pelayanan Rehabilitasi adalah ”tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA, berupa Kegiatan Pemulihan dan Pengembangan secara terpadu baik fisik, mental, sosial dan agama”.

III. PEMBAHASAN

A.  URGENSI PENERAPAN VONIS REHABILITASI BAGI KORBAN NAPZA

Pecandu narkotika adalah manusia yang memiliki hak yang sama dengan manusia lainya. Pecandu juga memiliki hak asasi yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi dalam keadaan apapun. Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia  dalam pasal 1 (satu) yang menyebutkan: “Semua umat manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabat. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaran.”

Hal ini berarti bahwa walaupun seseorang itu pengguna NAPZA, mereka tetap memiliki hak asasi manusia karena hak tersebut melekat dari hakikat dan martabatnya sebagai manusia. Ini berarti negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pengguna NAPZA, termasuk pula wajib untuk memenuhi hak-hak pengguna NAPZA sebagai korban terutama hak atas pembinaan dan rehabilitasi (posisi Pengguna NAPZA sebagai korban dari perspektif viktimologi sudah penulis jelaskan sebelumnya).

Pada dasarnya pengguna NAPZA termasuk pecandu adalah korban (koersif; penulis) penyalahgunaan tindak pidana narkotika yang melanggar peraturan pemerintah dimana mereka merupakan warga negara Indonesia yang diharapkan dapat membangun negeri ini dari keterpurukan di segala bidang.[13] Kedudukan pengguna NAPZA terutama pecandu sebagai korban,  sebetulnya sudah diakui didalam berbagai regulasi tentang tindak pidana NAPZA di Indonesia. Artinya bahwa sejak awal sudah ada suatu kesadaran dari pembentuk undang-undang, bahwa pengguna NAPZA selain pelaku kejahatan juga adalah korban kejahatan itu sendiri. Hal ini sesungguhnya mempunyai arti penting bagi penerapan hukum terhadap pengguna NAPZA, setidaknya ada pengakuan dari negara bahwa kedudukan pengguna napza adalah sebagai korban dengan memasukan hak korban untuk direhabilitasi di dalam undang-undang mengenai NAPZA.  Diantaranya terdapat dalam;

1.   pasal 37 ayat (1) UU nomor 5 tahun 1997 menyatakan: “pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban ikut serta dalam pengobatan dan atau perawatan”.

2.   pasal 44 ayat (1) UU nomor 22 tahun 1997 pada pokoknya menegaskan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan atau perawaan pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan dan membawa narkotika, dengan syarat narkotika tersebut diperoleh secara sah.

3.   dalam pasal 45 undang-undang nomor 22 tahun 1997 dinyatakan bahwa pecandu wajib menjalani perawatan dan pengobatan.

Dilihat dari ketentuan tersebut, jelas bahwa pengguna narkoba adalah tidak dipidana, karena pengguna NAPZA terutama yang sudah ada dalam tahap kecanduan adalah didudukan sebagai korban yang sepatutnya direhabilitasi baik  secara medis maupun sosial.

Namun demikian, bagi pengguna NAPZA (pecandu) yang terbukti melakukan tindak pidana penggunaan NAPZA selain kedudukannya sebagai pelaku kejahatan, kedudukannya sebagai korban tetap diakui. Hal ini terlihat dalam undang-undang nomor 22 tahun 1997 yang mengatur mengenai  vonis rehabilitasi di dalam pasal 47 ayat (1) undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika. Kewenangan diberikan kepada hakim yang memutus perkara tersebut apakah memutuskan penjara atau rehabilitasi terhadap pengguna napza (pecandu). hanya saja ketentuan tersebut sering luput dalam praktek hukumnya. Dalam penerapan hukumnya,  sebagian besar vonis yang dijatuhkan terhadap para pecandu NAPZA adalah vonis penjara, sehingga kedudukan pengguna/pecandu napza tetap dititikberatkan dalam kedudukan sebagai pelaku kejahatan. Hal ini tidak terlepas dari beberapa kelemahan yang penulis amati dari pasal-pasal yang mengatur mengenai vonis rehabilitasi terhadap pecandu NAPZA. Dalam pasal 47 ayat (1) undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika, yang menyebutkan bahwa: Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat (huruf tebal; penulis) :

a.   Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika atau;

b.   Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

Klausal diatas secara sepintas bahwa undang-undang ini memberikan perlindungan terhadap korban penyalahgunaan narkotika berupa rehabilitasi baik itu rehabilitasi medik maupun rehabilitasi sosial. Namun bila dicermati lebih mendalam pada klausal diatas dalam kalimat “hakim yang memeriksa perkara dapat (koersif-penulis)…, kata “dapat” ini menimbulkan suatu penafsiran bahwa hakim mempunyai kekuasan yang absolut dalam memutus perkara. Ini berarti dalam memutus perkara hakim dapat dan/atau tidak dapat memberikan vonis rehabilitasi kepada pecandu narkotika dan psikotropika.

Hal ini menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban penuh dari hakim yang memutus perkara untuk memutuskan pecandu yang terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika untuk menjalani rehabilitasi.  Sehingga menjadi keniscayaan apabila sebagian besar pecandu yang terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika selalu diputuskan untuk dipenjara.  Secara tidak langsung Negara mengabaikan kedudukan pengguna NAPZA sebagai korban dan mengabaikan hak mereka untuk mendapatkan rehabilitasi.

Dalam dimensi lain, penggunaan NAPZA dewasa ini adalah salah satu faktor penyebaran epidemi HIV/AIDS terutama melalui penggunaan NAPZA suntik. Prevelensi penyebaran HIV/AIDS yang diakibatkan oleh penggunaan NAPZA suntik cukup signifikan. Keadaan ini telah menjadi keprihatinan dunia internasional sehingga ada upaya-upaya melakukan tindakan-tindakan pengurangan dampak buruk dari penggunaan NAPZA terutama yang menggunakan media jarum suntik. Program harm reduction saat ini sedang gencar-gencarnya dilakukan baik melalui upaya penyebaran jarum suntik steril bagi IDU maupun dengan terapi metadon sebagai substitusi. Dibeberapa Negara-negara yang sudah maju  anjuran penggunaan jarum suntik steril bahkan saat ini sudah difasilitasi oleh Negara, misalnya di Hungaria; Pemerintah Hungaria bahkan telah menyediakan semacam “ATM jarum” atau kotak jarum yang dapat diakses oleh IDU’s, demikian juga di Denmark; upaya pengurangan dampak buruk dari penggunaan  NAPZA suntik telah mulai memasuki tahap lebih maju dengan penerapan program terapi heroin yang saat ini telah disetujui oleh Parlemen mereka. Di Indonesia upaya-upaya pengurangan dampak buruk dari penggunaan NAPZA juga telah dilakukan dengan melakukan terapi metadon untuk mengurangi pemakaian NAPZA melalui media jarum suntik atau bahkan kelompok-kelompok LSM yang bergerak dalam program harm eduction juga melakukan program penyebaran jarum suntik steril.

Tentunya di setiap Negara melakukan program harm reduction  dengan cara masing-masing. Namun secara substasi, hal tersebut dilakukan dalam kerangka mengurangi dampak buruk dari penggunaan NAPZA baik untuk menekan penyebaran HIV/AIDS maupun penyakit-penyakit lainnya seperti Hepatitis serta dalam upaya melakukan pengurangan penyebaran penggunaan NAPZA.

Dalam persoalan hukum pidana yang yang mengatur tentang NAPZA terdapat juga upaya-upya untuk mendorong penanganan pengguna NAPZA dalam kedudukannya sebagai korban. Misalnya di Hungaria, apabila pengguna NAPZA  tertangkap karena penggunaan NAPZA maka pengguna akan diperiksa di kantor Polisi dan kemudian dokter didatangkan untuk memeriksa apakah tersangka adalah pengguna NAPZA atau tidak. Bila tersangka adalah pengguna NAPZA terutama telah tahap kecanduan, maka tersangka diberikan pilihan apakah mau di penjara atau menjalani rehabilitasi. Dan bila memilih rehabilitasi maka pengguna akan dirujuk di klinik rehabilitasi yang telah tersedia. Disini para pengguna napza jelas diberikan untuk memilih hak mereka sebagai korban. Demikian juga di Malaysia, para pengguna NAPZA yang terbukti melakukan tindak pidana NAPZA di depan pengadilan, maka hakim wajib memutuskan pengguna napza /pecandu untuk menjalani rehabilitasi. Ketentuan ini berlaku juga apabila pecandu tersebut dipidana untuk kedua kalinya atas perkara yang sama dan apabila melakuakn tindak pidana NAPZA untuk ketigakalinya, barulah hakim diperbolehkan memutuskan pecandu untuk dipenjara untuk menimbulkan efek jera.

Keadaan ini seharusnya menjadi refleksi untuk Indonesia yang masih ”setia” dengan slogan ”PERANG TERHADAP NAPZA”. Sebuah perang yang selama ini dalam prakteknya justru tidak efetif untuk menekan peredaran gelap narkoba, hal ini terbukti dengan makin bertambahnya pengguna NAPZA. Yang lebih parah ”perang” ini tidak mampu menekan dampak buruk dari penggunaan napza sehingga yang terjadi adalah ”PERANG TERHADAP NAPZA” ini menyebabkan terjadinya viktimisasi. Penggunaan NAPZA harusnya disadari karena selain karena faktor suply and demand. Dua faktor yang saling mempengaruhi. Saat ini disadari atau tidak, NAPZA sudah menjadi industri sistemik oleh mafia. Seharusnya ”PERANG TERHADAP NAPZA” dilakukan dengan memberangus mafia-mafia industri NAPZA dengan mempidana mereka sehingga supply bisa berkurang. Namun disisi lain harus disadari  bahwa DEKRIMINALISASI terhadap pengguna NAPZA  juga adalah salah satu cara untuk  memotong rantai demand.

Disinilah titik penting dari vonis rehabilitasi terhadap pengguna NAPZA (pecandu) sehingga menurut hemat penulis, frase  “hakim yang memeriksa perkara dapat (koersif-penulis)…, dalam pasal 47 ayat (1) undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika, diganti dengan “hakim yang memeriksa perkara wajib …,. sehingga rehabilitasi bagi pengguna napza adalah keniscayaan.  Setidaknya dengan rehabilitasi, penyebaran dampak buruk dari penggunaan napza dapat diminimalisir, dan yang lebih penting, negara tidak melakukan viktimisasi terhadap korban NAPZA.

Vonis rehabilitasi bukanlah satu-satunya jalan mewujudkan dekriminalisi untuk mengembalikan hak-hak korban NAPZA. Berbagai hal dapat dilakukan sebagaimana yang dilakuan oleh negara-negara lain termasuk tetangga dekat kita Malaysia. Setidaknya amandemen terhadap peraturan perundang-undangan tentang  NAPZA seyognya memperhatikan perkembangan masyarakat termasuk menempatkan pengguna dalam kedudukannya sebagai korban dan juga mempunyai upaya untuk mengurangi dampak buruk dari penggunaan NAPZA. Regulasi yang dibentuk tidak lagi meletakan seolah-olah pengguna NAPZA adalah satu-satunya faktor ”perusak” tatanan masyarakat padahal banyak faktor utama lainnya yang menyebabkan gencarnya peredaran gelap napza. Sudah saatnya pengguna dilihat dalam kedudukannya sebagai korban baik secara formil maupun materiil sehingga hak untuk direhabilitasi sebagai wujud dekriminalisasi terhadap korban NAPZA harus dilakukan. Apapun bentuknya, esensi dari dekriminalisasi adalah mengembalikan hak korban sehingga tidak terjadi viktimisasi.

IV. KONSEPSI REHABILITASI

A.  Penggunaan Istilah Rehabilitasi

Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, bahwa korban berhak untuk mendapatkan rehabilitasi termasuk pula bagi pecandu NAPZA yang dalam konteks viktimologi adalah sebagai korban.

Dalam pembahasan tentang upaya penegakan vonis rehabilitasi sebagaimana yang termaktub dalam pasal 47 ayat 1 (satu) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika, yang didorong sebagai agenda strategis bagi jaringan nasional organisasi pengguna NAPZA  terdapat ketidaksepahaman terhadap agenda tersebut. Permasalahannya adalah ketidaksepakatan tentang Penggunaan Istilah Rehabilitasi dan Bentuk Rehabilitasi. Hal ini mengemuka akibat dari adanya kekhawatiran bahwa rehabilitasi hanya akan berujung kepada pemenjaraan dalam bentuk lain.

Mengenai Penggunaan istilah rehabilitasi, bila mencermati pembahasan pada Bab II huruf C dan D dapat diperhatikan bahwa hak-hak korban  mencakup pula hak rehabilitasi sebagai upaya pemulihan korban. Dari beberapa definisi yang dipaparkan, rehabilitasi mensyaratkan penyertaan perawatan medis dan psikologis dan psikiatris sebagai upaya memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban. Hal tersebut senada dengan rehabilitasi medis menyangkut korban NAPZA. Disamping Rehabilitasi Medis juga Rehabilitasi Sosial agar mantan pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Kembali kepada perdebatan penggunaan Istilah Rehabilitasi sebagai bentuk pemulihan terhadap korban NAPZA, maka memperhatikan berbagai referensi terkait dengan hak-hak korban terutama yang menyangkut dengan hak pemulihan korban, maka penulis berpendapat untuk tetap mempergunakan istilah Rehabilitasi. Dengan prinsip utama bahwa rehabilitasi tersebut adalah dalam upaya melakukan pemulihan terhadap korban secara komprehensif  (baik medis mapun sosial) dan dalam prinsip untuk memanusiakan-manusia.

Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa landasan pemikiran:

1.   bahwa setiap korban berhak atas hak-haknya sebagai korban;

2.   bahwa hak atas pemulihan korban salah satunya adalah Rehabilitasi;

3.   bahwa istilah rehabilitasi adalah istilah yang sudah umum digunakan bila menyangkut   pada pemulihan/reparasi korban, baik oleh hukum nasional maupun oleh hukum internasional.

4.   Bahwa istilah rehabilitasi yang digunakan sebagai salah satu hak pemulihan dari korban baik dalam hukum nasional maupun hukum internsional, dari definisi yang ada, penulis tidak menemukan indikasi  pelemahan hak-hak korban ataupun penurunan derajat korban sebagai manusia. Justru sebaliknya pengertian Rehabilitasi yang ada secara substansi adalah dalam upaya menjunjung harkat dan martabat korban sebagai manusia.

B.  Bentuk Rehabilitasi

Merujuk dari tujuan umum pendirian Pusat Rehabilitasi Penyalahgunaan NAPZA Terpadu di Yogyakarta, yang didirikan atas kerjasama antara Departemen Hukum dan HAM dan PEMDA Istimewa Yogyakarta, adalah untuk memberikan jaminan penanganan paripurna kepada korban penyalahgunaan NAPZA melalui aspek hukum, aspek medis, aspek sosial, aspek spiritual, serta pengembangan pendidikan dan pelatihan dalam bidang NAPZA secara terpadu sedangkan tujuan khususnya adalah:

1.   terhindarnya korban dan institusi dan penetrasi pengedar;

2.   terhindarnya kerusakan mental dan masa depan para penyalahguna NAPZA yang akan membunuh potensi pengembangan mereka;

3.   terhindarnya korban-korban baru akibat penularan penyakit  seperti Hepatitis, HIV/AIDS, dan penyakit menular lainnya;

4.   terwujudnya penanganan hukum yang selaras dengan pelayanan rehabilitasi medis/sosial;

5.   terwujudnya proses pengembangan penanganan korban NAPZA dan aspek ilmiah, serta keilmuan yang dinamis, sesuai dengan perkembangan zaman sebagai pusat jaringan informasi terpadu dan mewujudkan teknis penanganan penyalagunaan narkotika dan obat-obatan terlarang bagi daerah sekitarnya maupun nasional.

Tujuan-tujuan yang termaktub diatas sesungguhnya sejalan dengan upaya-upaya untuk melakukan pemulihan korban serta sebagai upaya perlindungan terhadap korban NAPZA. Namun tujuan-tujuan tersebut seringkali tidak berjalan secara ideal dalam prakteknya.

Selama ini program rehabilitasi terhadap korban terfokus pada rehabilitasi secara medis, sedangkan rehabilitasi sosial sering diabaikan. Padahal rehabilitasi sosial memegang peranan yang sama pentingnya dengan rehabilitasi medis. Sekalipun rehabilitasi medis telah berhasil menghilangkan kecanduan seseorang terhadap psikotropika, jika tidak diikuti dengan rehabilitasi sosial, orang tersebut akan dengan mudah kembali ke tempat lingkungan lamanya, kemudian akan menjadi pecandu obat-obat terlarang.[14]

Problematika ini seringkali dihadapi oleh para pengguna NAPZA.  Rehabilitasi medis dalam prakteknya kerap menerapkan metode isolasi sebagai upaya pemulihan medis terhadap korban. Metode ini tentunya punya konsekwensi logis, bahwa para korban kehilangan “persentuhan sosial” selama proses tersebut dijalankan. Pada tingkat yang sama, ketika para korban sudah selesai pada tahapan rehabilitasi medis, kerap tidak diikuti dengan rehabilitasi sosial sehingga ketika pecandu tersebut kembali ke kehidupan masyarakat, mereka “gagap sosial”. Seringkali terjadi ketidaksiapan untuk beradaptasi dalam kehidupan sosial sehingga korban punya kans besar untuk kembali ke lingkungan lamanya yang dianggap lebih nyaman dan kemudian kembali kecanduan (relaps)

Dari hal-hal tersebut maka bentuk dari rehabilitasi yang ideal yaitu:

1.   Pusat Rehabilitasi adalah dalam upaya untuk memenuhi hak-hak korban NAPZA  bertujuan untuk pemulihan korban baik medis maupun sosial.

2.   Pusat Rehabilitasi harus jauh dari model sistem pemenjaraan, hal ini penting agar Pusat Rehabilitasi betul-betul adalah tempat bagi pemulihan korban baik secara medis maupun sosial dan bukan merupakan penjara dalam bentuk lain.

3.   Pusat Rehabilitasi ini adalah hasil dari refleksi dari praktek/program rehabilitasi yang selama ini telah berjalan, dimana lebih menitikberatkan pada rehabilitasi medis dan cenderung mengabaikan rehabilitasi sosial.

Untuk lebih lanjut, dalam merumuskan suatu penjabaran dari konsepsi rehabilitasi dapat mencari referensi sebagai perbandingan tentang konsepsi rehabilitasi di negara-negara yang telah menerapkan vonis rehabilitasi.

V.   PENUTUP

1. Simpulan

1.   bahwa pengguna Napza adalahberkedudukan sebagai korban, baik ditinjau dari perspektif viktimologi maupun dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan Narkotika dan Psikotropika;

2.   Dalam kedudukannya sebagai korban, maka pengguna NAPZA wajib mendapatkan hak-haknya sebagai korban terutama hak atas rehabilitasi hal ini diatur dalam berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional;Penggunaan Istilah Rehabilitasi sebagai bentuk pemulihan terhadap korban NAPZA, maka memperhatikan berbagai referensi terkait dengan hak-hak korban terutama yang menyangkut dengan hak pemulihan korban, maka penulis berpendapat untuk tetap mempergunakan istilah Rehabilitasi; Dengan prinsip utama bahwa rehabilitasi tersebut adalah dalam upaya melakukan pemulihan terhadap korban secara komprehensif  (baik medis mapun sosial) dan dalam prinsip untuk memanusiakan-manusia. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa landasan pemikiran:

a.       bahwa setiap korban berhak atas hak-haknya sebagai korban;

b.       bahwa hak atas pemulihan korban salah satunya adalah Rehabilitasi;

c.       bahwa istilah rehabilitasi adalah istilah yang sudah umum digunakan bila menyangkut pada pemulihan/reparasi korban, baik oleh hukum nasional maupun oleh hukum internasional.

d.       Bahwa istilah rehabilitasi yang digunakan sebagai salah satu hak pemulihan dari korban baik dalam hukum nasional maupun hukum internsional, dari definisi yang ada, penulis tidak menemukan indikasi  pelemahan hak-hak korban ataupun penurunan derajat korban sebagai manusia. Justru sebaliknya pengertian rehabilitasi yang ada secara substansi adalah dalam upaya menjunjung harkat dan martabat korban sebagai manusia.

3.   Mengenai bentuk dari rehabilitasi yang ideal sebaiknya perumuskan konsepsi rehabilitasi mencari referensi sebagai perbandingan tentang konsepsi rehabilitasi di negara-negara yang telah menerapkan vonis rehabilitasi, namun penulis dapa menuliskan beberapa prinsip yang  harus dipenuhi dalam hal ini yaitu:

a.       Pusat Rehabilitasi adalah dalam upaya untuk memenuhi hak-hak korban NAPZA  bertujuan untuk pemulihan korban baik medis maupun sosial;

b.       Pusat Rehabilitasi harus jauh dari model sistem pemenjaraan, hal ini penting agar Pusat Rehabilitasi betul-betul adalah tempat bagi pemulihan korban baik secara medis maupun sosial dan bukan merupakan penjara dalam bentuk lain;

c.       Pusat Rehabilitasi ini adalah hasil dari refleksi dari praktek/program rehabilitasi yang selama ini telah berjalan, dimana lebih menitikberatkan pada rehabilitasi medis dan cenderung mengabaikan rehabilitasi sosial. Sehingga rehabilitasi yang dibentuk adalah mengkombinasikan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

2.          Saran-saran:

Pemerintah sebagai state apparatus harus segera melalukan perubahan paradigma secara mendasr terhadap pengguna napza sehingga tidak terjadi proses viktimisasi yang makin mendehumanisasi korban. Hal-hal yang patut dilakukan adalah:

1.      amademen regulasi napza terutama undang-undang nomor 22 tahun 1997 dengan pivot mengembalikan kedudukan pengguna napza sebagai korban /dekriminalisasi

2.      Negara memberikan hak-hak korban napza termasuk hak untuk direhabilitasi medis dan sosial

3.      negara segera membuat  regulasi yang menjamin hak-hak korban napza terutama hak untuk direhabilitasi.


* Tulisan ini dibuat untuk Pertemuan Nasional Harm Reduction di Makassar pada tanggal 14 Juni 2008

** Penulis adalah mahasiswa Ekstensi FH Univ. Udayana dan  saat ini duduk sebagai Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Bali,

[1]       Arief Gosita, Masalah  Korban Kejahatan, Akademika Pressisndo, 1993, h. 63

[2]       Muladi, “HAM dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana”, dalam Muladi (ed) Hak Asasi Manusia; Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2005, h. 108

[3]       J.E. Sahetapy, (ed). Bunga Rampai Viktimisasi, Cet.I, Eresco, Bandung, 1995, (selanjutnya disingkat J.E. Sahetapy I), h. 204 dikutip dari Zvonimir Paul Separovic. Victimology, Studies of Victims, Zagreb, 1985, h.29.

[4]       Ibid.

[5]Dikdik M. Arief Mansyur, Op. Cit. h. 48

 [6]Lihat  J.E.  Sahetapy, Loc.Cit, h. 14-125

[7] Ibid.

[8]Ibid, 206-207

[10]lihat Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.cit, h. 49-51.

[11]lihat Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, ibid, h. 97.

[12]Pertanyaan mengenai adanya pembebasan dari hukuman atau impunitas terhadap para pelaku pelanggaran hak asasi manusia (sipil dan politik), Laporan Akhir yang dibuat oleh Joinet sesuai perintah keputusan Sub-Komisi 1996/119, Annex II: Kumpulan Prinsip-prinsip untuk Melindungi dan Mempromosikan Hak Asasi Manusia melalui Tindakan-tindakan untuk Memberantas Impunitas (Prinsip-prinsip Joinet), Prinsip 36 sampai 50, dokumen PBB E/CN.4/Sub.2/1997/20 (1997); Komisi PBB untuk Para Ahli Hak Asasi Manusia Independen mengenai hak-hak untuk mendapatkan restitusi, kompensasi dan rehabilitasi bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia berat dan kebebasan mendasar, Rancangan Prinsip-prinsip Dasar dan Tuntunan mengenai Hak-hak untuk Mendapatkan Ganti Rugi bagi Para Korban Hak Asasi Manusia Internasional dan Peraturan-peraturan Kemanusiaan (Rancangan akhir), 18 Januari 2000 (Prinsip-prinsip Van Boven-Bassiouni), Dokumen PBB E/CN.4/2000/62/Rev.1 (2000).

       [13]lihat Moh.Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Penerbit Ghalia Indonesia,Jakarta. 2003, h.75.

[14]lihat Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, op.cit, h. 99

Total
0
Shares
8 comments
  1. Menarik dan dapat diambil sebagai upaya advokasi pada amandemen UU Narkotika n Cuma kurang satu yaitu data kekekerasan atau sudah berapa banyak pecandu yang ketangkap sehingga dapat diketahui serta sebagai bahan pembandingan dalam upaya advokasi rehabilitasi.

    ====================================
    salam rohili,

    thx, mudah2an nanti saya bisa menuliskannya

  2. ini nih smber inspirasi buat gue nulis skripsi judulnya “urgensi penerapan vonis rehabilitasi bagi korban napza dalam upaya penegakan hukum di Indonesia”… biggest thankzz buat bang gendo.. dan gue sangat2 yakin… skripsi gue pertama di indonesia.. yg memuat urgensi penrapan vonis rehab.. heeee… bisa berbangga hati… terus berkarya bang… dan tetep jadi inspirator buat kawan2 yg lain… keep fight ya, ure my idol…heee

  3. salam kenal mas Gendo,

    mhn ijin untuk sedikit bertanya,
    menurut mas Gendo, vonis rehabilitasi itu sanksi (hukuman) atau tdk?
    klo boleh nanti saya kutip untuk skripsi saya…

    trma ksh.
    btw, saya salut! blog mas Gendo sangat bgs.
    saya iri. 😀
    sayang saya belum punya konsistensi untuk menulis spt mas Gendo. (hehhee)

    salam,
    gta.
    sila mampir ke blog saya… 🙂
    ==========================
    salam kenal juga gita,

    vonis rehabilitasi itu secara normatif hukum di Indonesia adalah bentuk sanksi.
    hanya saja sanksinya bukan dalam bentuk pemenjaraan tetapi dalam bentuk perintah hakim untuk memasukan terpidana ke panti rehabilitasi narkoba.

    mekanismenya tetap harus melalui acara peradilan baik pemeriksaan di kepolisian, di kejaksaan maupun di pengadilan.
    apabila ternyata dapat dibuktikan bahwa seseorang yang diperiksa dan diadili tersebut adalah seorang pecandu(korban/pemakai) dan bukan pengedar , maka hakim dapat memutus seseorang tiu dengan “menyatakan seseorang tersebut bersalah melanggar UU narkotika, namun kemudia karena seseorang tersebut adalah pemakai (pecandu/korban) maka divonis dengan hukuman rehabilitasi atau dimasukan ke panti rehab narkotika.

    hal ini memang berbeda dengan di negara lain. semisal hungaria.
    di hungaria kalo pecandu tidak perlu di adili di penagdilan.
    bila tertangkap maka akan dibawa ke kantor polisi, selanjutnya polisi akan memanggil dokter,
    apabila ternyata orang tersebut adalah pecandu maka akan langsung dikirim ke panti rehab.

    kira2 begitu

    salam

    gendo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Walet Ceningan Untuk Siapa?

Next Post

Kesaksian Korban Pasal Lese Majeste

Related Posts