PROBLEM PEREMPUAN PENGGUNA NAPZA
Oleh: Yayuk Fatmawati
Permasalahan gender ,merupakan persoalan yang akut di Indonesia. Hal ini yang melatar belakangi munculnya gerakan perempuan di negeri ini. Tak pelak gerakan perempuan mampu menaikan isu-isu keberpihakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun belum terlalu mencapai hasil yang maksimal, namun patut diakui bahwa isu gender terutama isu terhadap keberpihakn terhadap perempuan menjadi isu yang cukup fundamental dalam setiap dinamika kemasyarakatan maupun sistem ketatanegaraan.
Namun ditengah kemajuan gerakan perempuan dalam mendorong upaya-upaya keberpihakan perempuan, terdapat fakta yang masih miris di beberapa sektor termasuk dalam penanganan terhadap korban napza perempuan. Sebagaimana masalah yang dihadapi perempuan, ketimpangan perlakuan terhadap korban napza perempuan, kurang lebih juga di sebabkan faktor yang sama yakni system budaya dan kemasyaraakatan yang patriaki menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki. hal inipun berpengaruh secara penuh terhadap pemahaman bagi keberadaan korban napza perempuan.
Terlebih sejak awal tahun 80-an, masyarakat belum banyak mengetahui secara detail mengenai penggunaan napza dan resiko akibat penggunaannya. Akibat system masyarakat yang patriaki, korban napza selalu identik dan lekat dengan laki – laki. Membayangkan seorang pengguna napza selalu terbayang laki-laki yang berpenampilan urakan, kurus dan sangat maskulin. Dan jarang mengaitkannya dengan perempuan. Padahal faktanya terdapat banyak pengguna napza perempuan. Berdasarkan data yang disapaikan Ariesti Lovelli dari Jaringan Aksi Pengurangan Dampak Buruk, pada tahun 2002 di Indonesia ada sekitar 90% laki-laki (pengguna napza suntik-penulis) usia 15-30, dengan demikian untuk setiap 9 orang laki – laki pada kelompok usia tersebut, ada 1 orang perempuan. Jika dilihat dari hal tersebut, sangatlah sedikit jumlah dari jenis kelamin perempuan akan tetapi tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tidak hanya saja laki-laki, melainkan yang berjenis kelamin perempuan ada dengan ditunjukkannya data tersebut.
Dalam perkembangannya, walaupun telah diketahui bahwa banyak terdapat pengguna napza perempuan, tetap saja terjadi penyangkalan-penyangkalan atas keberadaan mereka. Sekali lagi, penyangkalan tersebut terjadi oleh karena, bentukan masyarakat bahwa perempuan adalah seorang sosok yang feminim, bersih, terawat, berperilaku sopan dan selalu mengikuti norma-norma yang berlaku. Hal ini menimbulkan dampak yang merugikan perempuan pengguna napza. Misalnya sebuah kelurga akan berusaha sekuatnya untuk menutupi apabila salah seorang anak perempuannya adalah seorang pecandu, bahkan tak jarang pengguna napza perempuan yang dikeluarkan dari keluarganya. Berbeda bila yang terkait anak laki-laki yang menjadi pengguna napza, dimana keluarga tersebut akan lebih berlapang dada menerima keadaan tersebut dan melakukan upaya-upaya rehabilitasi.
Selain mengalami pembedaan perlakuan ditingkat keluarga, pengguna napza perempuan juga menjadi kelompok yang tersubordinasi dalam kelompok pengguna napza itu sendiri. Kerapkali perempuan pengguna napza menjadi “objek” dalam dunia napza terutama menjadi obyek kekerasan baik secara fisik, psikologis dan seksual. Selain dari kelompok pengguna napza sendiri, mereka juga sering mendapatkan pelecehan seksual dari kalangan penegak hukum ketika tertangkap menggunakan napza.
Paparan diatas menjelaskan bahwa perempuan pengguna napza menyandang beban yang cukup kompleks. Selain telah tersubordinat akibat dari system kemasyarakatan yang patriaki, pengguna napza juga tersubordinasi di komunitasnya sendiri. Keadaan inilah yang membuat perempuan pengguna napza semakin terjepit sehingga kerap mengalami stigma ganda , diskriminasi dan kekerasan.
Pembedaan perlakuan terhadap perempuan pengguna napza yang berentet dengan permasalahan stigmanisasi ganda, diskriminasi dan rentan dengan kekerasan sebagaimana yang terpapar diatas, menyebabkan perempuan pengguna napza “menjadi tertutup”secara prikologis. menjadi “tertutup. Hal inilah yang menyebabkan perempuan pengguna napza menjadi salah satu kelompok populasi tersembunyi. Tentu saja sebagai kelompok populasi tersembunyi perempuan pengguna napza semakin sulit untuk mengakses informasi, layanan kesehatan dan berarti pula bahwa pemulihan perempuan pengguna napza semakin sulit terwujud.
Perlu tindakan khusus bagi perempuan pengguna napza
Penanganan bagi kelompok perempuan pengguna napza yang telah ada selama ini , mulai dari pencehagan, perawatan dan dukungan telah banyak dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun pemerintah. Program – program yang dilakukan diantaranya kepada masyarakat agar generasi selanjutnya tidak terjerumus narkoba, serta program pencegahan langsung kepada kelompok pengguna napza terhadap penularan HIV/AIDS melalui perubahan perilaku. Akan tetapi dari program yang ada, yang memfokuskan pada hak-hak kesehatan perempuan, program pemberdayaan dan dukungan.
Sementara disisi lain, sebagaimana paparan diatas dapat diketahui bahwa perempuan pengguna napza memiliki permasalahan yang cukup kompleks yakni; stigma ganda, diskriminasi, kekerasan, dan kesehatan. Hal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Hukum HAM baik internasional maupun nasional, baik Universal Declaration of Human Rights (UDHR), the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Selain itu keadaan tersebut bertentangan dengan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) beserta dengan Protokolnya, dan juga melalui Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (CAT). Demikian juga, instrumen regional dapat memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban, termasuk perempuan pengguna napza sebagai korban napza.
Rentannya pelanggaran HAM terhadap perempuan pengguna napza menyebabkan, pola-pola penanganan terhadap perempuan pengguna napza tidak cukup dengan metode konvesional seperti yang dilakukan selama ini. Program-program yang telah dilakukan selama ini dalam penanganan perempuan pengguna napza patut dibarengi dengan menyasar aspek pelanggaran HAM. Dimensi harus disentuh untuk mendorong perbaikan kondisi perempuan pengguna napza. Mengingat permasalahan yang penulis sampaikan diatas adalah faktor yang cukup mendasar dari terjadinya praktek marjinalisasi perempuan pengguna napza.
Kesadaran akan HAM dikalangan perempuan pengguna napza menjadi agenda yang cukup penting untuk dilakukan agar negara sebagai penanggungjawab HAM bersedia menjalankan kewajibannya untuk menghormati, melindungi dan menghormati HAM setiap warga negaranya termasuk HAM dari perempuan pengguna napza. Terlebih pemerintah Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM yang sejatinya mewajibkan pemerintah untuk memenuhi HAM baik hak sipil dan politik serta hak ekonomi sosial, budaya. Tentunya dalam prakteknya diperlukan tindakan khusus terhadap perempuan pengguna napza dalam upaya memulihkan keadaan mereka.
Tindakan khusus yang paling mendesak bagi pemulihan perempuan pengguna napza adalah penyediaan panti rehabilitasi khusus bagi perempuan pengguna napza. Minimnya panti rehabilitasi khusus perempuan (yang ada di setiap daerah, melainkan hanya beberapa di kota besar dan dengan ketentuan membayar) merupakan salah satu hambatan bagi kebanyakan perempuan untuk mengakses layanan tersebut. Seharusnya pemerintah di seluruh daerah dapat menyediakan pusat rehabilitasi di masing – masing daerah khususnya bagi perempuan, dengan fasilitas memadai. Hal ini merupakan tanggung jawab negara terhadap pemenuhan atas hak kesehatan setiap warga negara yang termaktub dalam UU No 11 Tahun 2005 tentang Hak Sosial, Ekonomi dan Budaya pasal 12 ayat 1 “Negara Pihak Konvenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati standart tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan Fisik dan mental” dan 2 (d) “Penciptaan kondisi- kondisi yang akan menjamin semua pelayan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang”. Pemenuhan hak-hak ini, seharusnya pemerintah dapat berperan aktif dalam mengupayakan kondisi tersebut bagi warga negaranya termasuk perempuan perempuan pengguna napza.
Setidaknya, upaya ini diharapkan dapat mendorong perbaikan nasib perempuan pengguna napza sehingga lebih berani terbuka dan tidak tertutup lagi. Dimana selain berimplikasi kepada terpenuhinya hak asasi mereka, tentu saja pada akhirnya akan berkontribusi besar dalam memutus rantai HIV/AIDS. Hal-hal tersebut, sekiranya dapat menjadi dasar pemikiran bagi pemerintah maupun masyarakat, dalam memulihan kondisi perempuan pengguna napza tentu saja dengan tersebut.
*tulisan ini dimuat di Harian Bali Express, Selasa 10 November 2009, hal. 4
**Penulis adalah Pengurus IKON (Ikatan Korban Napza) BALI
***tulisan ini telah diijinkan oleh penulis untuk diposting di https://gendovara.id/