NEOLIBERALISME DAN PENGALAMAN INDONESIA
Anto Sangaji
PENGANTAR
NEOLIBRALISME, sering dipertukarkan dengan fundamentalisme pasar (market fundamentalism) (Stiglitz, 2006:576), menjadi kata yang populer saat ini. Menjelaskannya tidak mudah, tetapi kalau ada kata lain yang bisa dipakai untuk menggantikannya agar mudah dipahami secepat kilat, maka pilihannya mungkin jatuh pada kata ‘kemerdekaan’ atau ‘kebebasan’ (freedom). Ada alasannya, karena Milton Friedman, penerima nobel tahun 1976 dan penulis buku ‘Capitalism and Freedom,’ yang dianggap salah seorang penggagas ide-ide neoliberalisme, menjadikan freedom sebagai hal paling pokok dalam gagasan-gagasannya. Di buku tersebut, dia menandaskan bahwa kemerdekaan ekonomi adalah keharusan menuju kemerdekaan politik (Friedman, 1962).
Tetapi freedom adalah kata yang mengundang banyak tafsir, tergantung siapa yang menafsirkan. Seperti kata Matthew Arnold ‘freedom is a very good horse to ride, but to ride somewhere’ (dikutip oleh Harvey, 2005:6). Ketika di tahun 2005, sekelompok kelas menengah terpelajar di Jakarta, misalnya, memanfaatkan ruang terbuka reformasi, dengan bebas memasang iklan mendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, sebuah program di bawah payung neoliberalisme. Itu adalah freedom, bukan karena beberapa orang di antara mereka adalah aktivis ‘Freedom Institut,’ tetapi itulah contoh sederhana apa itu kemerdekaan berpendapat, tergantung siapa yang melakukannya.
Sebaliknya, seperti dilaporkan Pos Kota, dengan cara berbeda, 10/5/2008, Jamaksari, seorang buruh tani dengan kerja serabutan, warga Kampung Kemanisan RT 03/02, Desa Kebuyutan, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang Banten, secara ‘bebas’ pula memilih gantung diri dengan tali plastik, yang diikat di dahan pohon petai, di kebun milik warga setempat. Sehari sebelumnya, dia berkeluh kesah kepada para tetangga, bahwa ia sangat terpukul dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM (dikutip oleh Arismunandar 2008). Kasus Jamaksari kemungkinan hanya puncak gunung es dari maraknya kasus-kasus bunuh diri yang marak terjadi menyusul kebijakan-kebijakan neoliberal. VHR Media.com (2007) melaporkan bahwa antara 2005 dan 2007 terdapat sekitar 50,000 orang Indonesia bunuh diri karena kemiskinan dan himpitan ekonomi. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti A Prayitno dalam laporan tersebut menyebut kemiskinan yang terus bertambah, mahalnya biaya sekolah dan kesehatan, serta penggusuran sebagai faktor penyebab. Di sini, freedom juga muncul dalam wajah lain, yakni tidak bebas dari rasa lapar.
Cerita seperti ini perlu dihadirkan untuk membawa percakapan tentang neoliberalisme tidak mengawang-awang dan elitis, tetapi turun ke bumi dengan contoh-contoh lapangan yang konkret. Tulisan ini lebih memusatkan perhatian pada pokok-pokok pikiran neoliberalisme dan kritik-kritik terhadapnya, gambaran ringkas tentang sejarah kelahiran paham ini sampai masuk ke dalam kekuasaan dan pengalamannya di Indonesia.
NEOLIBERALISME
APA sebenarnya neoliberalisme?. Pertama, dalam bukunya ‘A Brief History of Neoliberalism,’ menurut Harvey (2005), neoliberalisme adalah paham yang menekankan jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan individu melalui pasar bebas, perdagangan bebas, dan penghormatan terhadap sistem kepemilikan pribadi. Ini merupakan kombinasi antara liberalisme, paham yang menekankan kemerdekaan dan kebebasan individu, dan doktrin pasar bebas dalam tradisi ekonomi neo-klasik. Para pendukungnya menempatkan idealisme politik tentang martabat manusia dan kemerdekaan individu sebagai ‘nilai sentral peradaban.’ Mereka menganggap bahwa nilai-nilai itu menghadapi ancaman bukan saja oleh fasisme, komunisme, dan kediktatoran, tetapi oleh segala bentuk campur tangan negara yang memakai idealisme kolektif untuk menekan kebebasan individu.
Rumusan dasar ini terlihat dalam tulisan-tulisan F. A. Hayek, intelektual terdepan yang membela paham ini. Intinya, Hayek (1960, 1944) menolak segala bentuk intervensi negara karena dianggap membahayakan pasar dan kebebasan politik. Baginya, kebebasan adalah tidak adanya coersion, dan kebebasan paling utama adalah kebebasan ekonomi, yang berarti kebebasan berusaha tanpa kontrol negara. Gray (1998:2) menyatakan bahwa karya-karya Hayek bertumpu pada liberalisme klasik, yang menjunjung hak-hak individu dan keutamaan moral dari kebebasan individu, keunggulan pasar bebas dan keharusan pemerintah yang terbatas di bawah supremasi hukum.
Rekan Hayek, Friedman (1962:5-6) memiliki pandangan sama. Dia menghormati liberalisme abad 19 yang menekankan kebebasan individu dan mendukung laissez faire sebagai cara untuk mengurangi peran negara. Sebaliknya, dia menganggap liberalisme abad 20 seperti yang berkembang di USA, terutama setelah 1930, adalah liberalisme yang terdistorsi oleh intervensi negara. Menurut Friedman (1962:2-4), ancaman utama kebebasan adalah pemusatan kekuasaan, karenanya itu, ruang lingkup kekuasaan pemerintah harus dibatasi. Tugas pokok pemerintah adalah melindungi kebebasan melalui penegakan hukum dan ketertiban, memperkuat kontrak-kontrak swasta, dan melindungi pasar yang kompetitif. Di sini perlu digarisbawahi bahwa perhatian utama Friedman adalah kebebasan dalam konteks ‘competitive capitalism’ (berfungsinya korporasi-korporasi swasta dalam sistem berbasis pasar bebas), yakni sebuah sistem kebebasan ekonomi, untuk menuju kebebasan politik.
Kedua, seperti sudah dipercakapkan luas, paham ini secara praktis tertuang dalam doktrin ‘Washington Consensus,’ sebuah agenda tehnokratis berisi daftar kebijakan, yang pertama kali diperkenalkan oleh (eks) Direktur Bank Dunia John Williamson untuk negara-negara Amerika Latin, yang menghadapi defisit dan inflasi yang tinggi, pada tahun 1989 (Williamson, 2004, 2000). Disebut Washington Consensus, karena merupakan kesepakatan kebijakan antara World Bank, IMF, dan Kementrian Keuangan USA yang berpusat di Washington. Awalnya, ada 10 kata kunci dalam konsensus ini; (1) disiplin fiskal, dengan menjaga defisit serendah-rendahnya, karena defisit yang tinggi akan mengakibatkan inflasi dan pelarian modal; (2) prioritas-prioritas belanja pemerintah, dengan mengurangi atau menghilangkan subsidi dalam sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya; (3) reformasi perpajakan; (4) liberalisasi keuangan; (5) nilai tukar mata uang negara-negara sedang berkembang harus mengadopsi nilai tukar yang kompetitif agar memacu ekspor; (6) liberalisasi perdagangan, dengan meminimumkan hambatan-hambatan tarif dan perizinan; (7) penanaman modal asing harus dibuat seliberal mungkin karena dapat membawa masuk keuntungan modal dan keahlian dari luar negeri; (8) privatisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah; (9) deregulasi sektor ekonomi, karena pengaturan pemerintah yang kuat dan berlebihan dapat menciptakan korupsi dan diskriminasi terhadap perusahaan-perusahaan kecil yang memiliki akses rendah kepada pejabat-pejabat pemerintah di level lebih tinggi; (10) penghargaan terhadap hak milik harus ditegakkan, karena hukum yang lemah dan sistem peradilan yang jelek dapat mengurangi insentif untuk akumulasi modal (dikutip oleh Naim, 2000).
Dalam perkembangannya, ada penambahan 10 kata kunci baru. (1) Bank Sentral yang independen; (2) reformasi baik terhadap sektor publik maupun tata kelola sektor swasta; (3) fleksibilitas tenaga kerja; (4) pemberlakuan kesepakatan-kesepakatan WTO dan harmonisasi standar-standar nasional dengan standar-standar internasional di dalam kegiatan bisnis dan keuangan, tetapi dengan pengecualian (terutama tentang perburuhan dan lingkungan hidup); (5) penguatan sistem keuangan nasional untuk memfasilitasi liberalisasi; (6) pembangunan berkelanjutan; (7) perlindungan masyarakat miskin melalui program jaring pengaman sosial; (8) strategi pengurangan kemiskinan; (9) adanya agenda kebijakan pembangunan nasional; (10) partisipasi demokrasi (dikutip oleh Beeson & Islam, 2006:6).
Tampak jelas, neoliberalisme mengagung-agungkan pasar di atas segala-galanya. Karena, pasar dipandang memiliki cara, mekanisme, dan kesucian sendiri untuk mengurusi dirinya secara spontan. Jauh-jauh hari, sejarawan ekonomi Karl Polanyi (2001[asli, 1944]) menamakan pandangan ini untuk kemudian dikritiknya, yakni pasar yang memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-regulating market), tanpa atau peranan negara sekecil-kecilnya (minimal state).
Pandangan radikal ini memperoleh kritik keras. Para pengkritik menganggap bahwa penempatan pasar sebagai sesuatu yang terisolasi dari kekuasaan politik, kurang lebih hanya mimpi belaka. Polanyi dalam bukunya The Great Transformation, menyebutkan “embeddedness,” di mana ekonomi bukan dunia yang otonom, tetapi secara historis tersubordinatkan ke dalam politik dan sosial. Dalam pengantarnya untuk buku ini, Block (2001) menyatakan bahwa Polanyi menolak self-regulating yang mengharuskan masyarakat tunduk kepada logika pasar. Dia menentang fundamentalisme pasar, karena dianggapnya hanya ilusi. Apa yang disebut self-regulating market, dengan menendang negara keluar dari ekonomi, seperti dijanjikan penyanjung neoliberal, hanya utopia.
‘Liberal economy gave a false direction to our ideals. It seems to approximate the fullfilment of intrinsically utopian expectation. No society is possible in which power and compulson are absent, nor a world in which force has no function. It was an illution to assume a society shaped by man’s will and wish alone’ (Polanyi, 2001:266 [1944]).
Dalam sejarahnya, di abad 19, dia memberi contoh tentang industri katun di Inggris – industri perdagangan bebas paling maju – diciptakan oleh dukungan tarif yang protektif dan subsidi buruh secara tidak langsung. Artinya, laissez faire pada dasarnya dilindungi negara. Dia bilang ‘there was nothing natural about laissez faire..’ Pasar tidak pernah tumbuh secara alamiah, tetapi melalui campur tangan pemerintah.
Di luar kritik Polanyi mengenai ilusi pasar yang dapat bekerja secara spontan, maka menurut Harvey (2005), masalah paling mendasar dari penerapan neoliberalisme adalah pengerukan aset dan kekayaan dari massa rakyat ke tangan segelintir kelas di dalam masyarakat dan dari negeri-negeri terkebelakang ke negeri-negeri kaya. Dan menurutnya, negara yang memonopoli kekerasan dan membuat aturan-aturan main, memainkan peranan penting dalam mendukung dan mempromosikan proses ini. Ia menyebut proses ini sebagai accumulation by dispossession, yang meliputi: ‘komodifikasi dan privatisasi tanah dan mengusir para petani secara paksa; konversi berbagai bentuk hak milik (bersama, kolektif, negara, dan sebagainya) ke dalam hak-hak kepemilikan pribadi secara eksklusif; larangan secara paksa hak-hak milik bersama; kumodifikasi tenaga kerja dan eliminasi secara paksa bentuk-bentuk alternatif (indigenous) model-model produksi dan konsumsi; proses-proses pengambil alihan aset dengan cara-cara kolonial, neokolonial, dan imperial (termasuk sumber daya alam); monetisasi nilai tukar, pajak, dan terutama tanah; perdagangan budak (yang masih berlangsung, terutama dalam industri seks) dan; peminjaman dengan bunga yang mencekik, utang nasional dan yang paling merusak adalah penggunaan sistem kredit yang merupakan cara-cara paling radikal dari akumulasi primitif’ (Harvey, 2003, 2007).
Dengan accumulation by dispossession, Harvey mencoba mengembangkan konsep Karl Marx (1990 [asli, 1867]) tentang ‘primitive accumulation,’ yakni asal-usul surplus, di mana akumulasi kapitalis berlangsung. Menurut Marx (1990:874-5 [1867]), ‘akumulasi primitif, di tingkat pertama dan paling pokok, adalah proses sejarah pemisahan produsen dari alat produksi.’ Dengan kata lain, proses mengubah para produsen menjadi buruh upahan. Hal penting yang perlu digaris-bawahi dari Marx, yang menghabiskan delapan bab di bagian kedelapan dari buku Capital I ketika menguraikan tentang akumulasi primitif, adalah kekerasan. Mengutip Augier, yang mengatakan bahwa jika uang hadir di dunia dengan lumuran darah bawaan di sebelah pipi, maka kapitalisme lahir, menurut Marx (1990:925-6 [1867]), ‘dengan darah dan kotoran yang muncrat dari pori-pori, mengalir dari kepala turun ke ujung kaki.’ Dalam sejarah, proses ini terjadi di mana-mana, seperti dia menulis:
‘the discovery of gold and silver in America, the extirpation, enslavement and entombment in mines of the indigenous population of that continent, the beginnings of the conquest and plunder of India, and the conversion of Africa into a preserve for the commercial hunting of black skins, are all things which characterize the dawn of the era of capitalist production. These idyllic proceedings are the chief moments of primitive accumulation’ (Marx, 1990:915 [1867]).
Kekerasan dengan demikian merupakan hal yang tertanam di dalam proses akumulasi kapital. Negara yang memonopoli kekerasan secara sah menjadi sentral dalam proses ini, di antaranya dengan menggunakan instrumen kekerasan negara seperti angkatan bersenjata. Militerisme, dengan demikian, menjadi penting dalam sistem kapitalis, yang oleh Mann (1984) menganggapnya sebagai keharusan untuk akumulasi modal swasta. Karena tanpa itu, produksi, arus komoditi, dan kepemilikan pribadi atas alat produksi akan terganggu.
JALAN MENUJU KEKUASAAN
MENURUT Harvey (2005) neoliberalisme merupakan proyek politik, sebagai obat penawar terhadap ancaman yang dihadapi oleh tatanan sosial kapitalisme dan penyakit yang dideritanya. Sebagai proyek, menurutnya, hal ini bisa ditelusuri dari sebuah kelompok kecil yang eksklusif – terkenal dengan the Mont Pelerin Society – terdiri dari filosof politik Austria Frederich von Hayek, Ekonom Milton Friedman, Filosof Karl Popper, dan lain-lain, yang menyebut diri mereka sebagai ‘liberal’ (dalam tradisi Eropa) karena keyakinan tentang idealisme kebebasan pribadi. Ketika membentuk kelompok ini di tahun 1947, mereka memprihatinkan bahaya yang mengancam jantung peradaban ‘the Western Man’ (kebebasan berfikir dan berekspresi), sehingga diperlukan sebuah ‘perang ide’ yang harus dimenangkan. Label neoliberal menunjukan kepercayaan kuat mereka terhadap prinsip-prinsip pasar bebas dari ekonomi neoklasik yang tumbuh di abad 19 (berkat karya-karya Alfred Marshall, William Stanley Jevons, dan Leon Walras) untuk menggantikan karya-karya klasik dari Adam Smith, David Ricardo, dan Karl Marx. Meskipun mereka juga respek dengan teori Adam Smith tentang ‘invisible haid.’ Doktrin Neoliberalisme, oleh karena itu, adalah sebuah perlawanan terhadap teori-teori tentang intervensi negara, seperti yang diperkenalkan oleh John Maynard Keynes ketika menghadapi depresi besar tahun 1930an, dan teori-teori tentang sentralisasi perencanaan ekonomi di dalam tradisi Marxist (Harvey, 2005:19-21; Yergin & Stanislaw, 1998).
The Pelerin Society memperoleh dukungan keuangan dan politik yang sangat kuat. Di USA, secara khusus, mereka memperoleh dukungan dari kelompok individu kaya yang kuat dan para pemimpin perusahaan yang menentang segala bentuk intervensi pemerintah. Mereka menggalang perlawanan terhadap apa yang mereka sebut sebagai ekonomi campuran (mixed economy). Kepercayaan ini semakin menguat sampai krisis ekonomi 1970an, ketika paham ini masuk ke dalam mainstream kekuasaan dan lembaga-lembaga pemikiran, menggeser dominasi Keynesianism. Terutama di USA dan Inggris, lembaga-lembaga pemikiran dengan dukungan keuangan kuat, seperti Institute of Economic Affairs (London), Heritage Foundation (Washington), dan di Universitas Chicago yang sangat dipengaruhi oleh Milton Friedman. Penghargaan nobel ekonomi yang diberikan kepada Hayek (1974) dan Friedman (1976) semakin membuat paham ini kian berkibar. Teori neoliberal mulai masuk ke dalam kebijakan di era 1970an itu, terutama di sektor moneter, khususnya di masa pemerintahan Jimmy Carter, saat deregulasi ekonomi diperlukan sebagai salah satu jawaban terhadap stagflasi (Harvey, 2005: 21-2).
Sejak 1979 konsolidasi neoliberalisme mencapai puncaknya. Terpilihnya Margaret Thatcher (1979) dan Ronald Reagan (1980) sebagai kepala pemerintahan di Inggris dan USA merupakan era di mana kebijakan ekonomi neo-liberal datang mendominasi. Thatcher yang terpengaruh dengan Hayek (Flew, 1996) mengangkat Keith Joseph, pengikut Hayek, sebagai Menteri Perindustrian dan kemudian menjadi Menteri Pendidikan, sementara Reagan menunjuk David Stockman, seorang penganut Hayek, untuk mengepalai OMB (the Office of Management and Budget), jabatan setingkat menteri. Thatcher dan Reagan menekankan doktrin kompetisi – kompetisi antar bangsa, wilayah, perusahaan, dan individu. Inilah era di mana deregulasi pasar keuangan, privatisasi, pelemahan kelembagaan-kelembagaan jaminan sosial, pelemahan serikat-serikat buruh dan perlindungan pasar tenaga kerja, pengurangan peran pemerintah, dan membuka pintu untuk arus barang dan modal internasional.
Apa yang terlihat dari proses ini adalah peranan negara di dalam sejarah muncul dan menyebarnya neoliberalisme. Dengan kata lain, kekuasaan negaralah yang menjadi kata kunci untuk mengartikulasikan paham ini. Nah di sini, sangat penting merujuk ke Harvey (2005, 2007) yang mengupas tuntas apa yang dia sebut ‘neoliberal state’ (negara neoliberal). Menurutnya, negara neoliberal memiliki misi menciptakan ‘good bussiness climate’ bagi akumulasi modal, tidak peduli dampak negatif sosial ekonominya. Negara harus memfasilitasi dan mendorong kepentingan-kepentingan bisnis, seperti privatisasi sektor-sektor yang sebelumnya dikuasai negara, memacu pertumbuhan industri keuangan (financialization), dan sebaliknya, menarik diri dari tanggung jawab di bidang sosial. Negara menciptakan dan melindungi kerangka kerja secara kelembagaan yang menjamin hak milik pribadi, kebebasan individu, tidak membebani pasar, dan mendorong perdagangan bebas. Dan tidak kalah penting, negara juga mesti menyiapkan militer, polisi, dan lembaga-lembaga peradilan untuk menjamin semua itu bekerja (Harvey, 2007:22).
Seperti sudah disampaikan, era Thatcher dan Reagan memang dianggap sebagai masa di mana paham neoliberal masuk ke dalam arus utama kekuasaan. Tetapi di bawah era Perang Dingin (Cold War), musuh utama paham ini juga adalah negeri-negeri di bawah pengaruh sosialisme. Tidak heran, atas alasan itulah, Chili tampaknya menjadi laboratorium penerapan paham ini. Itu terjadi di tahun 1970an, ketika agenda-agenda neoliberal dipraktekkan, setelah sebuah kudeta berdarah militer Chili yang didukung oleh USA terhadap pemerintahan sosialis yang terpilih secara sah dan demokratik di bawah Salvador Allende (Alexander, 1978). Sekelompok ekonom muda Chili yang dikenal dengan sebutan ‘Chicago Boys,’ karena pengikut Milton Friedman, dari mana mereka pernah mengenyam pendidikan di University of Chicago, masuk menjadi tulang punggung rejim Pinochet. Bekerja sama dengan IMF, dari tangan merekalah ide-ide neoliberal dipraktikkan melalui privatisasi aset-aset pemerintah, membuka investasi swasta berbasis sumber daya alam (perikanan dan kehutanan), memfasilitas invetasi-investasi asing dan membuka perdagangan bebas (Petras & Leiva, 1994:21-3; Harvey, 2005:7-8). Chili merupakan gambar yang jelas, di mana kebebasan ekonomi (economic freedom) hidup berdampingan dengan teror politik. Friedman, yang menjadi arsitek ekonomi dan penasehat tidak resmi ‘Chicago Boys’ menyatakan bahwa di luar ketidak-setujuannya terhadap sistem politik otoriter di negeri itu, dia tidak melihatnya sebagai sesuatu yang buruk untuk memberikan nasihat kepada pemerintahan Pinochet (Letelier,1976:45).
Dari lensa lain, Global War on Terror (GWOT), di bawah hegemoni USA, datang mengisi tempat yang kosong setelah berakhirnya Perang Dingin. Dengan dalih promosi institusi dan nilai-nilai politik liberal di luar negeri yang menjadi sentral agenda pemerintah Bush, baik dalam perang melawan terorisme maupun Grand Strategynya (Ikenberry, 2001-2002), US melakukan penyerbuan ke Iraq untuk menghancurkan rejim Saddam Hussein. Tak bisa disangkal, invasi Iraq merupakan contoh paling terbaru bagaimana apa yang disebut dengan rejim ‘neo-liberal militarism’ beroperasi, di mana pemerintah mengalokasi anggaran yang besar untuk melayani profit korporasi-korporasi swasta, bukan untuk menekan angka pengangguran, perbaikan upah, dan jaminan kenyamanan ekonomi bagi kaum buruh, seperti yang menjadi pertimbangan utama penganut ‘military keynesianism’ (Cypher, 2007). Stiglitz dan Bilmes (2008:11-12) mencatat, dalam invasi Iraq US mengontrak 100,000 kontraktor swasta, mulai dari melayani masak-memasak, pelayanan sistem persenjataan, sampai perlindungan diplomat. Bahkan memberikan kontrak kepada perusahaan-perusahaan keamanan swasta (private security companies), yang pada tahun 2007 saja menghabiskan USD 4 milyar. Keterlibatan perusahaan-perushaaan keamanan swasta sekaligus juga menunjukkan bahwa angkatan bersenjata secara parsial tengah diprivatisasi. Sebagai tambahan, privatisasi sektor keamanan, ditandai tumbuhnya perusahaan-perusahaan militer swasta (privat military firms [PMFs]) dan perusahaan-perusahaan keamanan swasta (private security firms [PSCs]) sejak berakhirnya Perang Dingin (Singer, 2003), kian menggambarkan bahwa neoliberalisasi telah berlangsung sangat cepat, termasuk menggantikan fungsi-fungsi jaminan keamanan yang secara tradisional dimonopoli negara.
Setelah berhasil menghancurkan regim Saddam, kepala Otoritas Sementara Pasukan Koalisi (Coalition Provisional Authority [CPA]), Paul Bremer mulai memaksakan kebijakan-kebijakan neoliberal. Hanya dalam 14 bulan, CPA telah membangun pilar-pilar ekonomi neo-liberal melalui serangkaian peraturan: larangan terhadap kegiatan produksi oleh negara dan larangan subsidi komoditi; pengurangan hambatan-hambatan tarif impor dan perdagangan; deregulasi proteksi sistem pengupahan dan membuka pasar tenaga kerja; reformasi perpajakan; reformasi keuangan dan reformasi sektor perbankan; menetapkan aturan-aturan perdagangan internasional berdasarkan ketentuan-ketentuan WTO dan; privatisasi perusahaan-perusahaan negara (Whyte, 2007:181). Semua alasan itu jelas-jelas merupakan doktrin neo-liberal, tetapi sering kali dipoles dengan argumentasi yang mudah diterima ‘akal sehat.’ Misalnya, ketika privatisasi perusahaan-perusahaan negara, maka justifikasi politik yang dipakai adalah bahwa selama pemerintahan Saddam, perusahaan-perusahaan itu menjadi sarang korupsi. Memang tesis penganut neo-liberal dalam perlawanan terhadap korupsi di sektor pemerintah didasarkan pada klaim bahwa privatisasi dan kompetisi dapat menghilangkan korupsi dalam kegiatan ekonomi yang didominasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah (Whyte, 2007:180).
PENGALAMAN INDONESIA.
SEBELUM krisis ekonomi dan krisis politik 1997-8 (Dijk, 2001), Indonesia di bawah kediktatoran Suharto, kerap dipandang sebagai salah satu kisah sukses pembangunan yang kapitalistik. Melalui pertumbuhan ekonomi yang cepat selama tiga dekade, Indonesia dianggap sukses dalam menurunkan angka kemiskinan absolut. Bank Dunia dalam laporan tahun 1997 menyatakan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang bagus dalam periode 1991-1996, Indonesia diperkirakan masih akan mengulangi kesuksesan pertumbuhan yang menggembirakan (Wie, 2002). Pertumbuhan besar-besaran industri manufaktur dengan upah buruh murah (Hadiz, 1997) dan pertumbuhan industri berbasis sumber daya alam yang menyingkirkan petani dan masyarakat lokal (Leith, 2000; Robinson, 1986) menjadi potret yang pas bagaimana konsolidasi sistem kapitalisme di Indonesia.
Studi-studi Hadiz & Robison (2006) dan Rosser (2002) memberi indikasi tentang paham neoliberal telah masuk dalam kebijakan sejak rejim Orde Baru hingga rejim-rejim yang terbentuk sesudahnya. Apa yang harus digarisbawahi adalah bahwa kebijakan-kebijakan neoliberal memang tidak turun secara serempak, tetapi melalui proses evolusi yang panjang, yang bisa ditelusuri dari berbagai kebijakan reformasi ekonomi sejak kelahiran Orde Baru. Apa yang disebut sebagai deregulasi dan debirokratisasi sejak era 1980an, menyusul kejatuhan harga minyak, adalah bukti reformasi pasar itu, dan kebijakan itu berlangsung semakin dalam setelah krisis ekonomi dan politik 1997-8. Kebijakan-kebijakan itu di antaranya adalah reformasi pasar modal, keuangan dan perbankan, perdagangan dan investasi, dan hak milik intelektual (Rosser, 2002).
Seperti Chili, Indonesia kembali memulai ekonomi pasar setelah kekerasan paling barbar dalam sejarah kemanusiaan di abad lalu, ketika ratusan ribu orang diburu dan dibunuh, dengan tuduhan sebagai anggota atau simpatisan PKI, dan sebagian dikirim ke kamp-kamp isolasi Pulau Buru, tanpa proses pengadilan (Roosa, 2006; Cribb, 2002). Dan pembunuhan itu jelas-jelas di bawah dukungan kuat USA. Peristiwa ini sendiri tidak boleh dibaca sebagai peristiwa politik yang berdiri sendiri, tetapi jelas berhubungan dengan bagaimana sebuah masyarakat akan diorganisasikan menurut kaidah-kaidah ekonomi kapitalis pada masa-masa berikutnya. Apa yang terjadi adalah lahirnya sebuah rejim kapitalis, di mana ide-ide neoliberal – disuarakan kelompok teknokrat yang lazim disebut Berkeley Mafia (Ransom, 1970) – secara perlahan mulai dipraktekkan, misalnya, dengan membuka pintu secara lebar bagi investasi swasta asing. Farid (2005) menunjuk perkembangan ini sebagai bagian dari ‘primitive accumulation,’ proses penumpukan kekayaan yang bertumpu pada hak milik pribadi, yang didahului atau dilakukan dengan kekerasan yang berdarah-darah.
Keajaiban pertumbuhan ekonomi di masa Orde Baru berlangsung di bawah rejim yang mengandalkan kekuatan militer dalam semua segi kehidupan (Crouch, 1978; Jenkins, 1987; Lowry, 1996; McGregor, 2007). Rejim sukses membonsai organisasi-organisasi buruh dan tani, menciptakan stigma komunis, dan melakukan kekerasan dan teror terhadap perlawanan kaum buruh dan kaum tani yang meningkat tajam sejak 1980an (Hadiz, 1997; Lucas, 1992). Penggunaan kekerasan juga dilakukan terhadap kelompok-kelompok miskin perkotaan, dengan melakukan penggusuran secara paksa (Benyamin & Kartini, 1998) dan bahkan melakukan pembunuhan ekstra legal terhadap warga perkotaan yang diklaim sebagai penjahat (Cribb, 2000). Kondisi seperti ini sejalan dengan kepentingan modal internasional yang tidak berkeinginan mendukung proses demokratisasi di Indonesia (Winters, 1999). Tentu saja, semasa Orde Baru, Indonesia menjadi contoh yang penting, di mana tidak ada hubungan antara kapitalisme dan demokrasi.
Reformasi politik dan reformasi ekonomi setelah kejatuhan Suharto melahirkan banyak ketegangan. Baik proses demokratisasi di bidang politik (Bunte & Ufen, 2009), maupun reformasi pasar yang memberikan kemudahan akses perusahaan-perusahaan swasta untuk mengeruk sumber daya alam dengan jaminan hak milik yang lebih kuat, semakin memperluas konflik dan kekerasan. Dalam kerangka ini, kekerasan berbasis suku dan agama yang muncul menjelang kejatuhan Suharto dan kemudian menyebar ke Maluku, Maluku Utara, Kalimantan, dan Poso setelah reformasi (Klinken, 2007), sebenarnya hanya bisa dijelaskan dengan baik melalui lensa yang lebih luas. Krisis ekonomi sejak 1997 mengakibatkan merosotnya kesejahteraan penduduk, akibat pemutusan hubungan kerja di sektor manufaktur, konstruksi, dan pelayanan terutama di daerah perkotaan (Wie, 2002) menciptakan efek domino konflik dan kekerasan. Proses-proses dispossession secara ekonomi dan politik yang terjadi sebelum krisis 1997 dan semakin mendalam setelah reformasi pasar dan reformasi politik menimbulkan kondisi-kondisi masyarakat yang sangat rentan yang memicu terjadinya konflik dan kekerasan lebih luas.
Neoliberalisasi awal
Industri pertambangan menjadi contoh paling tepat bagaimana ide-ide neo-liberal mulai diperkenalkan sejak awal orde baru. UU No.1/ 1967 tentang Penanaman Modal Asing menjadi titik masuk investasi asing di sektor ini. Pasal 8 UU No. 1/1967 menyebutkan “Penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerja sama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”. Kebijakan lebih rinci yang mendorong investasi di sektor ini adalah UU No.11/ 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Indonesia memperkenalkan Kontrak Karya (KK), model kontrak antara pemerintah dan perusahaan asing, yang dianggap paling liberal dalam dunia industri pertambangan. Kebijakan-kebijakan ini benar-benar merupakan cermin dari apa yang oleh Emel dan Huber (2008) menyebutnya sebagai mantra ‘neo-liberal risk’ di sektor pertambangan. Mantra ini menganggap perusahaan swasta menghadapi risiko politik, komersial, dan geologi yang besar dan tidak sepadan dengan pemilik tanah dan mineral (negara) di mana perusahaan beroperasi. Oleh karena itu, perusahaan harus memperoleh jaminan pemerintah bahwa tidak ada nasionalisasi dan aneka klaim hak milik (multiple property claims), ancaman terorisme dan sabotase, pembatalan kontrak, dan aturan perpajakan, eksplorasi dan eksploitasi yang kaku. Tujuannya adalah akumulasi kapital dapat berlangsung tanpa gangguan.
Freeport yang pertama kali memperoleh KK April 1967 benar-benar memperoleh perlakuan istimewa dari pemerintah. Draft KK itu bukan dibuat oleh pemerintah Indonesia, tetapi sepenuhnya disiapkan sendiri oleh Freeport untuk kemudian disetujui. Moh. Sadli, salah seorang teknokrat yang diasosiasikan dengan ‘Mafia Berkeley’ mengatakan bahwa KK Freeport saat itu adalah bagian dari cara pemerintah untuk menarik investasi asing. Fakta lain, pemberian kontrak itu terjadi ketika status politik Papua masih belum jelas: apakah memilih bergabung dengan Indonesia atau mau merdeka melalui sebuah referendum, di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang akan dilakukan pada tahun 1969. Dan seperti kita ketahui, ternyata referendum dilakukan bukan berdasarkan prinsip ‘satu orang satu suara,’ sesuai ketentuan PBB, tetapi dilakukan oleh hanya 1.024 orang, yang berada di bawah pengawasan tentara. Pemerintah menganggap kendala fisik dan penduduk Papua yang primitif menjadi faktor penghalang untuk sebuah referendum yang melibatkan hampir 1 juta penduduk Papua saat itu. Tidak heran, di bawah akal-akalan pemerintah ini, hasil referendum menyatakan
Papua bergabung dengan Indonesia (Leith, 2000:60, 12-3).
Di bawah perlakuan yang istimewa terhadap Freeport (subsidiary of Freeport Sulphur Co, USA), investasi swasta asing berlomba-lomba masuk Indonesia. Setelah Freeport Indonesia memperoleh kontrak karya (KK) tahun 1967, maka hingga 1970 tercatat 9 perusahaan asing mengantongi KK dengan pemerintah Indonesia, dua di antaranya PT. Freeport dan PT. Inco. Dalam perkembangannya, Indonesia menjadi lahan subur bagi investasi asing, dan sebelum kejatuhan Suharto, dianggap sebagai negeri yang paling menarik dari sisi investasi pertambangan di Asia (Leith, 2000). Nilai investasi KK, 1968 – 1990, mencapai USD 2,339 juta; tahun 1994 USD 861 juta dan; tahun 1997, USD 1, 922 juta. Pemain-pemain utama dalam industri pertambangan dunia hadir di Indonesia, seperti Rio Tinto, Newmont Gold Company, Newcrest Mining Ltd, Broken Hill Proprietary Company Ltd, Freeport McMoran Copper & Gold Inc, dan Inco Ltd. Tentu saja, itu semua berkat keuntungan yang melimpah ruah di bawah jaminan politik yang kuat.
Tetapi, harga yang harus dibayar dari neoliberalisasi di bidang ini juga sangat mahal. Konflik dan kekerasan muncul di mana-mana, di mana fungsi negara neoliberal dalam proses ini menjadi sentral untuk menjamin proses pengerukan mineral. Itu yang terjadi di Papua bertahun-tahun. Sebuah contoh, tahun 1977, dilaporkan bahwa Freeport mengalami kerugian sekitar USD 11 juta karena Organisasi Papua Merdeka (OPM) melakukan sabotase instalasi milik perusahaan itu. Menanggapi kasus ini ABRI/TNI melancarkan operasi Tumpas di daerah pegunungan dengan menggunakan pesawat buatan USA Bronco dan helikopter-helikopter yang dilengkapi senjata dengan target di darat. Serangan dilakukan dengan melakukan pengeboman di wilayah yang luas, serangan udara dengan manuver terbang rendah, dan menjatuhkan bom napalm di sekitar desa-desa di daerah pegunungan (Leith, 2000:226-7). Sehingga, kalau di kemudian hari, Freeport meraup keuntungan yang melimpah ruah, di mana seorang bos Freeport, James R. Moffet, di tahun 1999 – 2000 saja, memperoleh pendapatan senilai USD 8 juta dalam bentuk gaji, bonus, dan berbagai pendapatan tahunan lainnya (Leith, 2000:9), maka tidak lain, itu dialirkan melalui tumpahan darah.
Seperti juga di Freeport, penduduk-penduduk setempat terpaksa kehilangan tanah atau akses ke sumber daya alam lainnya dan menerima dampak pencemaran lingkungan akibat kebijakan pertambangan yang sangat liberal. Itu yang dialami oleh penduduk yang tinggal di sekitar Danau Matano, Sulawesi Selatan, setelah PT. Inco, anak perusahaan Inco Ltd., Kanada (saat ini Vale Inco, Brasil), memperoleh KK untuk mengeksploitasi biji Nikel di wilayah itu. Seperti Denise Leith yang menulis disertasi doktor tentang Freeport, disertasi doktor Katrin M Robinson tentang PT Inco juga menggambarkan bagaimana industri pertambangan yang memperoleh perlakuan istimewa pemerintah, menimbulkan sengketa tanah, pencemaran lingkungan, dan beragam pelanggaran hak asasi manusia. Tidak berlebihan, Robinson (1986) menulis bukunya tentang pertambangan PT Inco di Soroako, Sulawesi Selatan, di bawah judul ‘Stepchildren of Progres.’
Sengketa semacam terjadi meluas di berbagai industri berbasis sumber daya alam lainnya, seperti kehutanan, pekebunan dan sebagainya. Akar dari sengketa, karena semakin kuatnya negara melindungi hak-hak milik pribadi (private property ownership), dengan memberi jaminan kepada korporasi-korporasi swasta, dan dalam waktu yang sama tidak mengakui berbagai model kepemilikan para petani. Itu juga yang terjadi dengan berbagai proyek infrastruktur, terutama bendungan, yang didanai oleh lembaga-lembaga keuangan multilateral, atau badan-badan keuangan luar negeri lainnya (Aditjondro & Kowalewski, 1994).
Pendalaman Neoliberalisasi.
EKSPANSI besar-besaran dalam industri perkebunan sawit di luar Jawa, yang mengantar Indonesia menjadi produsen utama crude palm oil (CPO) di dunia, menjadi contoh yang lain bagaimana paham neoliberal semakin menemukan kakinya. Dengan luas kebun sawit di tahun 1985 sekitar 600.000 hektar dan berkembang menjadi 4,1 juta hektar di tahun 2003, membuat Indonesia menjadi pemain penting dalam industri perkebunan sawit dunia, di belakang Malaysia. Pada tahun 2002, nilai ekspor produk-produk minyak sawit Indonesia mencapai USD 2,1 miliar. Sektor ini juga mempekerjakan tenaga kerja secara langsung mencapai 800.000 orang dan 2 juta secara tidak langsung (Gelder, 2004). Tidak pelak lagi, ini merupakan buah dari kebijakan-kebijakan neoliberal di sektor ini: Bank Dunia memperkenalkan skema ‘Kebun Inti dan Plasma’ sejak 1990an; Sejak 1996, untuk mendorong sektor swasta pemerintah memberikan subsidi melalui pinjaman bank dengan tingkat suku bunga yang rendah; pengurangan pajak ekspor secara progresif untuk produk-produk minyak sawit seperti crude palm oil (CPO); refined, bleached, deodorised (RBD) palm oil; crude olein; dan RBD olein; pemberian izin untuk lahan perkebunan yang luas, termasuk konversi hutan-hutan alam sekitar 6 juta hektar (Casson 2002: 224-6; Larson, 1996; Colchester, et.al. N.D.:4). Sejak krisis 1997/8, IMF mendorong liberalisasi investasi perkebunan sawit, seperti tertuang dalam poin 39 Letter of Intent (LoI, 15 Januari 1998), yakni menghapus hambatan investasi asing di dalam industri perkebunan sawit.
Hal lain adalah peranan Internasional Finance Corporation (IFC), lembaga di bawah Bank Dunia, yang aktif mempromosikan ekspor hasil-hasil agrobisnis di Indonesia dengan menciptakan iklim investasi yang pro pasar. Tahun 2002, IFC menyediakan stand-by equity senilai USD 16.5 juta untuk PT Astra International dalam rangka restrukturisasi utang perusahaan itu (Carrere, 2006). Seperti kita ketahui Astra adalah salah satu perusahaan raksasa yang juga memiliki perkebunan sawit yang menyebar di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, yang pada tahun 2004 memiliki areal perkebunan sawit yang telah ditanami seluas 189.970 hektar dengan kapasitas produksi CPO mencapai 543.635 ton per tahun (Gelder, 2004).
Tetapi peranan IFC yang penting adalah mendukung Wilmar Trading. Perusahaan Singapura yang memiliki empat pabrik penyulingan CPO di Indonesia dan sebuah pabrik di Malaysia dengan total produksi mencapai 3,3 juta ton per tahun, dan juga memiliki beberapa anak perusahaan perkebunan sawit di Sumatra. IFC memberi jaminan USD 3,3 juta untuk Wilmar, yang diperbaharui setiap tahun selama tiga tahun, sehingga memudahkan perusahaan itu untuk memperoleh pinjaman dari bank-bank komersial. Ini merupakan bagian dari usaha IFC agar Wilmar memiliki modal yang terjaga untuk membeli CPO dari perkebunan sawit di Indonesia untuk kemudian disuling lagi sebelum diekspor. Ringkas cerita, dengan jaminan kredit dari IFC, Wilmar dan anak-anak perusahaannya di Indonesia dapat mempertahankan ekspor hasil perkebunan sawit dan meraup profit dari sana (Carrere, 2006).
Pertumbuhan fantastis industri kapitalis perkebunan sawit dalam masa belasan tahun terakhir berlangsung melalui praktek-praktek akumulasi primitif dengan pola-pola sebagai berikut. Pertama, konflik tanah menjadi hal paling menonjol karena klaim kepemilikan yang berbeda. Sebuah studi yang dilakukan Amzulian Rifai tentang 78 konflik antara petani dengan perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatra Utara menunjukkan konflik itu terjadi karena: lahan petani diambil secara ilegal dan paksa; tidak ada kompensasi yang dibayarkan untuk tanaman-tanaman di atas lahan yang masuk dalam areal konsesi; pohon-pohon karet yang dimiliki petani dirusak oleh perusahaan dengan cara membakar ketika melakukan pembersihan lahan dan; meski tanah-tanah petani terdapat dalam areal konsesi, tetapi mereka tidak memperoleh bagian keuntungan (dikutip oleh Collins, 2007:57-8).
Kedua, mempekerjakan buruh-buruh murah (termasuk anak-anak dan perempuan) dengan kesehatan kerja yang buruk. Ini dimungkinkan karena sumber utama para pekerja adalah warga-warga miskin dari wilayah-wilayah padat penduduk di Jawa, Bali, NTT direkrut di bawah program perkebunan inti rakyat-transmigrasi (PIR-trans) dan (eks) petani setempat yang telah kehilangan tanah.
Ketiga, di balik proses itu, seperti biasa kekerasan menjadi bagian penting, ketika konflik antara perusahaan dan petani meningkat. Di Desa Salulebo, Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, propinsi yang baru dimekarkan dari Sulawesi Selatan, (14/2/2007), PT Astra Agro Lestari membayar milisi dan Brimob untuk menyerang Forum Aliansi Masyarakat Tani Mamuju, ketika sedang berada di lahan garapan mereka. Akibat serangan ini, seorang anggota milisi tewas, karena para petani memberikan perlawanan. Beberapa petani kemudian ditangkap polisi dan memperoleh penyiksaan selama dalam tahanan (Anonymous, N.D.a). Di Kampung Banjaran Kecamatan Secanggang, Kab. Langkat, Sumatera Utara (25/8/2008), aparat Polres Langkat melakukan penangkapan disertai tindak kekerasan terhadap 100 petani di area perkebunan sawit milik PT. Buana Estate, karena para petani berusaha mempertahankan tanah mereka yang telah diserahkan oleh pemerintah kepada perusahaan (Anonymous, N.D.b). Di Sumatra Barat, pertumbuhan perkebunan Sawit di daerah itu juga ditandai dengan kekerasan, ketika aparat polisi bersenjata mengintimidasi penduduk setempat untuk menyerahkan lahan mereka kepada PT Permata hijau Pasaman, anak perusahaan dari Wilmar sejak April 2000. Sebuah NGO di sana melaporkan itu dilakukan melalui intimidasi, penembakan, penculikan, penangkapan, dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan (Carerre, 2006).
Tampaknya, kekerasan bukan hanya monopoli industri perkebunan sawit. Seperti terjadi di Bulukumba, Sulawesi Selatan (21/3/2003), konflik tanah antara PT London Sumatra (LonSum) dengan petani setempat, karena ekspansi kebun karet berlangsung berdarah-darah. Pasukan Brimob secara sewenang-wenang memukuli dan menembaki petani yang berusaha merebut tanah mereka kembali. Akibat tindakan kekerasan ini empat orang meninggal dunia, banyak orang menderita luka-luka, 14 orang dimasukkan ke penjara, dan sejumlah aktivis pro-demokrasi yang mendampingi perjuangan rakyat Bulukumba, terpaksa ‘tiarap’ karena dimasukkan di daftar pencarian orang (Aditjondro, 2006).
Bagaimana kekerasan seperti ini harus dijelaskan?. Pandangan umum melihatnya sebagai problem aparat keamanan, yang selain dianggap ‘haus darah,’ juga ‘haus uang.’ Para komandan pasukan mengerahkan anak buahnya melindungi perusahaan, karena memperoleh pelayanan dari perusahaan. Setelah reformasi, cerita-cerita semacam ini terjadi di mana-mana, terutama dalam industri perkebunan dan pertambangan. Misalnya, harian New York Times, dalam sebuah laporan menyebut bahwa antara 1998 – 2004, Freeport menyatakan telah menyerahkan uang sekitar USD 20 juta kepada para jenderal, kolonel, mayor, dan kapten baik TNI maupun polisi. Para komandan menerima puluhan ribu dolar, dan dalam sebuah kasus memperoleh sekitar USD 150,000 (Perlez & R. Bonner, 2005). Pembayaran seperti itu terus saja berlangsung, dan di tahun 2008, perusahaan membayar sekitar USD 1,6 juta kepada aparat keamanan (Anonymous (N.D.c). Kepada New Times, perusahaan menyatakan:
“There is no alternative to our reliance on the Indonesian military and police in this regard…. The need for this security, the support provided for such security, and the procedures governing such support, as well as decisions regarding our relationships with the Indonesian government and its security institutions, are ordinary business activities” (Perlez dan Bonner, 2005).
Relasi seperti ini selalu dipandang sebagai masalah ‘governance,’ baik di tingkat perusahaan maupun di jajaran pemerintah. Tentu saja, pandangan seperti ini bersifat reduksionis, karena hanya melihatnya sebagai bentuk-bentuk pelanggaran HAM dan korupsi oleh aparat kekerasan negara, apalagi biasanya berakhir dengan menjadikan serdadu-serdadu berpangkat rendah sebagai kambing hitam. Lebih dari itu, masalah ini harus dilihat sebagai sesuatu yang tertanam di dalam jantung sistem kapitalis, yakni keharusan untuk melindungi proses-proses penumpukan kekayaan swasta. Dengan kata lain, di sinilah letak relevansi kritik terhadap neoliberalisme, di mana pengerahan pasukan secara resmi sejatinya bertujuan melindungi super profit yang diperoleh perusahaan-perusahaan swasta.
CATATAN PENUTUP
PERTAMA, neoliberalisme dapat disimpulkan bahwa neoliberalisme bukan saja merupakan kebijakan teknis ekonomi, seperti tertuang dalam Washington Consensus, tetapi merupakan sebuah ideologi, yang menekankan ideal tertentu tentang bagaimana masyarakat diorganisasikan secara ekonomi, politik, dan kultural. Neoliberalisme tidak lain adalah kapitalisme dengan spirit yang lebih progresif. Paham ini berintikkan minimalisasi peranan pemerintah dalam urusan ekonomi dan menyerahkannya kepada pasar. Ini didasarkan pada anggapan bahwa pasar dapat mengurus dirinya sendiri, bukan diatur oleh otoritas kekuasaan di luarnya. Bentuk-bentuk intervensi pemerintah dianggapnya sebagai ancaman terhadap kebebasan, dalam pengertian merusak kebebasan pasar. Secara praktis, pelaksanaan paham ini secara terukur dapat dilihat dari liberalisasi perdagangan, keuangan, dan investasi swasta, termasuk privatisasi tanggung jawab sosial pemerintah. Intinya adalah agar perdagangan barang dan jasa bisa berlangsung secara bebas, begitu juga pergerakan modal, dan kebebasan dalam investasi dalam konteks global.
Kedua, neoliberalisme merupakan paham yang utopis, karena tidak ada bukti sejarah yang menunjukkan pasar dapat bergerak tanpa campur tangan pemerintah. Hanya dari tangan pemerintah yang konkret melalui berbagai peraturan pasar dapat digerakkan. Dengan kata lain, apa yang disebut dengan ‘pasar bebas,’ dan ‘perdagangan bebas,’ bukan sesuatu yang ‘terjun bebas’ dari langit, tetapi dibikin oleh pemerintah, melalui rapat-rapat di parlemen, di kantor-kantor kementrian, atau di hotel-hotel berbintang. Tidak peduli seperti apa pemerintah itu, baik yang terpilih melalui demokrasi borjuis maupun yang memperolehnya melalui kudeta berdarah. Bahkan, demi pasar, semua bentuk pemerintah dapat menyebar teror dengan aneka cara.
Ketiga, ide-ide neoliberalisme secara evolusioner telah berkembang sejak awal Orde Baru, dan berlangsung lebih cepat setelah keruntuhan regim Orde Baru. Hal ini bisa dilihat pada mata rantai kebijakan pro-pasar yang tidak putus sejak kejatuhan rejim Soekarno hingga paska kejatuhan rejim Soeharto. Salah satu aspek paling menyolok dari perkembangan neoliberalisme di Indonesia adalah perkembangan industri-industri berbasis sumber daya alam, seperti yang sudah ditunjukkan dalam pertambangan dan perkebunan. Ekstraksi surplus dalam kedua industri ini berlangsung massive setelah liberalisasi investasi dan perdagangan, perlindungan terhadap hak-hak milik individu, dan termasuk penggunaan aparat bersenjata. Perpindahan rejim dari Orde Baru yang berwatak diktator ke rejim-rejim reformasi tidak punya arti apa-apa dilihat dari sisi hubungan antara negara dan modal. Fungsi kedua rejim sebagai pengurus kepentingan kaum borjuis tetap saja berlangsung, dengan melakukan apapun agar pengerukan kekayaan dapat terus bekerja.
Keempat, fakta-fakta tersebut mengantarkan kita untuk mempertanyakan pengertian freedom, yang dirayakan selama sebelas tahun reformasi. Untuk siapa sebenarnya freedom itu?. Tampaknya, sangat paradoks, ketika mahasiswa dan LSM bebas berunjuk rasa, wartawan menikmati kebebasan pers, dan tumbuh subur political entrepreneurs, sementara dalam waktu yang sama praktek-praktek akumulasi primitif berlangsung hari-hari di depan mata, yang menyisakan puluhan juta orang yang tidak bersuara.
KEPUSTAKAAN
Aditjondro, G.J. (2006) Dinamika Politik Dan Modal Di Sulawesi: Apa yang dapat dilakukan oleh para aktor prodemokrasi?, Makalah disampaikan dalam pertemuan aktivis di Palu.
Aditjondro, G.J. & Kowalewski, D. (1994) Damning the Dams in Indonesia: A Test of Competing Perspectives, Asian Survey, 34 (4): 381-395.
Alexander, R.J. (1978) the Tragedy of Chile, London: Greenwood Press.
Anonymous (N.D.a) Laporan Perkembangan Konflik Agraria Periode Januari-April 2007. [online]. Dapat diakses melalui: http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=124&Itemid=99. [Akses: 5-6-2009].
Anonymous (N.D.b) Ratusan Petani Langkat Ditangkap Polisi atas ‘Sponsor” Buana Estate, [online]. Dapat diperoleh melalui: http://api-indonesia.blog.friendster.com/ [akses: 5-6-2009].
Anonymous (N.D.c) US mining giant still paying Indonesia military. [Online]. diakses melalui:http://www.google.com/hostednews/afp/article/ALeqM5jJMKtoD9LnT34URkkkJmTjaSf8EA¨. [Akses: 5-6-2009].
Arismunandar, S. (2008) Memilih Bunuh Diri Karena Kenaikan Harga BBM, [online]. Dapat diakses melalui: http://www.wikimu.com/news/displaynews.aspx?id=8238. [akses pada 5-6-2009].
Beeson, M. dan Islam, I. (2006) Neo-liberalism and East Asia: Resisting the Washington Consensus, dalam K. Hewison & R. Robison (eds.) East Asia and the Trials of Neo-Liberalism, London: Routledge.
Benyamin, A. & Kartini, Ms. (1998) Forced Eviction in Jakarta, in Fernandes, K. (ed.) Forced Eviction and Housing Right Abuse in Asia, Karachi: City Press.
Block, F. (2001), Introduction, dalam K. Polanyi, Great Transformation: The political and economic origins of our time, Boston: Beacon Press. p.xxiv.
Bunte, M. & Ufen, A. (eds.) (2009) Democratization in Post-Suharto Indonesia, London: Routledge.
Carrere, R. (2006) Oil Palm: From Cosmetics to biodiesel, colonization lives on, Montevideo: WRI.
Casson, A. (2002) the political economy of Indonesia’s oil palm subsektor dalam C.J. Cofler & I.A.P. Resosudarmo, (eds.) Which way forward? : people, forests, and policymaking in Indonesia, Singapore: Institut of Southeast Asian Studies.
Colchester, M., et.al, (N.D.) Promised Land Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Implications for local communities and Indigenous Peoples, unpublished paper.
Cribb, R. (2002) ‘Unresolved problems of Indonesian Killings in 1965-1966’, Asian Survey, 42 (4): 550-563.
Cribb, R. (2000) From Petrus to Ninja, in Campbell, B.B. & Brenner, A.D. (eds.) Death Squads in Global Perspective: Murder and deniability, New York: Martin’s Press.
Crouch, H. (1978) the Army and Politics in Indonesia, Ithaca, N.Y: Cornell University Press.
Cypher, J. M. (2007) From Military Keynesianism to Global-Neoliberal Militarism, Monthly Review, 59 (2): 37-55.
Dijk, K.V (2001) a Country in Despair: Indonesia between 1997 and 2000, Leiden: KITLV Press.
Emel, J. dan Huber, M.T. (2008) a Risky Business: Mining, rent and the neoliberalization of “risk”, Geoforum (39): 1394.
Farid, H. (2005) Indonesia’s original sin: mass killings and capitalist expansion, 1965-66, Inter-Asia Cultural Studies, Volume 6, Number 1, p.3-16.
Flew, A. (1996) the Influence of the Discipline of Philosophy in Post-War Britain (dalam
Wawancara dengan A. Seldon), Contemporary British History, 10 (2):117 — 125.
Friedman, F. (1962) Capitalism and Freedom, Chicago: The University of Chicago Press.
Gelder, J.W.V. (2004) Greasy Palms: European buyers of Indonesian palm oil, London: Friends of the Earth, Ltd.
Gray, J. (1998) Hayek on Liberty, London: Routledge.
Hadiz, V.R. & Robison, R. (2006) Neo-liberal Reforms and Illiberal Consolidation: the Indonesia paradox, dalam K. Hewison & R. Robison (eds.) East-Asia and the Trials of Neoliberalism, London: Routledge. pp. 24-45.
Hadiz, V.R., (1997) view details mark Workers and the State in New Order in Indonesia, London: Routledge.
Harvey, D. (2007) Neoliberalism and Creative Destruction, ANNALS, AAPS, 610, March, p.34-5.
Harvey, D. (2005), a Brief History of Neoliberalism,’ Oxford: Oxford University Press.
Harvey, D. (2003) the New Imperialism, Oxford: Oxford University Press.
Hayek, F.A. (1960) the Constitution of Liberty, London: Routledge & Kegan Paul.
Hayek, F.A. (1944) the Road to Serfdom, Chicago: University of Chicago Press.
Ikenberry, G.J. (2001-2002) American Grand Strategy in the Age of Terror, Survival, 43(4):19-34.
Jenkins, D. (1987) Suharto and His Generals: Indonesian Military politics 1975 – 1983, Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project.
Klinken, G., (2007) Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small Town Wars, London: Routledge
Larson, D.F. (1996) Indonesia’s Palm Oil Subsector, Policy Research Working Paper, The World Bank.
Leith, D. (2002) the Politic of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia. Honolulu: University of Hawai.
Letelier, O. (1976) Economic Freedom’s’ Awful Toll: The ‘Chicago Boys’ in Chile, Review of Radical Political Economics, 8(3):44-52.
Lowry, R. (1996) the Armed Forces of Indonesia, NSW: Allen & Unwin.
Lucas, A. (1992) Land Disputes in Indonesia: Some current perspectives, Indonesia, 53:79-92.
Mann, M. (1984) Capitalism and militarism, in M. Shaw (ed.) War, State, and Society, London: McMillan Press, p.25-46.
Marx, K. (1990) Capital: A critique of political economy, Volume I, London: Pelican Books (reprinted in Penguin Classic).
May, B. (1978) the Indonesian Tragedy, London: R. & K. Paul, 1978.
McGregor, K.E. (2007) History in Uniform: Military ideology and the construction of Indonesia’s past, Honolulu: University of Hawai Press.
Naim, M. (2000) Washington Consensus or Washington Confusion?, Third World Quarterly, 21(3): 505–528.
Perlez, J. dan Bonner, R. (2005) the Cost of Gold, The Hidden Payroll: Below a mountain of wealth, a river of waste, New York Times, December 27. [Online]. dapat diakses melalui:http://www.nytimes.com/2005/12/27/international/asia/27gold.html?pagewanted=1&_r=1&ei=5070&en=0ee1bc8941899f9f&ex=1138078800 [akses 5-6-2009].
Petras, J. dan Leiva, F.I. (1994) Democracy and Poverty in Chile: The limits to electoral politics, Oxford: Westview Press.
Polanyi, K. (2001[1944]) the Great Transformation: The political and economic origins of our time, Boston: Beacon Press.
Ransom, D. (1970) Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre, Ramparts, October. pp. 27-29.
Robinson, K.M. (1986), Stepchildren of Progress: The political economy of development in an Indonesia mining town, Albany: State University of New York.
Roosa, J. (2006) Pretext for Mass Murder: The September 30th movement & Suharto’s coup d’tat in Indonesia. Wisconsin: University of Wisconsin.
Rosser, A. (2002) the Politics of Economic Liberalisation in Indonesia: State, market, and power, Richmond: Curzon Press.
Singer, P.W. (2003) Corporate Warrior: the rise of the privatized military industry, Ithaca: Cornell University Press.
Stiglitz, J.E. dan Bilmes, L.J. (2008) the Three Trillion Dollar War: the true cost of the Iraq, New York: Norton, W. W. & Company, Inc.
Stiglitz, J.E. (2006) Globalism’s discontents in D.B. grusky & S. Szelenyi (eds.) The Inequality Reader : contemporary and foundational readings in race, class, and gender, Boulder, Colo. : Westview Press.
Whyte, D. (2007) the Crimes of Neo-liberal Rule in Occupied Iraq, BRIT. J. CRIMINOL. 47 (2): 177–195.
Wie, T.K. (2002) the Indonesian Economic Crisis and the long Road to Recovery, a paper presented in XIII International Economic History Congress Buenos Aires, 22-26 July.
Williamson, J. (2004) the Washington Consensus as Policy Prescription for Development, A lecture in the series “Practitioners of Development” delivered at the World Bank on January 13.
Williamson, J. (2000) What Should the World Bank Think about the Washington Consensus?, The World Bank Research Observer, 15 (2): 251-64.
Winters, J.A. (1999) Indonesia: On the Mostly Negative Role of Transnational Capital in Democratization, in Armijo, L.E. (ed.) Financial Globalization and Democracy in Emerging Markets, New York: Martin’s Press, Inc.
Dapat diakses melalui: http://www.wikimu.com/news/displaynews.aspx?id=8238. [akses pada 5-6-2009].
VHR Media.com (2007) Penyebab Utama Kemiskinan: 50.000 Orang Indonesia Bunuh Diri Selama 3 Tahun Terakhir, 16 November.
Yergin, D. dan Stanislaw, J. (1998) the Commanding Heights: the battle between government and the marketplace that is remarking the modern world, New York: Simon & Schuster.
Bung, bolehkah kami publishkan tulisan ini di blog kami?
Trims atas responnya
makasih buat paparannya. sangat membantu saya dalam mecari informasi.
=======================================
dear Amelia;
tulisan ini adalah karya dari Anto Sangaji,
dedengkot NGO Sulawesi dan NGO Indonesia
salam
gendo