Menguak Misteri SK Reklamasi Jilid 2

gendovara

MENGUAK MISTERI SK REKLAMASI JILID 2[1]

Oleh: I Wayan Gendo Suardana[2]

I. Sekapur Sirih

Polemik terkait upaya reklamasi perairan Teluk Benoa berawal dari serangkaian kebijakan yang dikeluarkan Gubernur Bali, mulai dari pengeluaran SK Nomor 2138/02-CL/HK/2012 (tentang Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa) yang  dikeluarkan secara diam-diam pada 26 Desember 2012 dan mendapat penolakan dari masyarakat baik dari individu, LSM, Akademisi dan Anggota DPRD, selanjutnya sampai menerbitkan  Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa (sering disebut sebagai SK Reklamasi Jilid 2) sekaligus mencabut SK Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/HK/2012 (sering disebut SK Reklamasi jilid 1)

Yang menarik dari keputusan Gubernur ini tentu saja tatkala kita “paksa” untuk menempatkan posisi kedua SK itu dalam aras argumentasi Gubernur yang sedari awal menghindari penyebutan SK reklamasi baik pada SK Reklamasi jilid 1 maupun SK jilid 2. Sebagaimana diketahui secara umum, pada SK Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/HK/2012 Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa (SK yang pertama) , Gubernur Bali sangat menghindari penyebutan SK pelaksanaan  reklamasi atau setidak-tidaknya menyebut SK Reklamasi, beliau hanya menyebut  bahwa SK 2138/02-C/HK/2012 sebagai SK kajian lanjutan  dan baru pada dialog terbuka  (3 agustus 2013) Gubernur secara tegas menyebutkan bahwa SK tersebut sebagai SK Lokasi Reklamasi (lebih sering disebut sebagai SK ijin prinsip).  Walaupun pada akhirnya di rapat  terbuka itu pula pihak Gubernur Bali dan SKPD terkait tidak mampu mempertanggungjawabkan argumentasinya kecuali secara diam-diam mengakui bahwasanya SK tersebut sejatinya adalah SK pelaksanaan reklamasi.

Demikian pula terhadap SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali.  Sebagai SK yang digunakan mencabut SK  reklamasi jilid 1,  tidak semata-mata mencabut tetapi melahirkan kembali hak baru kepada PT. TWBI berupa Izin Study Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa.  Pihak Pemprov Bali kerapkali menyatakan SK tersebut tersebut adalah ijin penelitian bagi PT. TWBI dan tidak ada sangkutpautnya dengan reklamasi, namun demikian penulis tetap berpendapat bahwa SK tersebut adalah sebagai SK yang terkait dengan reklamasi. Penyebutan SK reklamasi jilid 2 tentu saja bukan tanpa alasan namun penyebutan tersebut sejatinya berdasarkan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

II. SK Reklamasi Jilid 2 Ataukah SK Izin Penelitian?


Beberapa argumentasi yang menunjukan bahwa SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 sebagai SK reklamasi jilid 2 dan/atau setidak-tidaknya dimaksudkan sebagai bagian dari kegiatan reklamasi sebagai berikut:

1. Bersumber dari surat permohonan PT. TWBI (sama dengan sumber penerbitan SK reklamasi jilid 1)


Bahwa penerbitan hak baru berupa izin studi kelayakan pada SK reklamasi jilid 2 bersumber pada permohonan dan proses-proses yang sama dengan SK reklamasi ilid 1, halmana dikarenakan SK tersebut sekaligus mencabut SK reklamasi jilid 1, dan sama sekali tidak ada satu permohonan dan proses lain yang mendasari terbitnya SK reklamasi jilid 2 tersebut. Artinya SK tersebut berasal dari permohonan PT. TWBI, pada salah satu surat permohonannnya kepada Gubernur Bali, nomor: 009/TWBI/L/XI/2012 tentang permohonan audiensi tertanggal 5 november 2012 , pada paragraph 2 menyebutkan : “bersama ini kami mengajukan permohonan izin pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan perairan  Teluk Benoa, Bali seluas kurang lebih ±838 ha (delapan ratus tiga puluh delapan hektar). Dari total area tersebut akan dibentuk pulau baru , pendalaman alur, penataan sendimentasi dan penghijauan.”

Catatan; tidak ada satupun surat permohonan yang baru dari PT. TWBI bagi penerbitan SK reklamasi jilid 2 ini.

2. Bersumber dari dokumen FS LPPM Unud  dan rekomendasi DPRD Bali

 

a. Kajian Studi Kelayakan (FS) Unud.

Penerbitan SK reklamasi jilid 2 juga bersumber pada dokumen hukum yang sama yakni, dokumen studi kelayakan (FS) LPPM Unud yang telah dipresentasikan di Bappeda Bali pada 12 november 2012 (sesuai surat undangan rapat dari Bappeda Bali no. 005/3367/Bappeda tertanggal 8 november 2012) dan pada 14 desember 2012 (sesuai surat undangan rapat dari Bappeda Bali no. 005/4149/Bappeda tertanggal 10 desember 2012).

b. Rekomendasi DPRD Bali no. 660.1/142781/DPRD tertanggal 20 desember 2012

Rekomendasi DPRD yang semula dijadikan sebagai pedoman penerbitan SK Reklamasi jilid 1, kembali digunakan oleh Pemprov Bali sebagai alasan untuk menerbitkan (walaupun tidak secara tersurat di dalam SK reklamasi jilid 2). Namun pernyataan pemprov Bali melalui Kuasa Hukum di media massa telah pula menunjukan bahwa rekomendasi ini adalah sebagai salah satu aspek penting atas penerbitan SK reklamasi jilid 2 ini. Selengkapnya sebagai berikut:

“Rekomendasi DPRD terdahulu belum dicabut dan kami tidak berani bertentangan dengan itu. Jadi kami berikan PT. TWBI melanjutkan kajian.” (sumber: Bali Tribune, Rabu 21 Agustus 2013, hal. 15 “Tak Mau Langgar SK Dewan, Investor diberi celah).

3. Frase Studi Kelayakan hanya dikenal dalam perpres 122/2012 tentang Reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Jika dicermati secara seksama frase yang mengatur mengenai studi kelayakan dalam lingkup UU 27 tahun 2007 hanyalah pada perpres 122 tahun 2012 sebagai turunan dari pasal 34 yang mengatur mengenai kegiatan reklamasi.

Study kelayakan adalah salah satu bagian dari perencanaan reklamasi sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 3 ayat (2) perpres 122 tahun 2012 yang menyatakan:

perencanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan:

a. Penentuan lokasi;

b. Penyusunan rencana induk

c. Studi kelayakan; dan

d. Penyusunan rencana detail

Demikian pula pada frase Study kelayakan ini diatur pada pasal 13 ayat (1), ayat (2) ,ayat (3) , ayat (4). Selanjutnya pada Bab III mengenai perizinan Reklamasi dari pasal 15 s/d 21  menyebutkan frase study kelayakan tersebut.

Pada pasal 17 ayat (5) secara tegas-tegas menyebutkan bahwa study kelayakan bagian dari izin lokasi. Selengkapanya sebagai berikut:

“(5) setiap pemegang izin lokasi dalam jangka waktu paling lambat  2 (dua) tahun wajib menyusun:

a. Rencana induk

b. Studi kelayakan; dan

c. Rencana detail reklamasi

4. Mengenai jangka waktu berlaku SK selama 2 tahun

Sebagaimana yang telah disampaikan di atas, pada pasal 17 ayat (5) telah mengatur bahwa terkait dengan penyusunan studi kelayakan diberikan waktu selama 2 tahun kepada si penemegang izin lokasi. Halmana berkeseaian dengan dictum keenam SK reklamasi 2 jilid 2 yang memberikan waktu yang sama yakni selama 2 (dua) tahun.

Berdasarkan keempat argumentasi tadi sangat sulit untuk tidak menyatakan bahwa SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 sebagai SK yang sejatinya adalah SK yang berhubungan erat dengan kegiatan reklamasi, sehingga pantas disebut sebagai SK Reklamasi jilid 2.

SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013,  Bukan Sebatas Ijin Penelitian!

Lalu bagaimana dengan pernyataan Gubernur dan SKPD terkait yang bersikukuh bahwa SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 bukanlah SK terkait dengan reklamasi, namun SK tersebut adalah sebatas izin melakukan penelitian. Hal ini berulangkali disampaikan oleh Pemprov Bali termasuk oleh GUbernur Bali yang menyatakan bahwa SK ini adalah ijin penelitian (bahkan disebut sebagai survey)  dan boleh dilakukan  oleh siapapun; “oh, tidak mesti (bekerjasama dengan perguruan tinggi setempat, Red). Yang melakukan survei  siapapun boleh” (sumber Bali Express, 4 september 2013 , hal 11 –sambungan dari berita hal. 1-).  Lagi-lagi kita “dipaksa untuk membedah; apakah benar SK ini adalah sebatas SK penelitian dan dapat dilakukan oleh siapa saja?

Sekilas SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 sangat sumir kaitannya dengan reklamasi, selain karena muatan SK ini menjauhkan kata-kata yang bermakna reklamasi dan tidak pula mencantumkan Perpres no 122 tahun 2012 tentang Reklamasi Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, SK ini juga memuat konsideran menimbang yang menggunakan muatan bab VII UU 27 tahun 2007 yang mengatur  kegiatan “penelitian dan pengembangan” .

Hal ini terlihat pada konsideran menimbang huruf b SK dimaksud yang menyatakan:

“bahwa studi kelayakan adalah prasyarat yang dibutuhkan dalam pemanfaatan, pengembangan  dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil agar lebih efektif, efesien, ekonomis, berdaya saing tinggi, ramah lingkungan, dan menghargai kearifan tradisi atau budaya local.” (garis bawah; pemakalah)

Selanjutnya bandingkan dengan pasal 42  ayat (2) UU 27 tahun 2007 yang menyatakan

Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau menyelenggarakan penelitian dan pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi atau budaya lokal. (garis bawah;  pemakalah)

Jika kedua frase tersebut disandingkan maka terlihat jelas, bahwa SK Gubernur tersebut mengadopsi secara setengah-setengah pasal 42 ayat (2) UU 27 tahun 2007. Sehingga secara sekilas SK tersebut Nampak berkesuaian dengan kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana yang diatu dan dimaksud dalam pasal tersebut.

Namun jika dicermati secara mendalam, frase diluar yang penulis garisbawahi sebaliknya menjadi penunjuk utama dari perbedaan makna, kandungan dan tujuan antara konsideran huruf b SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 dan pasal 42 ayat (2) UU 27 tahun 2007 tersebut.  Perbedaannya adalah; a) pada konsideran menimbang huruf b dimaksud menitikberatkan pada studi kelayakan; sedangkan b) pada pasal 42 ayat (2) adalah menitikberatkan pada penyelenggaraan penelitian dan pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi.

Tentu saja antara studi kelayakan dengan kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pasal 42 ayat (2) adalah dua kegiatan yang berbeda makna dan tujuan. Studi kelayakan atau Feasibilty study adalah Kegiatan menilai/studi sejauh mana manfaat yang diperoleh dengan melaksanakan suatu usaha/proyek. Pengertian layak dalam penilaian studi kelayakan adalah menyangkut kemungkinan dari gagasan usaha/proyek yang akan dilaksanakan memberikan manfaat / benefit, baik dalam arti financial benefit atau social benefit/economic benefit.

Sedangkan  kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pasal 42 ayat (2) adalah penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi. Jika melihat pada ayat (1) semakin menunjukan apa makna dan tujuan dari  Pasal 42 ayat (1) menyatakan:

Untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (garis bawah; pemakalah), Pemerintah melakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan sumber daya manusia di bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.”

Maka berdasarkan perbandingan tersebut, jurang perbedaan antara studi kelayakan dengan kegiatan penelitian dan pengembangan. Studi kelayakan adalah berkaitan dengan layak atau tidaknya sebuah proyek sedangan kegiatan penelitian dan pengembangan adalah dalam upaya: 1) “Untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan 2 ) untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil.

Jika demikian maka argumentasi dari Gubernur Bali beserta SKPD nya yang menyatakan bahwa SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 hanyalah sebatas izin penelitian (apalagi survey)  dan menyatakan SK dimaksud tidak terkait dengan reklamasi adalah kekeliruan besar.

Hal lain yang menguatkan argumentasi diatas dengan mengupas dari aktor atau subyek hukum sebagai berikut:

  • Pada kegiatan reklamasi , subyek hukum yang dibenarkan melakukan kegiatan relamasi adalah pemerintah, pemerintah daerah dan setiap orang (garis bawah; pemakalah) (vide pasal 3 Perpres 122 tahun 2012). Pengertian setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau badan hukum (vide; pasal 1 angka 18 Perpres 122 tahun 2012); sedangkan
  • Pada penyelenggaraan penelitian dan pengembangan sebagaimana yang dimaksud pada pasal 43 menyatakan:

Penelitian dan pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian dan pengembangan swasta, dan/atau perseorangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Memperhatikan kedua hal tersebut diatas, maka terlihat jelas bahwa PT. TWBI bukanlah subyek hukum yang dapat melakukan kegiatan dan pengembangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mengingat PT. TWBI bukanlah lembaga penelitian dan pengembangan swasta. PT. TWBI adalah perusahaan yang bergerak dibidang pengembangan , pembangunan dan jasa pengelolaan jasa usaha yang berhubungan dengan property (vide: Bab I FS LPPM Unud hal. 1). Dengan demikian dalam konteks ini maka PT. TWBI adalah subyek hukum yang dapat melakukan kegiatan reklamasi (termasuk studi kelayakan) namun tidak dibenarkan melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Oleh karenanya argumentasi Gubernur Bali yang menyatakan penelitian dapat dilakukan siapa saja telah gugur dengan sendirinya. Artinya SK tersebut adalah SK studi kelayakan reklamasi dan bukan sebatas izin penelitian dan pengembangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

III. Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa

Pembahasan mengenai  kedudukan SK tersebut diatas bukanlah sebatas untuk menguak posisi SK reklamasi jilid 2 namun mempunyai arti yang lebih dalam.  Bilamana telah terkuak bahwasanya SK tersebut sejatinya adalah SK izin studi kelayakan yang tersangkutpaut dengan kegiatan reklamasi teluk benoa –bagian dari izin lokasi (vide pasal 15 jo pasal 16 UU 27 tahun 2007)- tentu saja penerbitan SK tersebut mengandung konsekuensi hukum.

Hal ini terkait dengan status hukum kawasan  perairan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi (vide: pasal pasal 53 ayat (2) jo. Pasal 55 yat (4) dan ayat (5)  Perpres no 45 tahun 2011 tentang tata ruang kawasan perkotaan  Sarbagita)

Pasal 55 ayat (5) huruf b menyebutkan selengkapnya sebagai berikut:

“kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas:

b. kawasan konservasi perairan di perairan kawasan sanur di Kecamatan Denpasar, Kota Denpasar, Perairan Kawasan Teluk Benoa (huruf tebal dan garis bawah; pemakalah) sebagian di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian di Kecamatan Kuta Selatan , Kabupaten Badung, dan perairan Kawasan Kuta di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.”

Sebagai kawasan konservasi maka Perairan Teluk Benoa seyogyanya adalah kawasan yang  terlarang untuk kegiatan-kegiatan reklamasi. Hal tersebut diatur dalam pasal  2 ayat (3) Perpres no 122 tahun 2012 tentang Reklamasi  di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan: Reklamasi tidak dapat dilakukan pada kawasan konservasi (garis bawah; pemakalah) dan alur laut”

Jika Gubernur tunduk dan taat dengan peraturan tata ruang serta tunduk dengan pengaturan reklamasi maka 2 peraturan presiden tersebut di atas cukup untuk menjadi alas hukum bagi Gubernur Bali menghentikan segala upaya-upaya untuk mereklamasi Teluk Benoa

Keterkaitan pembahasan di atas dengan kedudukan SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 sangat erat. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa SK tersebut mengatur tentang studi kelayakan adalah sebagai bagian dari perencanaan reklamasi  sebagaimana yang diatur dalam perpres 122 tahun 2012.

Sebagaimana yang ditegaskan Pasal 2 ayat (1) perpres 122 tahun 2012 terkait ruang lingkup perpres tersebut, selengkapnya menyatakan: “ruang lingkup Peraturan Presiden ini meliputi perencanaan dan pelaksanaan reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil”

Frase ini bermakna bahwa kegiatan reklamasi bukan semata-mata hanya pada tahapan pelaksanaan reklamasi namun mencakup pula perencanaan reklamasi. Jika dihubungkan dengan pasal 3 ayat (2) huruf c perpres no 122 tahun 2012 maka termaktub tegas bahwa studi kelayakan adalah kegiatan yang merupakan bagian dari reklamasi. Oleh karenanya, Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa sebagaimana yang dimaksud dalam SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 nyata-nyata adalah kegiatan reklamasi.

Selanjutnya jika dihubungkan kembali dengan status kawasan Perairan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi (vide pasal 55 Perpres no 45 th 2011) dikaitkan dengan   larangan melakukan kegiatan reklamasi pada kawasan konservasi (vide; perpres no. 12 tahun 2012) maka dapat dinyatakan bahwa SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 adalah keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terkait tata ruang i.c Perpres no 45 tahun 2011), bertentangan dengan pengaturan mengenai reklamasi i.c Perpres no 122 tahun 2012 sehingga hal tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

Bahkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Gubernur terkait dengan penerbitan SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 yang bertentangan dengan pemanfaatan ruang dapat pula berakibat hukum pidana tata ruang sebagaimana yang diatur ketentuan pemidanaan tata ruang pada UU no. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.

IV. Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan seluruh uraian diatas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

  1. Bahwa SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa sejatinya adalah kegiatan perencanaan reklamasi dan termasuk dalam ruang lingkup pengaturan perpres 12 tahun 2012. SK tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai izin penelitian pengembangan sebagaimana yang diatur dalam  bab VII UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  2. Oleh karena SK tersebut termasuk sebagai kegiatan reklamasi dan obyeknya adalah kawasan Konservasi Perairan Teluk Benoa yang terlarang di reklamasi (vide perpres no. 45 tahun 2011 dan Perpres no 122 tahun 2012) maka SK Gubernur  tersebut adalah KTUN bertetangan dengan peraturan perundangan baik bertentangan dengan UU no 26 tahun 2007 jo. Perpres 45  tahun 2012 dan UU no 27 tahun 2007 jo. Perpres no 122 tahun 2012, oleh karenanya hal tersebut dapat pula dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa
  3. Bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Gubernur Bali dalam penerbitan SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa mengandung konsekuensi pidana tata ruang sebagaimana yang diatur dan ditentukan oleh  UU no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.

———————————————ForBALI———————————————-


[1] Makalah ini disampaikan pada Diskusi Publik “Pro Kontra Sk Reklamasi Jilid 2” diselelnggarakan oleh DLC bekerjasama dengan Aji Denpasar di Hotel Inna Grand Bali Beach pada 18 September 2013

[2] Pemakalah adalah Koordinator ForBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi)

Total
0
Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

PEMILUKADA; 5 MENIT UNTUK 5 TAHUN

Next Post

SK Reklamasi, Gugur Secara Otomatis? (Kritik atas Pernyataan Gubernur Bali dalam Kasus SK Reklamasi)

Related Posts