Buletin
SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 209 tahun V- 2009
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
NASIB KORBAN PELANGGARAN HAM MASA LALU PASCA PILPRES 2009
Oleh I Wayan “Gendo” Suardana*
“Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto setuju menegakkan hak asasi manusia dan menghukum mereka yang melanggarnya. Hal itu ditegaskan oleh tim sukses dan petinggi Partai Golkar, PDI Perjuangan, serta Partai Gerakan Indonesia Raya kemarin,” inilah petikan berita dari Koran Tempo (27/5/2009). Tampaknya kedua kubu ini sadar bahwa mereka adalah sasaran tembak dari isu pelanggaran HAM mengingat kedua cawapresnya (Wiranto dari JK Win dan Prabowo dari Mega Pro) adalah mantan Jenderal yang diduga kuat sebagai pelanggar HAM masa lalu.
Saya tidak hendak membahas konstelasi pertarungan para kandidat Presiden dan Wakil Presiden dalam pilpres ini ataupun masuk ke dalam ruang-ruang pencitraan setiap kandidat capres dan cawapres. Tulisan ini dibuat karena pernyataan para tim sukses ini menggelitik akal sehat saya. Bukan mempermasalahkan tekad dan niat mereka untuk menegakkan HAM dengan berjanji untuk mengusut kasus HAM dan sekaligus menghukum para pelakunya. Permasalahannya justru ketika tekad tersebut digarisbawahi dengan syarat bahwa pengusutan kasus HAM akan dilakukan asal tidak mengungkit isu HAM yang terjadi di masa lampau. Bahkan secara terbuka tim sukses ini menyarankan agar masyarakat dan pemerintah lebih baik fokus ke depan sehingga kasus serupa tidak lagi terjadi.
Menyuburkan Amnesia Sejarah
Perjuangan bagi pengungkapan kasus pelanggaran HAM masa lalu mengalami pasang surut. Mulai dari begitu gencarnya penyelenggaraan peradilan bagi kasus-kasus pelanggaran HAM berat, baik yang bersifat surut maupun tidak melalui pengadilan HAM, sampai dengan terbentuknya regulasi yang mengapresiasi pentingnya pengungkapan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dengan pembentukan UU KKR.
Pada kenyataannya hampir seluruh upaya penegakan HAM berujung pada terjadinya viktimisasi dimana keadaan-keadaan tersebut tidak berpihak kepada korban. Fakta yang paling mengejutkan, dalam konteks penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah putusan “ultra petita” dari Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU Nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dapat dikatakan sejak saat itu terjadi kemandegan bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang berarti pula nasib buruk bagi para korban. Alih-alih mendapatkan hak-hak mereka sebagai korban, keadaan ini malah mengkambinghitamkan mereka sebagai kelompok yang tidak ingin melihat kemajuan ke depan. Amnesia publik terhadap kekerasan dan pelanggaran masa lalu semakin meluas.
Kembali kepada pernyataan para tim sukses kandidat capres/cawapres di atas. Dampak paling nyata dari pernyataan tersebut adalah semakin menguatnya pembenaran bagi ketiadaan mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Hal ini berarti pula mendorong dilupakannya hak-hak korban, baik hak untuk tahu/kebenaran, hak atas keadilan, hak atas reparasi termasuk hak atas jaminan tidak terulangnya peristiwa yang sama.
“Penyakit lupa” yang diderita oleh bangsa ini semakin disuburkan dengan pernyataan tersebut. Setidaknya pernyataan itu akan memperkuat konstruksi berpikir masyarakat -yang telah terbentuk akibat mekanisme yang cenderung melanggengkan praktek impunitas-, untuk melupakan kejahatan HAM di masa lalu. Alih-alih mendorong kesadaran masyarakat untuk memahami HAM, yang ada pernyataan itu malah secara terang-benderang mengajak masyarakat untuk mengabaikan dan melupakan berbagai peristiwa pelanggaran HAM masa lalu mulai sejak 1945, 1948 dan 1965. Secara sadar mendorong bangsa ini secara membabi-buta sebagai bangsa “pelupa dan pemaaf,” dengan mengabaikan pengungkapan kebenaran dan pertanggungjawaban atas peristiwa tersebut.
Terlihat kontradiksi yang sangat nyata antara komitmen untuk menegakkan HAM dan mengusut tuntas setiap pelanggaran HAM dengan pernyataan -cenderung bersifat ajakan- untuk melupakan dan tidak mengungkit kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Tampaknya pernyataan dari tim sukses dua kandidat ini berpretensi kuat akan melanggengkan amnesia sejarah. Upaya ini tidak hanya sebatas bicara kepentingan pragmatis demi pencitraan tokoh mereka, namun sekaligus juga adalah upaya mengubur sedalam mungkin upaya-upaya mengungkit peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu yang beresiko kepada calon mereka masing-masing. Hal ini terlihat dengan adanya semacam peringatan dalam pernyataan tersebut, bahwa komitmen penegakan HAM akan dilaksanakan bilamana syarat mereka yakni tidak mengungkit kasus HAM masa lalu terpenuhi.
Pengaburan substansi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu
Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu seringkali dianggap sebagai upaya-upaya untuk mengungkap “luka lama” bangsa dan cenderung akan membuat bangsa indonesia tidak maju. Klaim seperti ini tidak hanya sekali atau dua kali saja diungkapkan, bahkan hampir di setiap kesempatan tuduhan-tuduhan ini terlontar dengan nyata. Sehingga menjadi pembenaran bagi negara untuk semakin memperkokoh benteng impunitas.
Padahal secara substansi, penyelesaaian pelanggaran HAM masa lalu jauh melampaui tuduhan-tuduhan itu. Justru upaya-upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah untuk membangun kemajuan Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Terlihat beberapa negara seperti; Spanyol, Yunani yang saat ini jauh lebih maju tatkala terjadi upaya-upaya untuk melakukan pengungkapan kebenaran atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim militernya. Demikian juga Afrika Selatan yang mampu merubah peradaban dunia atas kekejaman politik apartheid setelah Nelson Mandela mendorong pengungkapan kejahatan dan pertanggungjawaban atas kekejaman politik apartheid.
Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu kerap pula dipandang hanya sebatas rekonsiliasi dan pemberian amnesti bagi pelaku pelanggaran HAM. Sehingga banyak pihak yang secara membabi-buta mengajak masyarakat untuk melupakan pelanggaran HAM masa lalu dengan memaafkan peristiwa tersebut yang berarti pula memaafkan pelaku. Tidak hanya dalam konteks di luar pengadilan, malah model seperti ini dibenarkan oleh pengadilan -Islah dalam kasus Tanjung Priok-. Sebuah pola yang menempatkan rekonsiliasi seolah-olah sebagai tujuan utama dari penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan mengabaikan hak-hak korban lainnya.
Padahal inti dari penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah pengungkapan kebenaran yang dilandasi pada penghormatan pada hak-hak korban. Menurut Ifdal Kasim, tujuan dari penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah pengungkapan kebenaran, memberikan pengakuan kepada korban bahwa mereka adalah korban, menyediakan reparasi kepada korban, serta melakukan reformasi terhadap institusi yang dianggap bertanggung-jawab atas pelanggaran HAM masa lalu untuk memastikan pelanggaran HAM tersebut tidak terulang di masa datang (non- recurrence), tetapi tidak ada penghukuman terhadap pelaku.
Sehingga tidak tepat menempatkan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu seolah-olah adalah upaya untuk membuat bangsa ini mundur dan tidak berani menatap masa depan. Terlebih Indonesia telah meratifikasi berbagai hukum HAM internasional ke dalam hukum nasional serta membentuk hukum HAM nasional, sehingga tidak ada alasan satupun yang dapat menjadi pembenaran untuk tidak menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Justru ketidakberanian negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu adalah awal dari keterpurukan bangsa ini. Tidak tuntasnya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu menambah panjang “gelar” bagi indonesia sebagai pelanggeng impunitas termasuk pula akan menjadi bagian dari lingkaran kekerasan dan kejahatan HAM. Artinya tidak ada jaminan bahwa peristiwa serupa tidak akan terulang, mengingat bangsa ini tidak pernah belajar dari sejarah dengan tidak mengungkap kebenaran atas peristiwa tersebut, menghilangkan hak-hak korban dan memberi impunitas bagi pelaku sehingga tidak ada kejeraan unuk terus-menerus mengulangi kejahatan-kejahatan terhadap HAM.
Peristiwa-peristiwa seperti pembunuhan aktivis Munir, penembakan para pembela hak asasi manusia baik petani, nelayan, mahasiswa serta berbagai peristiwa yang berujung kepada pelanggaran HAM adalah dampak dari impunitas yang terlanggengkan dan semakin langgeng.
Dalam konteks tulisan ini, pernyataan para tim sukses kandidat capres/cawapres menunjukkan ketidakmauan mereka untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu adalah mutlak sebagai syarat atas kehendak untuk mengusut kasus-kasus HAM. Artinya pengabaian terhadap penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah keniscayaan bila mereka berkuasa. Lalu korban akan makin terpuruk karena negara tidak akan menjalankan kewajibannya untuk menegakkan HAM dan memenuhi hak-hak korban. Betapa muramnya nasib korban pelanggaran HAM masa lalu, terlantar oleh rezim incumbent dan terancam oleh para kandidat yang non-incumbent.
* Penulis adalah Manager Regional Indonesia Timur-Eksekutif Nasional WALHI, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).