KEBEBASAN BEREKSPRESI DI UJUNG BUI
(Catatan atas Kriminalisasi Aktivis Mahasiswa ISI Denpasar)
Oleh: I Wayan “Gendo” Suardana, S.H.
Transisi demokrasi suatu Negara selalu mengalami kondisi pasang surut, satu hal yag paling menakutkan dari keadaan ini adalah menguatnya kekuatan otoritarian tidak hanya secara fisik tapi muncul dalam manifestasi watak kekuasaan dalam berbagai dimensi. Muncul melalui mekanisme demokrasi prosedural seperti pemilu maupun melalui berbagai institusi-instusi Negara termasuk instistusi pendidikan dengan melanggengkan watak rezim Orde Baru yang lekat fasis dan otoritarianisme.
Secara kasat mata, kualitas demokrasi Indonesia saat ini mengalami ujian yang cukup berat. Dalam kurun beberapa tahun belakangan, tercatat berbagai gerakan penyampaian pendapat dari warga Negara mengalami tekanan baik bersifat pembubaran, pelarangan bahkan kriminalisasi dengan menggunakan hukum pidana. Pemdanaan tersebut memanfaatkan berbagai pasal-pasal haatzaai artikelen dan lese majesty serta pasal-pasal “karet” lainnya yang masih berlaku dalam hukum positif Indonesia. Tindakan-tindakan tersebut secara massif dilakukan dalam upaya membungkam kritik yang dilakukan oleh warga negara khususnya oleh mahasiswa.
Tindakan pembungkaman atas kebebesan berpendapat dan berekspresi dalam kurun beberapa waktu belakangan juga menghantam gerakan mahasiswa di Bali. Bahkan saat ini terjadi di dalam institusi pendidikan tinggi yaitu Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Sekitar 22 Mahasiswa kampus tersebut telah dipanggil dan sebagian telah diperiksa oleh pihak Poltabes Denpasar sebagai tersangka dengan sangkaan pasal 335 KUHP. Pemeriksaan yang dilakukan atas dasar laporan dari Pembantu Rektor I (Purek I) ISI Denpasar.
Bermula dari kisruhnya pemilihan Rektor di kampus tersebut, menimbulkan riak-riak protes atas kondisi kampus; baik menyangkut sisi akademis maupun sistem penunjang lainnya selama dipimpin oleh incumbent Prof. Wayan Rai. Mahasiswa ISI Denpasar menggunakan hak kebebasan mimbar akademis yang dijamin oleh etika dan hukum kebiasaan Pendidikan tinggi serta dijamin oleh konstsitusi serta hukum hak asasi manusia untuk mengkritisi kondisi kampus mereka. Termasuk pula dengan melakukan aksi simbolik atas keboborokan ISI Denpasar dengan cara aksi penyegelan gedung. Suatu aksi simbolik yang tidak menimbulkan kerusakan fisik apapun kecuali sarat pesan bagi birokrat kampus ISI Denpasar terutama incumbent Rektor Prof. Wayan Rai untuk segera melakukan refleksi bagi pembenahan sistem kehidupan kampus termasuk menjamin kebebasan mimbar akademis civitas akademikanya.
Ironi Kampus Seni
Institut Seni Indonesia Denpasar, adalah kampus barometer kesenian di Bali bahkan terhitung pula di Indonesia. Sebagai kampus seni maka value seni tentunya menjadi satu acuan dalam setiap langgam kehidupan kampus ini. Sehingga aksi-aksi unjuk rasa dari mahasiswanya termasuk dengan aksi simbolik berupa penyegelean gedung sepatutnya dipandang sebagai kegiatan seni. Sebagai ekspresi dari kegundahan jiwa-jiwa mahasiswa yang merupakan bagian dari civitas akademika atas realitas sistem pendidikan tinggi terutama sistem pendidikan di kampus ISI Denpasar. Ironisnya aksi simbolik tersebut malah sebaliknya ditanggapi reaksioner dengan membawa aksi simbolik tersebut ke dalam proses hukum pidana. Melaporkan aksi simbolik tersebut sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan dengan sangkaan pasal 335 KUHP, menyebabkan tidak kurang dari 22 mahasiswa ISI Denpasar saat ini berstatus tersangka.
Tindakan dari pihak Rektorat ISI Denpasar tersebut, tidak hanya menodai kebebasan akademis dari civitas akademika namun secara tidak langsung menodai proses transisi demokratisasi di Indonesia. Peran tersebut memberikan kontribusi yang buruk bagi jaminan pelaksanaan kebebasan berpendapat dan berekspresi yang kian lama kian terkikis akibat kriminalisasi yang terus menerus dilakukan oleh negara termasuk oleh lembaga pendidikan tinggi seni di Bali.
Ada adagium yang menyatakan “kampus adalah benteng kebenaran terakhir”. Secara tersirat menyatakan betapa kampus adalah suatu entitas yang mampu untuk menjadi benteng dari kebenaran itu sendiri. Seyogyanya kampus berserta seluruh civitasnya melakukan tindakan-tindakan untuk menjaga langgengnya nilai-nilai kebenaran sejati sebagai konskwensi logis seorang intelektual. Kampus pula yang harus menjadi benteng terakgir bagi terjaminnya hak-hak warga Negara dalam melaksanakan kebebasan akdemik, kebebasan berpendapat serta berekspresi yang semakin tergerus oleh kembalinya kekuatan otoriatarianisme orde baru
Ratifikasi atas Konvenan Internasional Hak SIpil dan Politik serta jaminan atas HAM yang tercantum dalam UUD’45 seharusnya mendapatkan jaminan pelaksaanaan secara bebas dan bahkan sepatutnya lebih bebas di dalam kampus. Sebagai benteng kebenaran terakhir, tidak ada alasan pembenar apapun bagi pihak penyelenggara pendidikan untuk mengkriminalisasikan aktivis mahasiswanya atas kebebasan berpendapat.
Pihak Rektorat ISI Denpasar dapat saja secara retoris menyatakan bahwa mereka menghargai kebebasan berpendapat dan menghargai gerakan protes yang dilakukan mahasiswanya. Mereka dapat pula berkilah bahwa pelaporan tersebut untuk memproses tindakan pidana mahasiswa tersebut dan menghargai supremasi hukum. Namun demikian, realitas dan kronologis kasus tersebut tidak berdiri sendiri. Aksi penyegelan tersebut tidak dilakukan sebagai bentuk dendam mahasiswa dan atau bentuk tindakan untuk mencederai Rektorat. Kecuali tindakan mahasiswa tersebut dilakukan sebagai bentuk protes dan simbolisasi seni atas keboborokan manajemen kampus ISI Denpasar. Sebagai pihak penyelenggara pendidikan seni tentu pihak rektorat ISI Denpasar tidaklah asing dengan seni instalasi, yang rekat dengan simbol-simbol termasuk simbolisas penyegelan. Sehingga tidak patut aksi protes dengan simbolisasi penyegelan dipisahkan seolah-olah berdiri sendiri sebagai tindak pidana dan selanjutnya rektorat dengan jajarannya serta di backup oleh kuasa hukumnya membawa kasus ini ke dalam domain hukum pidana.
Tindakan itu telah mencederai hak-hak konsitusi, hak asasi manusia termasuk hak kebebasan akademis mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademika. Tindakan yang secara kolektif berkontribusi besar terhadap penurunan kualitas demokrasi dengan memakai hukum pidana, apa lagi mempergunakan pasal 335 KUHP yang sudah terkenal kekaretannya dan kekhususannya dalam meredam hak-hak sipil dan hak politik dari warga negara. Bahwa pasal tersebut adalah pasal anti demokrasi dan kekaretannya dapat dengan leluasa diinteprestasikan oleh penguasa negara untuk kepentingan mereka. Hal ini bertentangan dengan konsep demokrasi. Kriminalisasi kebebasan bukan saja melanggar hak atas kebebasan, melainkan juga melanggar konstitusinya sendiri. Kriminalisasi hak atas kebebasan berekspresi adalah pelanggaran melalui hukum (violence by judicial) yang dilakukan negara atas orang-orang yang menyuarakan kebebasan.
Semoga Rektor ISI Denpasar beserta jajarannya dan juga kuasa hukum mereka dapat berpikir jernih untuk secara bersama-sama menyelamatkan kualitas demokrasi Indonesia yang sudah mulai terancam oleh anasir-anasir anti demokrasi. Atau kalau tidak, mungkin saja penyelenggara kampus ini mulai terserang sindrom kerinduan terhadap Soeharto dengan melestarikan dan mempraktekan watak Orde Baru yang refresif dan anti kritik.
Penulis adalah: Majelis Anggota Wilayah PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) Bali dan Manager Regional Indonesia Timur- Eksekutif Nasional WALHI, saat ini menetap di Jakarta
(Tulisan ini dimuat di Harian Metro Bali; Rabu, 6 Mei 2009)
Kadang kita selalu dihadapkan pada “kebenaran menurut siapa ?”
yen konyang jlemene d Baline berpola fikir tinggal pules dogen dalam suatu masalah, sing jeg sube tinggal “bangke den be”
lagipula,
SENI ITU ABSTRAK BUNG.
memang siapa yg biaa mendifinisikan Seni itu sendiri ????????????
Buat Wayan Dogler
beberapa kali anda protes comment anda tidak saya app. karena comment anda sudah bukan lagi bicara tentang content. bagi yang masih berhubungan dengan konten blog sekasar apapun komentar anda akan saya app (sebagai konsekwensi logis saya menjunjung kebebasan berpendapat). Namun karena pendapat anda lebih banyakk masuk ke ranah pribadi,maka saya tidak akan app. karena kebebasan berpendapatpun dapat dibatasi (kebebasan berpendapat adalah hak derogble rights)
yang berikutnya; anda menuduh saya tidak konsisten dengan kebebasan berpendapat, seperti yang saya jelaskan diatas dan anda bisa lihat bahwa sekasar apapun pendapat anda sebelum2nya tetep saya APP karena masih berhubungan dengan konten. tapi tidak untuk pendapat2 yang saya tolak
Selanjutnya, faktor lainnya yang menyebabkan anda makin tidak pantas saya app adalah, bahwa anda menggunakan ID palsu. kalo anda meminta agar pendapat anda dihargai atas nama kebebasan berpendapat di blog ini, maka saya mengajak anda agar kita sama2 bertanggungjawab dengan gagasan itu. Artinya: mari kita belajar melakukan kritik otokritik dengan fair. mari lah kita mengungkapkan kritik kita walaupun dengan cara menghina, menghujat, mencaci (sepanjang berhubungan dengan konten) tetapi TUNJUKAN IDENTITAS ASLI agar perdebatannya menjadi fair dan pendapat itu dapat dipertanggung jawabkan
terakhir, setelah berkonsultasi dengan aHli IT, ternyata nickname WAYAN DOGLER adalah orang yang juga pernah berkomentar di blog ini (maaf anda sudah terlacak)
paling terakhir, dan sekarang anda sedang berusaha melakukan black campaign di blog ini dengan nick name baru
saran saya: sudahlah mari belajar berdemokrasi secara terbuka dan berpendapat secara gentle.
Salam Hormat
Gendo