PEMILU 2009 DAN PERSOALAN YANG MENYERTAI
Buletin Elektronik
SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 194 Tahun V – 2009
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
Oleh Andi K. Yuwono dan Gendo Suardana*
“Warga negaralah yang bisa menjadikan pemerintah dan parlemen hidup kembali dengan membuatnya responsif, akuntabel dan senantiasa jujur. Tak ada cara lain.”
(John Gardner)
Pemilu dalam artian pencontrengan untuk DPR RI, DPRD I, DPRD II dan DPD sudah hampir bisa dikatakan selesai di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9 April 2009 lalu. Tinggal beberapa wilayah saja yang menyisakan proses itu karena beberapa alasan teknis yang sebetulnya bisa diprediksi sejak semula oleh penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU.
Hasil yang diperoleh, walau belum secara resmi, sudah terlihat dan didapatkan oleh masyarakat dari media elektronik yang menyiarkan secara langsung atau media cetak. Untuk resminya memang masih menunggu tabulasi akhir KPU yang rencananya akan selesai sekitar dua minggu setelah tanggal 9 April 2009. Dari data quick count yang diperoleh beberapa lembaga survei, menunjukkan bahwa Partai Demokrat saat ini merupakan pemimpin perolehan suara terbanyak diikuti oleh PDIP, Golkar (keduanya saling susul bergantian), PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura serta yang lainnya.
Pencapaian Partai Demokrat memang sangat mengejutkan yang secara telak telah menunjukkan dirinya mampu memperoleh “kepercayaan” dari para pemilih di atas angka 20 persen, yang bahkan jauh melampaui performanya pada tahun 2004 lalu yang hanya mencapai kisaran angka prosentase 7,5 persen saja. Sementara PDIP turun sekitar 4 persen dari tahun 2004 dan Golkar sendiri terjun bebas sekitar 7 persen dari sekitar 21,6 persen pada tahun 2004.
Di posisi papan tengah, PKS di urutan keempat rupanya cukup puas mempertahankan posisi perolehan suaranya sekitar 7 persen, tak jauh berbeda dibandingkan tahun 2004. PAN menyusul di posisi kelima dengan perolehan suara di atas 5,5 persen turun dari 6,.4 persen dari tahun 2004. PPP menduduki peringkat keenam dengan perolehan 5,2 persen turun sekitar 3 persen dibandingkan tahun 2004. PKB sebagai partai yang cukup tersohor karena konflik internal, terpaksa turun persolehan suaranya dari 10,6 persen menjadi setengahnya atau hanya 5,2 persen.
Yang menarik adalah dua partai baru yang digawangi oleh mantan petinggi militer negeri ini, yaitu Gerindra dan Hanura. Gerindra menduduki peringkat kedelapan dengan perolehan angka 4,5 persen dan Hanura di posisi sembilan dengan perolehan 3,7 persen. Didukung oleh dana yang berlimpah dan strategi “pemasaran” yang mengena, kedua partai ini akan jadi kuda hitam dalam proses pemerintahan ke depan.
Partai-partai lainnya nampaknya hanya mampu bermain di remah-remah suara yang ada dan hampir dipastikan tidak akan lolos dalam parliamentary threshold yang sudah dipersyaratkan. Hal ini sebetulnya sudah diprediksi sejak lama dan menunjukkan bahwa jumlah partai yang ikut pada Pemilu 2009 ternyata terlalu banyak yang menjadi penggembira belaka, bahkan cenderung tidak mendapatkan suara yang minimalis untuk sekedar lolos parliamentary threshold.
Ketidakbecusan KPU
Tingginya angka golput yang mencapai angka di atas 30 persen (bahkan ada yang mengatakan 50 persen lebih) nampaknya mempertontonkan bahwa KPU telah gagal meningkatkan angka partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi prosedural ini. Selain ketidakpercayaan terhadap sistem yang ada, partai politik termasuk calegnya, juga amburadulnya sistem administrasi pendataan jutaan pemilih telah ikut serta menurunkan kualitas proses demokrasi itu sendiri. Kritikan terhadap kesiapan KPU dalam menyelenggarakan pemilu tahun ini telah dikemukakan oleh banyak pihak sejak lama namun nampaknya KPU terlalu percaya diri, bebal dan mengabaikan usulan yang ada.
Dari kondisi obyektif di atas, tentunya sangat disayangkan, namun itulah yang terjadi. Masih banyak yang harus dibenahi dalam perbaikan kinerja KPU ke depan dan yang paling dekat adalah pilpres sebagai bagian tak terpisahkan dari Pemilu 2009. KPU harus mau belajar dari pengalaman yang ada, karena bagaimanapun KPU adalah lembaga yang digawangi oleh orang-orang yang seharusnya mau belajar dan mempunyai kecerdasan untuk memperbaiki dirinya. Pilihan alternatif lainnya adalah mengganti anggota KPU dengan orang-orang yang kredibel dan mempunyai kapasitas untuk meneruskan tugas-tugas yang diembannya.
Beberapa partai dan LSM telah memberikan sinyal untuk menggugat pelaksanaan Pemilu 2009. Titik utama persoalannya adalah sistem pendataan pemilih yang tidak akurat dan asal-asalan serta menguntungkan salah satu pihak yang terlibat dalam pemilu tersebut. Tentu upaya ini merupakan salah satu proses hukum yang benar diatur oleh undang-undang serta patut diproses sesuai dengan peraturan yang berlaku oleh aparat yang berwenang.
Refleksi 2009 Menuju 2014
Posisi sementara dari hasil penghitungan hasil pemilu 2009 dengan quick count menempatkan partai-partai mapan pada posisi 10 besar termasuk dua partai pendatang baru yaitu Gerindra dan Hanura yang juga masuk di dalam urutan tersebut. Tanpa bermaksud menghakimi, refleksi dari perjalanan pemerintahan selama ini partai-partai tersebut sesungguhnya gagal mengemban mandat untuk membangun kemaslahatan rakyat dalam berbagai dimensi. Realitas getir dari penegakan HAM, kerusakan lingkungan, ketidakberdayaan korban dari pengingkaran negara terhadap hak-hak mereka termasuk berbagai regulasi yang dihasilkan dari proses politik mengabdi bagi kepentingan neoliberalisme adalah fakta tak terbantahkan dari kekegagalan partai-partai yang saat ini berada di urutan 10 besar pemenang pemilu. Demikian juga dengan Gerindra dan Hanura. Walaupun mengklaim sebagai partai politik yang belum berdosa -karena belum pernah duduk di lingkar kekuasaan- namun rekam jejak dari pimpinan partai ini termasuk beberapa para pegiat partainya adalah orang-orang yang turut serta dalam pelanggengan dosa politik orde baru.
Selain karena kebobrokan sistem pemilu yang diakibatkan oleh aparatur negara, maka keadaan tersebut di atas cukup menjadi alasan dari ketidakpercayaan sebagian orang untuk terlibat dalam proses pemilu dan memilih untuk golput. Posisi yang diambil sebagai bentuk perlawanan atas kondisi dan realitas ketidakberpihakan sistem terhadap kepentingan rakyat.
Namun demikian, sebagaimana adagium bahwa “tidak ada ruang politik kosong dalam politik” pilihan-pilihan terlibat ataupun tidak terlibat -baik ideologis maupun tidak- tetap menghasilkan komposisi pemenangan sementara sebagaimana yang telah dilansir oleh berbagai lembaga survei. Tentunya keadaan ini tidak menyenangkan bagi pihak-pihak yang peduli terhadap masa depan demokrasi, penegakan HAM dan penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. Dan tentu memaksa kelompok-kelompok ini untuk memikirkan strategi di masa mendatang agar tidak terjadi tragedi demokrasi di negara ini.
Tantangan lima tahun ke depan pada tahun 2014 tentunya harus segera disikapi oleh banyak pihak, baik partai, masyarakat bahkan termasuk sebagian yang mengaku sebagai golongan putih. Koalisi beberapa partai harus dilakukan agar calonnya lolos sebagai presiden dan wakil presiden. Koalisi tersebut nampaknya akan lebih menjadi kompromi antar beberapa partai nasionalis dan berbasis keagamaan besar. Partai-partai kecil hanya akan dipergunakan sebagai penghias semata.
Apabila SBY lolos sebagai presiden periode 2009 – 2014, maka hal tersebut adalah untuk terakhir kalinya seperti dipersyaratkan dalam undang undang. Partai Demokrat akan segera melakukan regenerasi untuk menyambung periode berikutnya, yang nampaknya sulit dilakukan dan akan berpotensi kehilangan suaranya secara signifikan tahun 2014. Sesuai dengan pengakuan dari aktivis Partai Demokrat yang secara lugas menyatakan bahwa SBY adalah sebagai tokoh sentral di balik kemenangan dari partai ini. Dengan posisi politiknya saat ini, SBY benar-benar berfungsi sebagai vote getter bagi Partai Demokrat pada Pemilu 2009. Sehingga kehilangan sosok SBY dalam arti posisi politiknya, berakibat pada tidak maksimalnya posisi vote getter -sebagaimana peran yang dimainkan pada pemilu ini- akan berkorelasi erat dengan penurunan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2014.
PDIP yang menokohkan Megawati sepertinya juga akan mengubah strateginya karena Megawati sudah terlalu tua untuk tetap diajukan lagi. Sementara kondisi riil Megawati merupakan andalan satu-satunya saat ini yang dimiliki oleh PDIP. Golkar sendiri bisa dikatakan merupakan pemain lama yang mempunyai cukup stok generasi mudanya sehingga tidak akan begitu kesulitan mengantisipasi lima tahun ke depan.
Partai-partai lain tentunya akan berlomba sangat serius untuk memperbaiki kinerjanya walau itu sering bertentangan dengan kepentingan rakyat. Pendatang baru, Gerindra dan Hanura belum akan menyerah dan pasti akan bekerja keras untuk mendulang suara yang tinggi untuk berkuasa dengan menempatkan dirinya sebagai pihak oposisi untuk dapat melakukan kampanye panjang selama lima tahun ke depan.
Bagaimana dengan “Si Putih?” Pada tahun 2014 seharusnya angka golput ideologis akan menurun. Strategi-strategi yang selama ini dihindari nampaknya harus mulai diubah. Pendirian partai alternatif yang selama ini diperbincangkan nampaknya harus segera mulai dirintis kembali secara lebih serius. Kegagalan beberapa inisiator pendirian partai alternatif harus kembali dipelajari untuk kemudian diperbaiki bersama. Beberapa organ lain yang selama ini lebih suka “mengurung diri,” seharusnya bergabung bersama untuk berkoalisi bagaimana membangun partai alternatif ke depan. Tanpa itu, nampaknya kita harus kembali menengok partai-partai urutan kecil yang jadi penghias proses demokrasi 2009 ini.
Tampaknya jumlah suara golongan putih yang cukup signifikan pada Pemilu 2009 dapat menjadi satu potensi yang digarap untuk menyaingi kekuatan partai-partai yang akan berkuasa pada dekade ini. Membangun daya kritis, daya lenting massa rakyat yang mengambil posisi “putih” adalah keniscayaan dalam melakukan upaya-upaya perubahan di tengah ancaman keterpurukan demokrasi.
Beberapa ide yang sudah dilakukan dengan bergabung ke partai-partai yang ada sewajarnya masih bisa dipertimbangkan, apalagi waktu yang tersedia cukup memungkinkan untuk dilakukan, termasuk untuk lebih “mengakar.” Kritik dan usulan dari beberapa organisasi atau komunitas terhadap pilihan untuk bergabung ke suatu partai akan menjadi sebuah keharusan untuk diperhatikan agar dukungan dari konstituen selama ini didapat tidak terabaikan begitu saja. Tanpa mempertimbangkan hal tersebut sudah tentu bisa dikatakan “maju ke medan perang tanpa senjata.”
Demokrasi hanya akan berhasil apabila tingkat keterlibatan rakyat suatu negara tinggi. Apabila kondisi yang ada menunjukkan bahwa tingkat partisipasi warga negara rendah maka patut dipertanyakan mengapa hal itu terjadi, bisa saja itu kesalahan para pemangku kekuasaan dan alat-alatnya atau bahkan warga negara tersebut yang abai terhadap haknya karena banyak faktor. Kekuasaan haruslah dikontrol supaya hal tersebut membawa manfaat kepada rakyat dan pengontrolnya adalah rakyat itu sendiri termasuk melalui perwakilan yang dipercayanya di parlemen.
* Penulis adalah Pejabat Sementara Sekretaris Eksekutif Perkumpulan Praxis dan Manajer Regional Indonesia Timur – WALHI Eksekutif Nasional, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
webmaster@prakarsa-rakyat.org
Komentar pertama di blog ini. 🙂
yang ini komentar kedua , ayo sapa yang ketiga ???
sia,,,yg ketiga-kan sekarang 🙂
Ke-empat!!
Tapi, apapun refleksi diatas Ndo, aku percaya beberapa hal klenik dibawah ini:
– Pemilu ini omong kosong besar (ngutip mbah pram), dan akan terus begitu selama tidak tuntas revolusi nasional kita. Kapan dituntaskan? Ini PR besar. Karena bentuk-bentuk penuntasannya pun perlu dipikirkan. Kita mungkin bisa membahasakan ulang makna “revolusi” dalam bentuk lain selain apa yang sudah diinterpretasikan banyak orang sebagai sesuatu yang menakutkan.
– Aku percaya, bahwa pasca generasi pendiri Bangsa ini, kesulitan terbesar mereka yang mengambil opsi sebagai pemimpin adalah ketidakmampuan menyatukan dan membangun ide bersama. Semua selalu diiringi tendensi-tendensi kerkusan. Bersatu dan mengusung ide besar bersama-sama rasanya masih jauh panggang dari api. Jadi, walo banyak ide briliant tentang bagaimana seharusnya negara ini berjalan, tanpa persatuan dan kerjasama, NonSense!
– Lalu, aku percaya…tulisanmu Ndo, makin enak dibaca dan perlu…hahahahahha
Bang makasih ya…….dengan membaca tulisan tenatng Pemilu wawasanku semakin bertambah. masih ingat kita di JUBI ga……… bang mana BUKU-nya, udah hampi sebulan ni…… gimana kabar abang bae…….kita anak JUBI juga bae2……tetapi Emil lag masuk rumah sakit dan MUsa “pejuang lag malam” kata dokter ia sakit keras anda harus banyak istirahat…….
Jangan lupa ya….hub. kita di JUBI…. Buku tentang “mengapa saya bakar EsBeye” kirim dong…….. Di tunggu….. By. Carol Ayomi. (JUBI).
Hahahaha… saya ke-enam. Angka keberuntungan saya nih !
untuk komentarnya…. LESU. Padahal saya sudah menggunakan Hak Pilih…
@Gendo Suardana:
Hanya satu kata!! Hidup Gendo!? HiduuuuUppPs!! keep fighting for democracy!
*makin bagus gaya tulisannya! 😉
@Arif Noviyanto:
memang gagasan partai alternatif seakan redup, apalagi semodel partai ala2 ‘PRD’ yg katanya dianggap muncul dari dinamika gerakan.
Adapun menyoal Revolusi itu tersendiri?? wah2… itu gagasan yg langka hari ini utk diperbincangkan barangkali, saya senang dgn komentar itu! hanya saja kecenderungan klasik itu mungkin seringkali berujung pada kepemimpinan gerakan.
Dan mas Arif, saya amit-amit sangsi sama gaya kepemimpinan ala keluarga besar pro-demokrasi, dlm artian “cara-cara” mereka berpolitik kecil2an itu walau mungkin itu juga masih nyicil koq.
aduh, maafkan diri ini yg slalu mendua
maafkan ya teman-teman? ;d
Da-Da