Gerakan Mahasiswa dalam Manuver Borjuasi Nasional

gendovara

Melenyapkan kejahatan adalah awal dari kebajikan, dan menyingkirkan kebodohan adalah awal dari kebijaksanaan. (Gerard M Hopkins)

Mencermati perjalanan reformasi seiring dengan proses transformasi kepemimpinan nasional, ada beberapa hal yang patut disimak. Berbagai hal kegiatan yang berbau politik muncul dipermukaan, dari yang serius bahkan sampai yang bersifat dagelan muncul tanpa ada rem cakram pencegahnya alias blong.

Perubahan dan guliran konstelasi politik sedemikian cepat meninggalkan stasiun per stasiun, di mulai sidang umum dengan terpilihnya presiden baru Gus Dur sampai kemudian mengalami eskalasi kepada terselenggaranya Sidang tahunan MPR. Reformasi total yang dulu digembar-gemborkan oleh mahasiswa dan bahkan telah sempat untuk membangunkan kesadaran rakyat pada kesadaran riil kini mulai mengalami pembiasan.

Masih bertenggernya Golkar di puncak kekuasaan dengan “paradigma baru” sebagai iklan pariwara utamanya, semakin mengukuhkan pendapat bahwasanya reformasi yang ada sekarang adalah reformasi milik kekuasaan dan kata yang sempat sangar sampai bikin antek ORBA merasa kiamat kini telah berganti menjadi “Repotnasi”.

Keadaan makin diperparah dengan munculnya badut-badut reformasi yang dengan congkaknya mengaku bapak reformasi tapi perilaku politiknya jauh melenceng dari cita-cita reformasi yang sebenarnya. Sidang tahunan yang digelar MPR pun pada akhirnya tak lebih menghasilkan putusan-putusan yang sangat tidak substansional, sehingga muncullah istilah Sidang Tahunan MPR tak lebih sebagai politik dagang sapi atau bahasa kerennya disebut koe-handel.

Sidang Tahunan inipun justru makin memperparah kondisi politik nasional, bukannya mendapatkan solusi yang lebih tepat untuk jalan keluar bangsa inidari krisis multi dimensional tapi ternyata malah menambah masalah baru. Terbukti dengan munculnya desakan dari salah satu fraksi yang menginginkan dimasukannya 7 (tujuh) kalimat dari piagam Jakarta, ditundanya penghapusan keberadaan TNI/POLRI di “gedung terhormat” sampai tahun 2009. Ini menandakan bahwasanya elit politik negeri ini belum siap untuk menuju Indonesia Baru atau lebih tepatnya masih senang berkubang dengan Indonesia keparat.

Permainan ketoprak humor para politisi ini mulai membingungkan rakyat bahkan cenderung membawa rakyat kepada keputusasaan sosial. Ekonomi yang morat-marit makin membawa rakyat menuju kearah ketidakpecayaan mereka terhadap perjalanan reformasi.

Gerakan-gerakan rakyat terutama yang dilakukan mahasiswapun seakan-akan mulai mengalami frustasi politik. Gerakan mahasiswa yang pada masa 1998 dalam upaya penggulingan diktaktor Soeharto begitu hebatnya perlahan mulai menyurut seiring dengan tekanan dan strategi elit politik yang makin hari makin melakukan tingtank ala petinju ” job and run”.

Hanya beberapa kota dan organ gerakan prodemokrasi yang masih menjaga stamina perlawanan. Gerakan aksi massa yang dulu sangat masif kini makin menyusut, dan ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan konstalasi politik Indonesia.

Efouria reformasi yang melingkupi ruang pemikiran rakyat ternyata berimbas besar terhadap perkembangan proses perlawanan ini. Di satu pihak bernilai positif, dimana rakyat mulai berani mengungkapkan realita ketertindasan namun di pihak lain justru membuka ruang konflik horisontal yang sangat besar.

Persoalan ini menjadi dilema yang seakan-akan sulit terpecahkan. Demikian juga dengan gerakan pro demokrasi, sangat sulit untuk melepaskan diri dari beban mental proses reformasi ini.

Munculnya kekuatan-kekuatan fundamentalis makin menampakan kesangaran dari sebuah bias reformasi, entah dengan sebuah kepentingan murni ataukah karena hanya karena kepentingan kelompoknya atau mungkin ini adalah bagian yang tidak bisa terpisahkan dari strategi kekuatan pro status quo dalam upaya pengalihan tuntutan reformasi yang sejati.

Kejadian dalam beberapa waktu yang lalu termasuk berbagai aksi teror dan kekerasan adalah wujud dari sebuah masa peralihan dimana antara kekuatan “pelestari” kekuasaan berimbang bahkan cenderung melebihi kekuatan pembaharu,dan terbukti sangat efektif sekali untuk mengendapkan tuntutan real refomasi.

Bisa dilihat bahwa tuntutan bubarkan GOLKAR, cabut dwi fungsi TNI/POLRI, pengadilan dan nasionalisasi aset-aset kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya , pendidikan murah dan lain-lain menjadi terlupakan dan tertutupi oleh isu-isu teror dan kekerasan.

Semua peristiwa yang ada menjadikan daya gerak dan daya dobrak kaum pergerakan menjadi makin keblinger.

MAU KEMANA GERAKAN MAHASISWA?

Pertanyaan yang sekiranya adalah pertanyaan yang tidak terlalu membutuhkan jawaban teoritis namun justru membutuhkan kerja praktis dan kongkrit.

Posisi dilematis yang dihadapi oleh kalangan gerakan pro demokasi terutama oleh gerakan mahasiswa memang sedang dalam keadaan yang menyedihkan. Perubahan konstalasi politik yang berjalan hampir setiap sepersekian detik, sangat mempengaruhi kajian dan analisa dari gerakan mahasiswa dan secara tidak langsung hal ini sangat mempengaruhi kinerja dari gerakan mahasiswa.

Keinginan untuk secepatnya mewujudkan tujuan reformasi yaitu Indonesia baru seakan-akan menjadi bumerang dalam proses gerak juangnya, ketidaksiapan rakyat Indonesia menghadapi revolusi adalah menjadi kendala utama gerakan mahasiswa untuk menuntaskan reformasi total ini.

Terjepitnya perekonomian rakyat malah justru menjadikan mereka mulai merindukan masa-masa “keindahan” ORBA, dan ini yang sebenarnya harus diwaspadai oleh seluruh elemen gerakan pro demokrasi apalagi sekarang negara ini sedang ada dibawah rezim populis yang mau tidak mau harus membuat gerakan pro demokrasi terutama gerakan mahasiswa untuk mulai berhati-hati dalam memainkan strategi taktis aksi.

Terus, apa yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa di tengah kancah permainan dan manuver borjuasi nasional ini?

1. KEMBALI KE SEKTOR RAKYAT

Tentunya akan ada pertanyaan lanjutan dari pernyataan ini. Diakui atau tidak bahwasanya rakyatlah yang paling berperan dalam proses perubahan bangsa ini, gerakan untuk kembali ke rakyat harus dimulai dalam upaya untuk membangun kesadaran politik di kalangan msyarakat bawah.

“Tidak akan pernah ada revolusi yang berhasil tanpa disertai oleh massa yang sadar” (Soekarno), pernyataan dari mantan revolusioner ini seharus dicamkan oleh kalangan gerakan mahasiswa jika ingin mewujudkan perubahan yang sejati.

Penyadaran itu dapat dimulai dengan mengadakan pendampingan-pendampingan pada daerah berkasus, dan ini sangat signifikan untuk dilakukan karena pada dasarnya jiwa perlawanan ada pada manusia yang mengalami penindasan secara langsung.

Namun perlu ditegaskan disini, pendampingan sekaligus penyadaran politik bukan berarti datang dan terus menjadi malaikat. Kesadaran yang dibangun bukan dengan memberikan pendidikan sistematis ataupun pendidian gaya bank, dimana masyarakat hanya menerima dan dijejali dengan teori tertentu sebagai upaya penyadaran hak sebagai warga negara, namun yang lebih mendasar adalah memberikan penyadaran tentang hak mereka dan selanjutnya menempatkan masyarakat ini sebagai subyek dari proses pendidikan ini.

Pendidikan ini dikatakan berhasil apabila masyarakat sudah bisa melepaskan diri dari sikap fatalismenya dan mempunyai mobilitas yang tinggi serta secara aktif terlibat dalam sistem politik.

Penumbuhan kesadaran ini sangat efektif untuk mencegah terjadinya bahaya laten kerinduan terhadap Orde Baru. Pada akhirnya pendidikan ini berupaya untuk membuat rakyat memiliki Goldman, “kesadaran riil melalui kesadaran yang sangat memungkinkan (real consciuosness through maximal possibble consciuosness, Paulo Freire) yang merupakan inti dan dasar dari sebuah revolusi.

2. “KEMBALI” KE KAMPUS

Bukan berarti bahwa gerakan kembali ke kampus disini sama dengan gerakan NKK/BKK, tapi harus ada penilaian dan sebuah refleksi yang sangat obyektif dalam memandang arah dan pola gerakan mahasiswa. Berkaca dari gerakan mahasiswa di daratan Eropa dan Amerika Latin tahun 60-an, dimana sebagian besar gerakan rakyat tumbuh dari akumulasi gerakan / gejolak didalam kampus. Ini seharusnya menjadi acuan yang sangat mendasar bagi pola gerakan di negara ketiga khususnya Indonesia.

“Kembali” ke kampus bukan berarti mahasiswa untuk seterusnya menjadi kutu buku, namun gerakan ini harus mulai membangun kekuatan untuk sebuah revolusi pendidikan. Mau tidak mau harus diakui bahwa menyurutnya gerakan mahasiswa juga akibat dari sistem pendidikan Indonesia yang sangat menindas.

Keputusan “laknat” Daoed Joesoef dengan SK NKK/BKK nya mepunyai implikasi yang sangat besar bagi perkembangan gerakan mahasiswa. Pemandulan mahasiswa dengan sistem SKS, DO, absensi 75 persen terbukti efektif, sehingga sampai sekarang mahasiswa seakan-akan telah kehilangan “sense of sosial” nya dan hak politiknya.

Kondisi ini yang sekarang harus mulai di dobrak oleh kalangan pro demokrasi, dan ini telah dilakukan oleh sebagian besar kampus di Indonesia, namun semua ini barulah pada tahapan permukaan belum pada tataran yang lebih substansional.

Penyadaran tentang hak politik mahasiswa dan pemahaman tentang penindasan negara melalui sistem pendidikan harus mulai diinjeksikan kepada kalangan grass root mahasiswa sebagai upaya membangun kekuatan dan konsolidasi menghadapi manuver kaum borjuasi nasional. Sehingga dalam kurun beberapa waktu maka tidak lagi hanya ada segelintir aktifis mahasiswa tetapi akan tumbuh ratusan bahkan ribuan mahasiswa yang siap untuk revolusi.

Dua hal ini sekiranya yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa ditengah permainan elit politik sekarang ini. Dengan mempertimbangkan situasi nasional dan psikologis rakyat yang sudah mulai jenuh dengan perjalanan reformasi total yang belum tuntas, sudah seharusnya gerakan mahasiswa mengubah pola gerak yang ada, namun tetap harus disesuaikan dengan kondisi tiap daerah tertentu.

Kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar dibatasi oleh lautan tidak memungkinkan melakukan gerakan seperti mahasiswa di belahan Amerika Latin dan Eropa dengan pola bola saljunya.

Tapi keterbangunan common enemy dikalangan gerakan mahasiswa terutama di kalangan gerakan mahasiswa yang radikal sudah semestinya dilakukan untuk sebuah gerakan yang masif. Dengan melakukan penyadaran di kedua sektor ini maka suatu saat dalam sebuah momentum politik yang tepat, maka diyakini akan timbul sebuah perlawanan dari rakyat yang sadar.

Dan pola ini bukan berarti meninggalkan tuntutan reformasi tetapi justru menjadi entry point yang sangat kuat untuk melangkah kepada tuntutan itu dengan meminimalisir ketakutan rakyat akibat kesadaran politik yang semu dari negara .

Membangun kekuatan dan mengantisipasi kerinduan terhadap Soeharto hanyalah bisa dilakukan dengan pendidikan secara langsung, dimana rakyat melakukan perlawanan bukan atas dasar ajakan tetapi lebih karena sadar akan adanya ketertindasan. Educacao como practica da liberdade (Paulo Freire), pendidikan adalah sebagai praktik pembebasan keyakinan akan massa yang sadar dan keyakinan akan sebuah pendidikan pembebasan, maka sudah seharusnya gerakan mahasiswa tidak ragu-ragu lagi dengan gerakan penyadaran dan pengorganisiran massa.

*Tulisan dibuat tahun 1999 dan tulisan ini pernah dimuat di BALIPOST dan dijadikan sebagai EPILOG dalam buku tentang Gerakan Mahasiswa

Total
0
Shares
5 comments
  1. Saya sepakat dengan tulisan anda, tp saya sangat tidak sepakat dengan pergerakan mahasiswa saat ini yg cenderung anarkis, bukankah demonstrasi itu untuk meraih simpati masyarakat, kok malah masyarakat menjadi antipati pada demonstrasi itu sendiri.

    perjalanan bola reformasi saya kira sudah mencapai tuntutannya. suharto sudah turun, dwi fungsi ABRI sudah dicabut, untuk menangkap koruptor ada KPK, pilpres pun sudah dipilih langsung.

    saya kira saat ini yg harus kita tuntut pembenahan adalah kubangan lumpur yg ada disenayan ( DPR ) apapun yg mereka lakukan harus dipertanggungjawabkan. samapai saat ini DPR tidak pernah bertanggungjawab kepada siapapun.

    Bukan berarti kita harus golput juga, saya tidak menyalahkan mereka yg golput, tetapi golput sama saja dengan lari dari tanggung jawab dan membiarkan negara ini tambah rusak.

    mari kita diskusikan solusinya….

  2. wah,,,
    si gendo dasyat.
    mudah2an aja benar2 kiri. ga kekiri-kirian.
    hehe,,
    nyantai bro..

    formula gerakan mahasiswa yg tepat sampai sekarang ini masih blum ditemukan.
    ditengah momentum pemilu 09 aja, masih banyak yg gamang.
    apakah terlibat atau tetap berada di luar.

    buatku sekali lg, ini adalah soal melihat situasi yg obyektif. tak perlu malu2 atupun setengah hati..
    bukan soal perdebatan ekstraparlemen atau parlementer posisi gerakan mahasiswa.
    yang terpenting bagaimana memenangkng dan merealisasikan semua cita-cita.

    menurut saya tugas gerekan mahasiswa
    bagaimana car membuat revolusi, menjaga serta menciptakan iklim demokratis agar tetap terjaga revolusi itu.
    soal bagai mana cara membuat tak perlu kaku. banyak jalan menuju roma??

    tengkyu…

  3. ….Maju terusss Bro…!!!! salut buat semua perjuanganmu…tetap berjuang melawan semua bentuk penindasan. Good blog for reverensi…terutama buat bikin – bikin lagu dengan tema perlawanan….Yeeeeeeaaaaaahhhhhh!!!! Cheerz!

    =======================================
    trims bro koment nya
    wuihhh saya jeg paling demen ama lagunya the DJIHARD yang judulnya
    GOD BLAST INDONESIA…
    seruu..seruuu (walaupun saya ga bisa bahasa inggris, tapi saya ngerti kok artinya..hehehheh)

    sama lagu
    TIKAM NEGRI
    hehhehe

    salam

    GENDO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Kesaksian Korban Pasal Lese Majeste

Next Post

“EKSPRESI YANG TERAMPAS NEGARA”