VONIS REHABILITASI; SEKEDAR IMPIAN?
Oleh : I Made Adi Mantara
“10 warga Iran tertangkap selundupkan sabu senilai Rp 184 miliar” Berita tersebut menjadi headline di beberapa media cetak harian pada 22 Oktober 2009. Sengaja penulis kutip judul berita tersebut, untuk mengingatkan bahwa peristiwa secara tidak langsung menyatakan bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang menjadi konsumen dari napza jenis sabu-sabu tersebut. Dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, petugas Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta telah melakukan beberapakali penangkapan terhadap pelaku yang melakukan penyelundupan barang tersebut. Gencarnya penyelundupan napza (bahkan dalam jumlah besar) ke Indonesia tentu saja berkorelasi erat dengan jumlah permintaan yang didasari dari jumlah konsumsi yang besar pula.
Jika kita melihat kebelakang, bahwa sesungguhnya bangsa kita telah mengalami berbagai masalah yang menyangkut dengan peredaran narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza). Pada jaman pendudukan jepang, peredaran napza dikendalikan oleh penjajah dengan melibatkan beberapa raja – raja yang memiliki kekuasaan diseputar Indonesia. Pada tahun 90’an Indonesia mengikuti jejak Amerika Serikat dalam penanganan peredaran napza ini dapat dilihat dengan dikeluarkannya Undang-undang no 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang no 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Kebijakan tersebut dikenal dengan sebutan “War On Drugs”, kebijakan ini menyatakan perang terhadap Napza yang berimbas perang juga terhadap pengguna napza itu sendiri. Akibat dari kebijakan tersebut, lembaga pemasyarakatan yang ada diseluruh Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan bahkan sampai over kapasitas.
Akibat dari kebijakan tersebut justru membuat peredaran napza menjadi lebih meningkat. Pengiriman korban napza ke penjara justru tidak membuat mereka untuk berhenti menggunakan. Kondisi ini terjadi karena pengiriman korban napza ke penjara tidak diikuti dengan peningkatan sumber daya di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) itu sendiri. Sehingga karena pengawasan yang kurang, menyebabkan perederan napza di LAPAS itu sendiri sangat marak. Sejak UU No. 22/97 tentang narkotika dan UU no.5 /1997 tentang Psikotropika diterbitkan, penanganan kasus napza selalu berujung dengan pemenjaraan. Padahal dalam undang – undang tersebut disebutkan bahwa jika seseorang terbukti sebagai pengguna maka hakim dapat memvonis yang bersangkutan ke Rehabilitasi. Tetapi justru pasal tersebut tidak pernah diterapkan, hakim di Indonesia sepertinya lebih menyukai memvonis pidana penjara daripada merehabilitasi para pengguna napza.
Apalagi saat ini undang – undang yang baru tentang Narkotika (napza) telah disahkan oleh DPR RI, tetapi pengiriman pengguna napza masih berujung ke penjara. Masyarakat dan pengguna napza sendiri masih menunggu, apakah undang – undang yang baru dapat memperhatikan pengguna napza sebagai korban dari peredaran gelap napza atau masih sebagai pelaku suatu kejahatan. Selama perspektif negara terhadap pengguna masih sebagai pelaku kejahatan bukan sebagai korban, maka penanganan peredaran napza tidak akan pernah bisa maksimal.
Terlebih setelah undang-undang yang lama diganti dengan undang-undang yang baru yakni UU no. 35/2009 tentang Narkotika ternyata tidak ada perubahan sama sekali. Harapan agar undang-undang ini berani memberikan pembedaan antara pengedar dengan pengguna napza sama sekali tidak tercantum. Selama tidak ada pembedaan tersebut, maka banyak pengguna napza yang tidak dapat diselamatkan. Karena perlakukan negara terhadap pengguna napza hampir sama dengan pengedar napza. Yang membedakan hanya masa hukuman, tetapi tempat mereka sama-sama dipenjara. Sementara dalam penerapan hukum dalam upya dekriminalisasi pengguna napza, titik pentingnya ada di wilayah pembedaan status pengedar dan pengguna napza. Pembedaan ini secara mutatis mutandis akan berbeda pula dalam penanganannya.
Probematika pelaksanaan vonis rehabilitasi
Pada Maret 2009 telah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 tahun 2009 tentang menempatkan pemakai narkoba ke dalam panti terapi dan rehabilitasi. SEMA tersebut menyatakan bahwa seluruh hakim di Indonesia diharapkan mengirimkan seseorang yang terbukti sebagai pengguna napza ke Panti Rehabilitasi. Dalam SEMA tersebut dijelaskan jumlah barang bukti sebagai pengguna dan panti rehablitasi yang ditunjuk untuk melaksanakannya. Ini menjadi angin segar dikalangan korban napza walaupun jumlah barang bukti yang dinyatakan dalam SEMA tersebut masih terlalu kecil. Tetapi ada perspektif baru yang ditujukkan oleh Mahkamah Agung sebagai aparatur negara kepada korban napza, yakni perspektif bahwa pengguna napza adalah sebagai korban yang konsekuensi yuridisnya adalah patut mendapatkan hak-hak sebagai korban. Dalam konteks ini adalah mendapatkan hak pemulihan berupa terapi dan rehabilitasi.
Namun demikian, dalam pandangan penulis, SEMA ini sangat sulit untuk diterapkan. Terdapat beberapa kendala yang nanti akan menghambat pelaksanaan SEMA ini. Selain karena dalam pengaturan kadar jumlah narkoba yang dijadikan ukuran apakah seseorang tersebut patut dinyatakan sebagai pengguna sangat kecil, ada pula kendala lain berupa hal-hal teknis seperti: fasilitas rehabilitasi yang masih minim. Pernyataan seperti ini kerap terdengar dari aparat penegak hukum dalam beberapakali diskusi terkait dengan isu ini.
Selain itu, lemahnya tingkat koordinasi dari beberapa instansi negara yang berkait dengan pelaksanaan vonis rehabitasi bagi pengguna napza. Sebenarnya ada beberapa institusi yang bertanggung jawab untuk menangani korban napza yakni; Badan Narkotika Nasional (BNN), Departemen Kesehatan (Depkes) dan Departement Sosial (Depsos). Tetapi sayangnya 3 (tiga) institusi tersebut menjalankan program rehabilitasi dengan cara masing-masing.
Misalnya Depkes, mereka menjalankan rehabilitasi medis di beberapa rumah sakit yang ditunjuk dan juga memberikan substitusi (Methadone) kepada korban napza di beberapa rumah sakit besar di Indonesia. Dinsos sendiri memberikan pelatihan vokasional kepada korban napza, dan memberikan modal dasar untuk menjalankan usaha tersebut. BNN sendiri memiliki Panti Rehabilitasi terbesar di Asia Tenggara yang terletak di Bogor.
Dan sayangnya hasil yang didapatkan juga tidak maksimal. Padahal seluruh program yang dijalankan oleh 3 (tiga) institusi tersebut telah menyedot anggaran negara yang tidak sedikit jumlahnya. Seyogyanya bila perspektif dekrimalisasi terhadap pengguna napza menjadi arus utama dari pengambilan kebijakan terhadap permasalahan napza, maka seluruh pranata hukum akan berupaya melakukan tindakan-tindakan bagi pemenuhan hak korban napza. Termasuk melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait demi terwujudnya pelaksanaan vonis rehab sebagai pintu masuk dekriminalisasi sejati bagi pengguna napza.
Namun dengan kenyataan yang terjadi saat ini, vonis rehabilitasi bagi korban napza hanya menjadi mimpi. Selain karena minimalnya perlindungan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini, ditambah lagi dengan buruknya koordinasi antara institusi sebagaimana paparan diatas. Sehingga penanganan korban napza menjadi tumpang tindih dan tidak maksimal. Masing-masing institusi menyalahkan institusi yang lain karena menyusun kebijakan tidak melibatkan yang lain. Tak pelak kondisi ini berujung kepada pengabaian hak-hak korban napza. Bukannya melindungi korban napza, kondisi ini malah menyebabkan terjadinya viktimisasi terhadap mereka. Entah sampai kapan korban napza bermimpi terwujudnya vonis rehabilitasi untuk situasi dekriminalisasi sejati.
——————————————–
Penulis adalah Koordinator Umum IKON (Ikatan Korban Napza) Bali
wah, moyong ternyata jago nulis juga. lanjutkan! 😀