Penulis : I Wayan “Gendo” Suardana
Ini merupakan sedikit dari pengalaman hidup yang telah saya lalui sebagai suatu pedoman saya untuk melangkah ke depan.
Lahir di sebuah desa di Ubud, tepatnya di Banjar Padangtegal Kelod – Gianyar 30 tahun silam, dengan nama I Wayan Suardana sering dipanggil Gendo. Saya dibesarkan oleh Ibu semenjak ditinggal Bapak pada usia dua tahun, seorang ibu yang cuma tamatan kelas tiga SD dan pedagang kelontong di pasar desa. Seorang perempuan dengan status janda yang didera penyakit menahun, tapi mampu mengantarkan saya hingga jenjang mahasiswa.
Semangat untuk survive itu membuat saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa beliau sebagai sumber inspirasi. Sosok idola yang kemudian meninggalkan saya untuk selama-lamanya pada tahun 2000 sehingga menambah label bukan hanya yatim tapi lengkap menjadi yatim piatu. Penerapan disiplin ala tentara dalam keluarga secara tidak sadar membentuk karakter dan watak saya menjadi keras dan selalu memberontak. Sehingga tudingan sebagai anak nakal, bandel, nilai raport merah – jauh dari kriteria sebagai anak baik- acapkali tertuju kepada diri saya. Mungkin dengan menentang aturan yang saya anggap sebagai suatu alat menekan dan mengekang itulah yang kemudian saya yakini sebagai arti kata; lawan?.
Asam garam organisasi telah saya cicipi sejak bangku SD, berbagai kegiatan ekstra kurikuler saya tekuni pada masa sekolah, sebut saja pramuka, karate, sepakbola, atletik, basket serta kegiatan seni tari dan tabuh. Hingga ketika duduk di bangku kuliah saya aktif di berbagai organisasi mahasiswa antara lain menjadi Sekjend Pospera (Posko Perjuangan Rakyat) Bali, Ketua SMFT (Senat Mahasiswa Fakultas Teknik) Unud, Badan Pekerja Nasional PMTI (Perhimpunan Mahasiswa Teknik se-Indonesia), Sekjend KOSMA (sekarang disebut Presiden BEM) Unud, Sekjend Frontier (Front Demokrasi Perjuangan Rakyat) Bali, dan Ketua PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) Bali.
Sejak Kuliah di Universitas Udayana, tepatnya di Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik, saya sudah terlibat dalam berbagai aksi demonstrasi mahasiswa. Pada waktu itu banyak yang bilang, bahwa para demonstran adalah orang-orang gila yang sok pahlawan. Bagaimana tidak, kami berdemo pada saat rezim Soeharto sedang jaya-jayanya. Satu Rezim yang amat ganas, yang siap membasmi gerakan sosial yang dianggap mengganggu kekuasaan mereka. Sampai kemudian saya dan teman-teman aktivis gerakan mahasiswa bersatu padu menumbangkan ORBA pada tahun 1998. Saya memilih setiap hari ada di jalanan berdemonstrasi dan meninggalkan kuliah hanya demi sebuah tujuan Indonesia demokratis. Dihajar Polisi dan digebuk tentara sudah biasa saya lakoni. Dipanggil aparat kepolisian serta tentara untuk diinterograsi tidak membuat nyali ciut. Bahkan saya sempat diperiksa di POLRES Badung (sudah berubah menjadi Poltabes Denpasar) atas tuduhan merusak barang-barang negara, sehabis menggelar aksi di kampus Sudirman. Pada saat itu terjadi bentrokan antara massa sekitar 20.000 orang dengan aparat kepolisian. Mahasiswa berhasil menyita sekitar 5 tameng Dalmas, 2 gas airmata dan beberapa pentungan yang sebagian besar pada akhir aksi dibakar massa. Namun penekanan-penekanan tersebut membuat saya makin terlecut dan bertahan sampai saat ini untuk setia pada garis perjuangan demokrasi.
Kira-kira pada tahun 1999, saya dan beberapa teman-teman aktivis mahasiswa mendirikan Frontier (Front Demokrasi Perjuangan Rakyat) Bali. Sebuah organisasi gerakan mahasiswa yang menginginkan demokrasi sejati. Kami aktif melakukan berbagai kegiatan-kegiatan; baik seminar, diskusi, advokasi dan yang paling sering adalah demonstrasi.
Adalah pada penghujung tahun 2004 kesaksian ini dimulai. Keputusan pemerintah (Rezim SBY-Kalla) untuk mencabut subsidi dan menaikkan harga BBM memaksa saya dan teman-teman melakukan perlawanan terhadap kebijakan tersebut. Mulai dari membangun diskusi, seminar, propaganda (baligo,pamflet, dll) sampai kemudian kami bersepakat untuk melakukan perlawanan dengan menggelar aksi /demonstrasi secara maraton.
Mengapa kami menolak; secara singkat bisa dijelaskan; bahwa keputusan yang diambil Rezim SBY-Kalla dalam perspektif kami adalah sebuah keputusan yang sangat mengingkari keadilan rakyat. Bagaimana mungkin adil? Dengan alasan negara dalam keadaan defisit keuangan, maka mereka memilih untuk memaksa rakyat mengetatkan ikat pinggang, mencabut subsidi rakyat, menaikkan harga BBM. Kenaikan harga dari sektor yang sangat inti dan akan ber-efek pada kenaikan barang-barang publik lainnya. Namun di sisi lain SBY-Kalla memberikan keputusan yang mengejutkan dalam kasus BLBI dengan memutihkan bunga utang mereka (alias tidak membayar bunga utang). Katanya lagi defisit tapi kok uang negara dihamburkan, tapi uang rakyat diperas?, sementara di tempat lain banyak bertaburan para koruptor yang tidak pernah diadili, malah kalaupun diadili, palingan mereka bebas? Oh ya SBY-Kalla bilang negara defisit anggaran, tapi kenapa ya gaji presiden dan wapres kok naik? Inikah yang namanya adil? Memaksa rakyat irit dan kemudian uang mereka dipakai menaikkan gaji Presiden dan Wapres, sementara uang rakyat yang lain dipakai nalangin utang BLBI?
Bagi kami, keputusan SBY-Kalla untuk menaikan harga BBM bukan karena defisit anggaran (buktinya uang dihambur-hamburkan. Kalau miskin, sama-sama hemat dan efesien dong?) tapi karena SBY-Kalla sedang menjalankan agenda Washington Concensus (kesepakatan yang diarsiteki oleh World Bank, Departemen Keuangan USA, dan IMF). Beberapa pointnya yaitu; mengharuskan negara-negara yang menyepakati untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan; menarik subsidi rakyat, menaikkan harga barang-barang kebutuhan publik, menaikkan pajak, mengutamakan investasi asing. Sehingga kami menyerukan tuntutan yang disampaikan dalam setiap demonstrasi yang kami beri nama Sembilan Jalan Kebajikan yaitu :
1. Tolak kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak)
2. Seret para koruptor ke penjara dan sita harta hasil korupsi untuk dikembalikan kepada rakyat.
3. Optimalisasi kerja KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
4. Efisiensi Birokrasi
5. Stop rekapitalisasi dan pengeluaran obligasi untuk perbankan
6. Pemberlakuan pajak progesif
7. Tunda pembayaran utang luar negeri
8. Tindak tegas pelaku penimbun dan penyelundup BBM
9. Tolak privatisasi dan kembalikan aset-aset yang menyangkut hajat hidup orang banyak untuk dikelola oleh negara.
KRONOLOGIS KASUS
27 Desember 2004
Aksi Frontier ke DPRD Bali dengan membawa tuntutan ?Tolak Kenaikan BBM, dan Sita Harta Koruptor?. Kedatangan demonstran tidak ditemui oleh anggota dewan. Dalam aksi tersebut terjadi dorong-mendorong dengan aparat yang menghalangi massa bertemu dengan Ketua DPRD Bali.
29 Desember 2004
Aksi Frontier di depan Kampus Universitas Udayana Jl. PB Sudirman dengan tetap membawa tuntutan ?Tolak Kenaikan BBM, dan Sita Harta Koruptor?.
30 Desember 2004
Frontier menggelar aksi long march dari kampus Unud Sudirman menuju ke Kantor DPRD Bali, Pada saat ini saya selaku Sekjend Frontier memimpin langsung aksi tersebut. Massa membawa poster-poster SBY yang sudah dicoret-coret dengan spidol. Ada yang digambar mirip drakula, berkumis jojon, dan lain-lain. Bagi kami penggambaran itu adalah bukan sebagai sebuah penghinaan tapi lebih kepada bentuk simbolisasi politik kepada penguasa, bahwa tindakan mereka mencabut subsidi dan mementingkan agenda kapitalisme sama dengan menyengsarakan rakyat. Jajaran DPRD Bali menolak menemui demonstran, massa kecewa dan terjadi pembakaran poster Presiden SBY.
31 Desember 2004
Kapolda Bali yang saat itu dijabat oleh Irjen Pol. Made Mangku Pastika mengeluarkan instruksi untuk menangkap para demonstran yang melakukan pembakaran gambar SBY. Menurut Kapolda tindakan tersebut adalah tindak pidana penghinaan simbol negara. Malam harinya Sekretariat Frontier di Jalan I.B.Oka Gg. Pasa Tempo, dimasuki oleh orang-orang yang berpakaian cepak dan menanyakan,? Mana Gendo?!? ketika dijawab tidak tahu oleh teman-teman Frontier yang sedang melaksanakan diskusi Tahun Baru, orang-orang tesebut memeriksa setiap kamar tanpa ijin, Sekali lagi tanpa ijin!
2 Januari 2005
Frontier kembali menggelar aksi di depan Kampus Universitas Udayana Jl PB Sudirman. Tak gentar dengan perintah Kapolda untuk menangkap para demonstran pembakar gambar SBY, Massa kembali melakukan aksi simbolik dengan membakar poster Soeharto dan SBY, serta membakar sebuah patung bertuliskan SBY.
3 Januari 2005
Saya di jemput oleh sekitar 12 Orang Polisi dari Poltabes Denpasar di Sekretariat Frontier. Saya tidak tahu apakah ini penangkapan atau disebut menyerahkan diri. Yang jelas mereka menelpon saya dan mengajak saya untuk berkoordinasi. Saya bersedia dan saya ajak mereka untuk bertemu di Sekretariat Frontier (dalam hati saya ada feeling, kalau saya akan ditangkap sehingga saya mempersiapkan pakaian dalam satu tas ransel merah saya). Begitu saya sampai di depan gang Pasa Tempo, ternyata sekitar 8 orang Polisi berpakain preman berdiri menyambut saya. Saya tidak kaget, bahkan menyapa mereka,?sabar bos…saya dah janjian di sekre untuk bertemu dengan komandan anda!? lalu mereka mengawal saya berjalan kaki menuju ke sekretariat Frontier (dalam hati saya berpikir, enak juga nih dikawal ..kayak jendral aja).
Pada saat pertemuan di ruangan tamu Frontier, mereka sama sekali tidak menunjukan surat perintah penangkapan kepada saya. Pimpinan regu hanya menyatakan mengundang saya ke Kantor Poltabes dan akan diketemukan dengan Kasat Reskrim. Saya bersedia, namun saya tidak mau naik mobil mereka, saya minta dibonceng teman bernama Oktav. Sementara teman yang lain menunggu di sekretariat. Seperti dugaan saya, begitu sampai di Poltabes, saya langsung diajak ke ruangan jaga tahanan Reskrim tanpa penjelasan apa-apa. Dan baru setelah 4 jam berikutnya ada pemberitahuan kalau saya DITANGKAP! Dan disodorkan surat perintah penangkapan dan berita acara penangkapan. Saya segera menghubungi teman-teman Advokat, Agus Samijaya, SH dari PBHI Bali dan A.A. Anom Wedaguna, SH dari Ikadin. (jumlah advokat yang mendampingi saya lambat laun meningkat sampai mencapai 27 orang).
4 Januari 2005
Saya Resmi ditahan dengan surat penahanan dan resmi dinyatakan sebagai tersangka dengan sangkaan melanggar pasal 134 junto pasal 136 bis KUHP tentang martabat Presiden dan Wakil Presiden. Dorongan moral terus mengalir ke saya dari teman-teman saya, juga dosen-dosen meyempatkan menjenguk saya keruangan tahanan Reskrim. Sejak Penahanan dilakukan, teman-teman pro demokrasi tak henti-hentinya memberikan dukungan solidaritas, termasuk juga teman-teman musisi underground khusus menggelar konser solidaritas. Aktivis Frontier Bali malah menggelar Aksi Mogok Makan. Aksi solidaritas juga berdatangan dari masyarakat Ubud, dan dari masyarakat yang pernah diadvokasi oleh Frontier Bali seperti masyarakat perumahan umadui, masyarakat Tabanan, dan juga teman-teman dari luar Bali.
6 Januari 2005,
Sejak Kamis pagi sekitar pukul 08.00 wita, saya dijemput oleh petugas dan dipindah dari lantai II ruangan tahanan Reskrim ke ruangan tahanan Poltabes. Saya bergabung dengan tahanan yang lain menggunakan baju seragam warna biru bertuliskan; Tahanan Poltabes Denpasar. Dan mulai saat itu saya mulai memakai ‘pakaian kebesaran’ yaitu bercelana pendek, karena di ruang tahanan dilarang untuk memakai celana panjang. Saya dikunjungi para sahabat termasuk Pembantu Rektor II Unud, Prof. Dr. Ketut Rahyuda dan Pembantu Dekan III Kedokteran dr. I.B. Wirakusuma, MOH bersama istri.
Pada hari ini, tiga orang dengan surat resmi bertindak sebagai penjamin, mengajukan penangguhan penahanan saya ke Poltabes Denpasar. Mereka itu Rektor Unud Prof. Dr. dr. Wayan Wita, Sp.Jp, Dekan Fakultas Hukum Unud Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S. lewat surat nomor 1419/J14.1.11.III/KM 00.05/2005, dan paman saya sendiri Drs. Nyoman Artana. Surat permohonan penangguhan dibawa langsung penasihat hukum saya, Agus Samijaya dan A.A. Anom Weda bersama sejumlah anggota Ikadin Bali. Para penjamin berharap Poltabes memberikan kebijaksanaan. Pertimbangannya, bahwa saya sejak Rabu sudah menjalani ujian akhir semester .Selain itu, dijamin saya tidak akan melarikan diri, tidak menghilangkan bukti-bukti serta tidak akan mengulangi perbuatan pidana yang dituduhkan .Wakapoltabes Dewa Parsana (yang pada hari itu juga akan dilantik menjadi Kapoltabes) mengaku tidak bisa memberi keputusan secara cepat, lantaran harus melapor pada Kapolda dan melihat dulu bagaimana proses kinerja penyidikan.
7 Januari 2005
Upaya penangguhan dan tindakan Rektor Unud menjadi penjamin penangguhan penahanan saya mendapat tanggapan dari Mangku Pastika. Melalui media massa Kapolda Bali Irjen Pol. Made Mangku Pastika. menyatakan saya sebagai penjahat negara dan melakukan tindakan serius lebih jahat dari curanmor. Selain itu melalui media massa Mangku Pastika juga menyerang Rektor UNUD dengan mengatakan sebagai orang yang tidak mengerti hukum karena mau menjadi penjamin penangguhan saya. Siapa sebenarnya yang tidak mengerti hukum? Apa mahasiswa yang bernama Gendo atau Jenderal yang bernama Mangku Pastika? Siapa yang tidak mengerti hukum Prof Wita atau Mangku Pastika? Apanya yang salah dengan orang yang menjadi penjamin padahal tindakan tersebut sah menurut UU? Mengapa saya tidak boleh dijamin, padahal saya baru tersangka, namun saya seolah-olah sudah divonis sebagai penjahat negara oleh pernyataan Mangku Pastika melalui media massa. Dimana asas praduga tak bersalah ditempatkan olehnya? Karena hanya hakim yang boleh menyatakan orang tersebut bersalah atau tidak. Sebuah sikap arogan yang menurut saya menjadi ukuran seberapa cerdas orang tersebut. (namun pernyataan tersebut telah diklarifikasi di berbagai forum oleh Mangku Pastika bahwa pernyataan yang dikeluarkan di media massa karena dia emosi) Hasil akhir dapat ditebak, permohonan penangguhan penahanan saya ditolak, bahkan langsung dinyatakan oleh Mangku Pastika.
Sedikit cerita, selama saya di tahanan Poltabes Denpasar, sejak saya masuk disana banyak aturan yang mendadak berubah. Jam besuk yang biasanya diperbolehkan setiap hari, tiba-tiba dirubah menjadi 3 kali dalam seminggu. Bahkan yang paling unik tiba-tiba ada aturan, para tahanan tidak boleh menerima makanan, minuman dan rokok dari pembesuk termasuk keluarga. Perintah ini datang langsung dari Kapolda dan terpampang di ruangan jaga tahanan (aneh ya?). Sehingga mau tidak mau saya dan para tahanan lain hanya menikamati ‘nasi cadong’ (nasi bungkus jatah di tahanan) yang diberikan 2 kali sehari, jam 11.00 Wita nasi pertama dan jam 17.00 Wita jatah ke dua. Sementara air jatah biasanya hanya tersedia 2 jerigen besar untuk seluruh penghuni “hotel”kira-kira sebanyak 40 orang yang diberikan setiap makan.
Adanya perubahan yang mendadak menyebabkan tahanan yang lain marah dan menuduh saya sebagai penyebab perubahan tersebut. Untunglah emosi mereka dapat diredakan oleh tahanan yang lain sehingga tidak terjadi kekerasan terhadap diri saya.
2 Maret 2005
Berkas saya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Denpasar. Hari itu juga saya berpisah dengan teman-teman di tahanan Poltabes dengan rasa haru. Pesan hati-hati terucap dari mereka. Karena sejak itu dapat dipastikan saya akan dipindahkan ke LP Kerobokan dengan status sebagai tahanan titipan Kejari Denpasar. Di Kejari rombongan Frontier sudah menunggu diri saya dengan bentangan poster dan spanduk bertuliskan, “Bebaskan Gendo”, “Tolak kenaikan harga BBM”, dan “Seret koruptor ke pengadilan”. Dalam tuntutannya, Frontier mendesak pembebasan saya yang merupakan korban politik kekuasaan, cabut pasal-pasal karet karena tidak sesuai dengan semangat kebebasan, adili koruptor yang jelas-jelas merugikan rakyat, dan cabut kebijakan kenaikan harga BBM. Setelah selesai diperiksa, saya dimasukan ke mobil tahanan untuk dikirim ke LP Kerobokan. Perjalanan sempat tertunda karena dihadang di depan gapura Kejari oleh teman-teman Frontier. Isak tangis mewarnai momen ini. Saya hanya mengatakan bahwa, “saya sehat, dan meminta teman-teman Frontier untuk terus berjuang. Saya sudah siap dengan resiko penahanan.” Kenaikan harga bahan bakar minyak itu lebih menghina perasaan rakyat kecil, karena koruptor kakap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang trilunan rupiah dibebaskan, saya berujar. “Bagi saya represi terhadap aktivis menunjukkan pemerintahan SBY makin tidak ramah terhadap suara-suara lain yang berbeda dengan kebijakannya.” Lalu dengan tangan terjulur melalui jendela yang dibatasi jeruji besi, satu persatu saya salami mereka. Kemudian mobilpun menuju LP.
24 Maret 2005,
Sidang perdana saya didampingi oleh 27 Advokat terdiri dari : PBHI Pusat, PBHI Bali dan Ikadin Bali. pada satu kesempatan saya menyatakan ketegasan sikap saya menolak didakwa dengan pasal-pasal karet dan menyatakan akan Walk Out dari Persidangan bila sidang dilanjutkan.. Dikarenakan perdebatan yang sengit antara Jaksa Penuntut Umum serta Tim Pembela maka Majelis Hakim menunda persidangan selama 10 menit.
Setelah 10 menit berlalu, kembali Majelis Hakim membuka sidang dan kembali menghadirkan saya di depan persidangan. Majelis Hakim tetap berpendapat untuk meneruskan perkara dengan membacakan surat dakwaan. Namun keputusan ini diinterupsi Tim Pembela. Pada saat ini saya mengambil keputusan untuk segera keluar dari ruangan sidang.
Walk out adalah pilihan saya. Sebuah pilihan yang beresiko tinggi karena dapat dikenakan delik penghinaan pengadilan. Sebelum saya keluar saya berkata, “silahkan vonis saya sekehendak kalian, lebih baik tidak usah ada sidang, saya siap dihukum sesuai keinginan kalian!”
Di luar ruang sidang, sempat terjadi tarik menarik antara aparat dengan kawan-kawan saya. Lalu saya mengambil megaphone dan menyanyikan darah juang serta meneriakkan sumpah mahasiswa. Selanjutnya saya dibawa oleh aparat melewati pintu belakang Pengadilan Negeri Denpasar masuk ke mobil lalu dibawa ke LP (menghindari massa dari mahasiswa, masyarakat ubud, dan masyarakat dampingan Frontier yang telah siap menghadang di depan PN Denpasar).
31 Maret 2005
Pengamanan sidang kedua cukup ketat. Tidak kurang dari 1 SSK (sekitar 170 ) anggota Samapta Poltabes di bawah komando Kapolsek Denbar, AKP Singgamata, dikerahkan. Pintu masuk PN juga dijaga ketat. Setiap pengunjung diperiksa satu-persatu dengan menggunakan metal detektor. Datang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Jacobus Kamarlo Mayong Padang dan Budiman Sudjatmiko serta kawan-kawan mahasiswa dari berbagai daerah; Bandung, Jakarta, Garut, Cianjur, Jatim dll memberi dukungan.
Pembacaan dakwaan yang gagal dilakukan pada sidang pertama karena saya walk out, pada sidang kali ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) berhasil mendakwa saya dengan pasal 134 jo 136 bis KUHP tentang penghinaan terhadap presiden, dan yang dihina tidak berada di tempat, dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara. Usai pembacaan dakwaan, saya lagsung menyergah, “Saya menolak kalau sidang ini menggunakan pasal karet peninggalan kolonial.” Hakim kemudian mengimbau saya agar menyampaikan keberatan pada eksepsi. Saya akhirnya menerima dengan catatan bahwa dakwaan itu penuh dengan muatan politik.
Lalu JPU membacakan surat dakwaannya. Ketika ditanya oleh Hakim, apakah saya mengerti dengan isi dakwaan, dengan singkat saya jawab,”Saya tidak mengerti isi dakwaan JPU. Tolong diulang kembali.” Mendengar itu, JPU memberikan jawaban dengan garang, “Apakah Saudara tidak mengerti dengan bahasa Indonesia?” tukas JPU tidak kalah ketus. Namun akhirnya JPU bersedia mengulang kembali atas desakan para penasehat hukum. Kemudian saya ditanya lagi oleh ketua majelis hakim, apa saya mengerti atau tidak ?
Saya berkata , “Saya tidak akan pernah mengerti dengan dakwaan itu!” “Kalau saya membela rakyat, dikenakan pasal ini, lalu bagaimana dengan Presiden yang menghina rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dengan cara menghianati janji-janjinya, pasal apa yang akan dikenakan?”
Pertanyaan saya dihentikan oleh Ketua majelis Hakim, karena itu saya langsung menutup mulut di hadapan majelis hakim dengan menggunakan kain putih bertuliskan “Tolak kenaikan harga BBM”. Hakim meneruskan persidangan dan menganggap saya sudah mengerti. “Karena terdakwa diam, kita anggap telah mengerti dengan isi dakwaan,” tukas hakim. Dan saya tetap diam. “Terserah apa maumu!”, kata saya dalam hati
7 April 2005
Pada sidang ke III, adalah agenda penyampaian Eksepsi. Pembelaan pertama atas dakwaan JPU saya sampaikan dengan orasi. Cara eksepsi saya di interupsi oleh JPU, namun bagi saya semuanya tak berarti. Toh bagi saya cara mereka menyatakan bahwa mereka tidak pernah perduli kepada substansi.
Jika penguasa menindas atas nama harkat dan martabat negara berdasar hukum dan undang-undang Maka kita akan bangkit melawan atas nama harkat dan martabat rakyat berdasar hati nurani” itulah kata-kata terakhir saya menutup eksepsi, berharap para hakim menyadari bagaimana idealisme kami para kaum pergerakan demokrasi.
Selanjutnya Tim penasihat hukum meminta majelis hakim menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono demi memberikan keterangan dalam persidangan kasus pembakaran poster foto presiden. Tim penasihat hukum berpendapat, keterangan presiden diperlukan untuk mengungkap kebenaran material dalam dakwaan jaksa penuntut umum.
14 April 2005
JPU mengajukan replik yang kemudian saya balas dengan mengajukan duplik secara lisan
18 April 2005
Pada Putusan Sela yang di bacakan oleh Ketua Majelis Hakim yang intinya, menolak eksepsi saya dan memerintahkan sidang diteruskan untuk mendengarkan keterangan para saksi. Tidak banyak yang saya katakan ke Hakim, “Selamat tinggal Demokrasi dan selamat datang Otoritarianisme”, itu saja yang terucap.
25 April 2005
Sidang kali ini dihadiri oleh Rektor Unud (Prof.Wita) dan beberapa staf pengajar FH Unud, juga dipadati oleh elemen gerakan mahasiswa, LSM dan masyarakat Ubud. Agenda sidang memasuki pemeriksaan pokok perkara. Sebagaimana permintaan kami sebelumnya, kami tetap meminta majelis hakim memerintahkan JPU untuk memanggil SBY sebagai saksi yang diperiksa. Dan kami secara tegas menolak pemeriksaan saksi lain sebelum SBY diminta keterangannya. Sehingga saksi lain yang sebelumnya sudah masuk ke ruang sidang, bahkan telah disumpah, batal diperiksa karena terjadi perdebatan yang keras antara pihak saya dan JPU. Pada awalnya hakim sependapat dengan JPU, karena menurut mereka kasus ini bukan delik aduan. Namun beda bagi kami, kasus pidana harus dibuktikan secara materiil apa SBY merasa terhina atau tidak.
Saya mulai hilang kesabaran, ”Tidak ada alasan bagi Susilo Bambang Yudhoyono tidak didatangkan ke sidang, Yang bersangkutan wajib dihadirkan sebagaimana saya diwajibkan hadir di sini,” kata saya, sembari mengingatkan mereka bagaimana mereka memaksa saya untuk hadir dipersidangan yang jelas-jelas saya tolak dan tidak mau saya hadiri. Pada akhirnya hakim memenangkan permintaan kami dan memerintahkan JPU memanggil SBY sebagai saksi korban. JPU tidak menyerah, dia hanya akan memanggil SBY bila ada penetapan dari PN Denpasar. Ternyata majelis hakim mengatakan siap untuk membuat penetapan. Sehingga JPU tidak bisa berkutik dan diwajibkan memanggil SBY sebagai saksi. Tapi benarkah JPU satya wacana?
2 Mei 2005
Sesaat sebelum sidang dimulai, saya ditemui secara khusus oleh Pengasuh Ashram Gandhi Puri, Agus Indra Udayana, di sel PN Denpasar. Gus Indra menghadiahi saya satu seloki tirta (air) gangga, sebuah buku berjudul Tuhanku (My God) karya Mahatma Gandhi dan seutas Japa Mala (semacam tasbih yang terbuat dari kayu) yang khusus dibawa dari India sembari membisiki saya dengan lantunan mantra serta pengalungan japa.
Gus Indra menyemangati saya dan menyatakan bahwa tindakan saya bukan suatu tindak kejahatan. Karena konteksnya masih dalam kerangka otokritik atas kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR. “Gerakan Gandhi di India menyatakan simpati terhadap Gendo. Terlebih setelah dilansir majalah Time dan beberapa media di India,” ungkapnya
Tiba saatnya saya bersidang. Keanehan hukum di Indonesia mulai terkuak. Perintah Majelis Hakim yang dikuatkan dengan penetapan Ketua Pengadilan Negeri Denpasar kepada JPU agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dihadirkan sebagai saksi ternyata mendapat perlawanan dari Jaksa Penununtut Umum (JPU), Putu Supartha Jaya SH dan Erwin Widihantono SH. Padahal sebelumnya JPU menyatakan akan mengikuti perintah majelis hakim untuk memanggil SBY dengan syarat ada penetapan dari PN Denpasar. Setelah itu ternyata JPU mengingkari pernyataannya sendiri yang diucapkan di depan persidangan pada sidang sebelumnya.
Lalu Majelis Hakim membacakan perlawanan Jaksa tersebut. Surat bernomor: B-/537/P.1.10/Ep./04/2005 tersebut intinya melawan Penetapan Hakim PN Denpasar nomor: 156/Pid.B/2005/PN.Dps, tanggal 25 April 2005. Pada intinya Jaksa beralasan karena kasus itu bukan delik aduan (klach delik). Menghadirkan presiden RI dalam pandangan jaksa bertentangan dengan azas kepatutan. Sebab hal itu jelasnya, untuk menghadirkan presiden sebagai saksi ke persidangan haruslah mengikuti aturan UU nomor 8 tahun 1987 yo PP Nomor 62 tahun 1990, tentang keprotokolan.
Saya dan penasehat hukum tetap bersikukuh dan mempertanyakan sikap jaksa. Kami menilai perlawanan JPU tidak memiliki landasan yuridis. Sebab dalam hal kewenangan menghadirkan saksi adalah hal yang absolut sebagaimana diatur KUHAP. Menanggapi perlawanan JPU tersebut, majelis hakim meminta kedua pihak untuk menunggu penetapan Pengadilan Tinggi (PT).
4 Mei 2005
Saya dipercaya sebagai Ketua PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) Wilayah Bali. Saya terpilih melalui Musyawarah Wilayah PBHI Bali dan menyisihkan 2 Kandidat. Hal ini menyebabkan kendali organisasi dijalankan dari penjara dan untuk sementara organisasi dipimpin oleh Wakil Ketua PBHI Bali.
9 Mei 2005
Persidangan kali ini berjalan alot. Hal ini karena turunnya penetapan Pengadilan Tinggi yang sangat abu-abu alias bersayap. Putusan PT tersebut bernomor: 32/PLW/Pen.Pid/2005/PT.Dps. Diputuskan tanggal 3 Mei 2005 dan diteken Ketua PT Bali I Gusti Made Lingga SH. Isinya menyatakan, bahwa perlawanan JPU I Putu Supartha Jaya SH, tidak dapat diterima. Juga membebankan biaya perkara kepada JPU. Alasan PT tidak menerima perlawanan jaksa tersebut karena hal tersebut tidak diatur dalam KUHAP.
Ironisnya dalam pertimbangannya menyatakan, bahwa penetapan PN Denpasar nomor 156/Pen.Pid/2005/PN.Dps, tertanggal 25 Aprl 2005 yang memerintahkan JPU untuk menghadirkan saksi korban yakni Presien RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah tidak mutlak harus dilaksanakan. Justru pertimbangan PT inilah yang digunakan oleh JPU untuk menolak perintah Hakim menghadirkan SBY sebagai saksi.
Betapa kemudian kejengkelan saya memuncak. Aparat penegak hukum telah mempermainkan hukum demi menjaga kekuasaan. “Majelis hakim yang terhormat, saya tidak mau diperiksa jika tidak ada ketegasan dari JPU untuk memanggil presiden. Saya ingin tahu itikad baik dari JPU untuk berani memanggil presiden SBY, setelah itu saya baru bersedia diperiksa,” saya menyeru lantang. Namun majelis hakim tidak memenuhi keinginan dan tetap memaksakan melanjutkan persidangan. “Saya tidak setuju majelis. Kalau JPU bisa melakukan perlawanan maka sayapun akan melawan dan saya akan keluar dari persidangan ini,” saya mulai menantang. Majelis hakim tetap ngotot, dan saya tetap tidak mau perduli walaupun Hakim mengancam saya dengan delik penghinaan terhadap pengadilan, Saya memilih walk out dengan resiko tambahan ancaman hukuman penghinaan pengadilan.
Lalu sidang ditunda hakim untuk bermusyawarah dan akhirnya majelis hakim tetap memerintahkan JPU memanggil SBY . Namun JPU tetap bersikukuh menolak memanggil SBY atas dasar pertimbangan dalam penetapan PT Bali. Sebuah proses hukum yang aneh namun nyata. Dapat ditebak akhirnya sampai vonis terakhir SBY tidak datang sebagai saksi. Ini berarti perintah Majelis Hakim tidak dipatuhi oleh JPU atas dasar sebuah putusan yang tidak berdasar. Dan tidak dihormatinya asas equality before the law
Pada sidang-sidang berikutnya
Seluruh saksi-saksi diperiksa. Saksi dari JPU hampir semuanya memberatkan saya. Bahkan menyatakan kalau mereka sakit hati dengan dibakarnya gambar Presiden mereka. Tapi ketika ditanya bagaimana perasaan mereka terhadap kebijakan SBY yang menaikkan harga BBM. Hampir sebagian besar saksi terlihat terpaksa mengatakan kalau mereka setuju atas keputusan tersebut. Belum lagi ternyata dari 4 polisi yang hadir sebagai saksi ternyata 3 polisi menyatakan bahwa keterangan yang diberikan berdasarkan perintah. Sehingga keterangannya patut diabaikan karena tidak independen.
2 Juni 2005
Saya dituntut satu tahun penjara oleh JPU. Saya hanya tersenyum bahkan “nyengir” menanggapi tuntutan JPU tersebut, sementara massa mahasiswa dan masyarakat tidak terima. Sebuah tuntutan yang tidak mengejutkan bagi saya. Tuntutan hukum yang selalu diberikan kepada rakyat marginal.
7 Juni 2005
Saya membacakan pledoi yang berjudul “Indonesia ½ Merdeka; Demokrasi ½ Tiang”. Sebuah pledoi yang susah payah saya buat selama lima hari di LP Kerobokan. Dibantu oleh teman-teman Frontier yang lain. Pembacaan pledoi dilakukan selama 3 jam lebih. Selanjutnya Tim Pembela turut membacakan pledoinya.
Jumat, 10 Juni 2005,
Saya divonis 6 bulan. Sebuah vonis yang patut dipertanyakan, namun bagi saya cukup direspon dengan senyum saja. Namun beda bagi masyarakat pengunjung sidang. Mereka tidak terima dengan keputusan hakim yang dianggap tidak adil, terjadilah dorong-mendorong massa dengan aparat. Sidang dihentikan tanpa dibacakan hak-hak saya atas vonis, dan saya divonis tanpa ketuk palu, hakim meninggalkan sidang tanpa mengetuk palu yang wajib dilakukan oleh majelis hakim sesuai dengan KUHAP. Inilah pelanggaran yang dilakukan majelis hakim terhadap pasal 196 ayat 3 huruf a dan b KUHAP. Inilah kesewenang-wenangan, bukannya melakukan koreksi tapi malah mereka berpendapat kalau putusan itu tetap sah.
11 Juni 2005
Keanehan terjadi lagi dalam proses hukum di Indonesia, ketika saya sedang olahraga sore di LP Kerobokan, sekitar jam 4 sore tiba-tiba asisten JPU mendatangi saya. Ternyata dia mengajukan banding. Dan saya harus tanda tangan. Yang membuat aneh adalah pengajuan banding dilakukan hari Sabtu (11 juni/2005), padahal Sabtu adalah hari libur kerja karena instansi ini adalah 5 hari kerja. Kemudian barulah saya teringat, bahwa masa tahanan saya berakhir pada hari Minggu (keesokan harinya tanggal 12 Juni 2005). Pantas JPU memaksakan diri mengajukan banding dengan segala cara agar saya tak bisa bebas demi hukum.
13 Juni 2005
Mahasiswa dan masyarakat prodemokrasi tidak bisa menerima kesewenang-wenangan ini. Mereka mendatangi Pengadilan Negeri Denpasar untuk melakukan protes. Kemudian mendatangi Pengadilan Tinggi Bali. Ketua Pengadilan Tinggi memang menemui massa, namun tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan: “mengapa banding diterima pas hari sabtu, itu kan libur?” dan juga pertanyaan; “Mengapa Ketua Pengadilan Tinggi menerima banding JPU, padahal vonis hakim tidak sah?” Ketua Pengadilan Tinggi tidak mampu menjelaskan dan malah marah sembari menggebrak meja selanjutnya “ngeluyur” keluar. Mahasiswa dan masyarakat tidak terima, akhirya mereka memutuskan menginap di Pengadilan Tinggi Bali dengan mendirikan tenda. Beberapa hari kemudian 12 orang demonstran pindah tidur ke POLTABES Denpasar atas “rayuan” para DALMAS.
3 Juli 2005,
Saya dibebaskan setelah mendekam 6 bulan di penjara, hal yang pertama yang saya lakukan adalah nyegara gunung kemudian bertemu dengan kawan-kawan seperjuangan.
Inilah cerita singkat yang dapat saya uraikan dari berbagai macam pengalaman yang ada. Semoga pengalaman saya ini memotivasi kawan-kawan untuk berani menghadapi tantangan dan berani menyatakan pilihan apapun resikonya.
menurut saya, mereka banyak yang membantu kamu bukan atas dasar tulus, tapi justru menumpang popularitas dan jaringan,mengingat kamu sudah menjadi ikon representasi kalangan tertindas.ini jalan mereka juga buat diakui sebagai bagian dari perjuangan kamu.perjuangan yang ternyata tidak seperti ini cara yang diinginkan masyarakat.mereka sudah muak dengan agenda turun ke jalan.penderitaan mereka kini juga buah perjuangan kelompokmu yang berevolusi dengan tidak matang.akhirnya negara makin terpuruk…makanya be moderate! itu lebih bermartabat!
setiap orang dan setiap kelompok punya cara untuk mewujudkan cita2 mereka, termasuk kamu. bahwa ada yang memilih jalan moderat ato jalan radikal itu adalah pilihan metode. dan pilihan metode moderat pun mengandung sisi negatif, dan siapa yang menjamin bahwa cara moderat lebih bermartabat?
justru kelompok moderat yang sering melencengkan sebuah perjalanan yang lurus dan menjadi penumpang gelap. hehehe. kelompok yang selalu mengikuti arah angin. dan siapa sesungguhnya yang menelikung agenda revolusi? kelompok revisionis, anasir2 kekuatan lama dan kelompok moderat yang haus kekuasaan politik. kayaknya gitu broer
Walaupun saya bukan seorang aktivis hingga turun kejalan sebagai seorang demonstran, namun hati kecil saya mengatakan ‘Salut untuk Bli Wayan Gendo, lanjutkan perjuanganmu…’
Keren Boss!
tapi kok episode “bendera merah putih dilarang berkibar di ruang sidang” kok gak dimuat??
Proude of you!
Be consistent bro, jangan seperti beberapa rekan kita (kita??!!) yang memilih menjadi demonstran bayaran dan cukong politik!
Maaf waktu itu aku tidak berhasil mengerahkan anak sastra unud (waktu itu aku ketua senat baru diangkat) , undanganmu datang terlambat…..
Aku selalu menghadiri persidangamu bersama Pay dan Pak Haji ….
12 demontran pindah tidur ke POLTABES atas rayuan DALMAS… asik itu rame-rame…dan saya ragu klo saat itu mreka menumpang popularitas dan jaringan…
seru dan menarik
Kok ngga ada cerita siapa kawan di dalam sel abang! apakah mereka mendukung atau tidak, terus di dalam sel apakah ada yang membawa perubahan dalam perjuangan selain ketebalan dalam membela keadilan
salut buat perjuangan abang. mungkin inilah salah satu contoh yang bisa dijadikan panutan untuk para generasi muda lainnya. berjuang demi rakyat itu lebih mulia dari pada menjadi anjing -anjing para penindas.
mas thanks bgt tulisan mu bikin aku jadi lebih semangat untuk hidup sebagai seorang ibu yang pengin liat anaknya jadi orang yang tidak menjadi benalu buat orang lain
Keyakinan pada nurani akan menjernihkan mata dan hati yang akan tetap menjaga keutuhan nilai mulia dari mata hati…BANZAI bang Gendo…!!!
Kawan sudah lama kita tak bersua, pertemuan kita cuma sekejap kala itu di POSKO Perjuangan. Kawan ente sudah melanglang buana, suatu sat aku yakin u akan jadi seorang Pemimpin di Pulau Dewata……
(Zulkipli.085236660498)
Indonesia butuh orang2 yang konsisten dalam perjuangan mewujudkan impiannya. Bravo bli Gendo !!! j