I Wayan “Gendo” Suardana
Praktik peradilan sesat di Indonesia bukanlah “barang” baru di Indonesia. Hal ini kerap kali terjadi di dalam dunia peradilan di negara yang mengaku sebagai negara hukum (rechtstaat). Banyak orang yang tidak bersalah selanjutnya atas nama ketidakprofesionalan aparat penegak hukum, maka orang-orang tersebut ditangkap, ditahan, divonis selanjutnya mendekam di penjara. Beberapa kasus yang pernah terjadi misalnya: Sengkon dan Karta yang harus mendekam di penjara, masing-masing selama 7 tahun dan 12 tahun penjara karena divonis melakukan kejahatan pembunuhan, lalu sepasang suami istri di Gorontalo yang dipaksa mendekam dipenjara karena divonis melakukan pembunuhan terhadap putri mereka, namun belakangan ternyata putri mereka masih hidup. Demikianpula terjadi pada Budi Harjono seorang pemuda di Bekasi yang disangka membunuh ayah dan menganiaya ibu kandungnya, tetapi juga tidak terbukti.
Dugaan atas kejadian salah tangkap dan salah vonis terhadap 3 (tiga) orang terdakwa yang sebagian telah divonis penjara atas kejahatan pembunuhan terhadap Asrori (versi kebun tebu), menambah daftar panjang dosa peradilan di Indonesia. Namun saat kasus dugaan pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan dan ternyata Ryan mengakui salah satu korbannya adalah Asrori, maka mulailah ada dugaan atas praktik peradilan sesat yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Maraknya praktik peradilan sesat yang terjadi di Indonesia sudah sejak lama menjadi keprihatinan di Indonesia. Dalam pandangan penulis ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya praktik Peradilan sesat.
1. Watak militeristik dari Institusi Penegak Hukum terutama Polri
Tanpa bermaksud menghakimi institusi penegak hukum, dalam hal ini penulis melihat bahwa praktik peradilan sesat ini adalah buah dari budaya militeristik yang selama ORBA berkuasa. Sebagai sebuah refleksi, bahwa dimasa Orde Baru, kekuasaannya ditopang dengan 3 pilar yang sangat kuat yaitu: kapitalis, birokrasi dan militer. Struktur negara diproduksi oleh negara dan tatanan masyarakat juga diproduksi oleh negara. Dalam membangun sistem tersebut orde baru memilih kekerasan sebagai sebuah pilihan politik kekuasaannya. Secara massif membudayakan praktik kekerasan sebagai sebuah pembenaran kekeuasaan atas nama stabilitas nasional. Kekeraan tersebut termasuk juga kekerasan dalam bidang hukum. Budaya ini tentu saja menumbuhkan watak dan karakter yang militeritik dikalangan penegak hukum, terutama pada institusi kepolisian –insitusi yang memiliki legitimasi untuk melakukan kekerasan-. Aktivis prodemokrasi ditangkapi bahkan dibunuh. Penyelidikan dan penyidikan kerap diwarnai dengan kekerasan dan penyiksaan untuk mendapatkan keterangan ataupun informasi. Perilaku ini ditengarai masih sering dipraktikan oleh aparat kepolisian dalam menangani kasus pidana termasuk kasus politik. Sesungguhnya tidak satupun masyarakat yang bisa lepas dari kekerasan negara salah satu contoh adalah terjadi pada beberapa orang yang diadili dalam peradilan sesat sebagaimana penulis sampaikan diatas.
Sebagai aparat negara seharusnya aparat penegak hukum termasuk POLRI ada dalam posisi sebagai penanggungjawab dari penegakan HAM dan berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Dalam konteks penegakan hukum maka Polri dan seluruh jajarannya seharusnya melaksanakan kewajiban tersebut dengan tunduk kepada ketentuan hukum dan tetap berpegang kepada norma-norma hak asasi manusia. Pernyataan dari beberapa orang yang dipaksa mengakui sebuah kejahatan yang tidak mereka lakukan yang selanjutnya terpaksa mendekam dipenjara bahwa selama proses penyelidikan dan penyidikan mereka mendapatkan penyiksaan dan perlakuan kekerasan sehingga mereka “bersedia” mengakui suatu kejahatan adalah fakta yang tidak dapat dikesampingkan. Perilaku-perilaku tersebut jelas bertentangan dengan semangat pembaharuan yang didengung-dengungkan Polri sebagai institusi Keamanan berwatak Sipil. Dengan mengedapankan kekerasan dan sebuah penyiksaan sebagai pondasi utama untuk mendapatkan keterangan sebagai alat bukti, sesungguhnya institusi kepolisian belum mampu keluar dari watak militerisme.
2. Lemahnya sensitifitas HAM dalam produk hukum pidana di Indonesia terutama KUHAP
Perlindungan terhadap setiap manusia untuk bebas dari penyiksaan dan perbuatan yang merendahkan martabat dan tidak manusiawi wajib diberikan oleh negara. Selain diatur dalam UUD’45 hal ini diatur pula dalam UU no. 39 th. 1999 tentang HAM dan juga UU No. 12 th 2005 tentang pengesahan ICCPR. Yang lebih jelas hak atas bebas dari rasa takut temasuk bebas dari penyiksaan adalah diatur Konvensi anti Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU no. 5 tahun 1998. Terlebih sudah sejak lama Hukum Indonesia memiliki KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang sebagian isinya adalah mengatur tentang hak-hak tersangka dan terdakwa sehingga negara wajib untuk memenuhinya.
Secara umum dinyatakan bahwa fungsi dari KUHAP tersebut adalah untuk membatasi kekuasaan kursif negara terhadap warga negaranya, dalam hal ini negara tidak diperbolehkan melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap warga negara yang sedang menjalani proses peradilan pidana. Diharapkan negara melalui aparat penegak hukumnya dapat memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga masyarakat dari tindakan-tindakan sewenang-wenang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Erni Widhayanti: “ jaminan dan perlindungan terhadap HAM dalam pengaturan hukum acara pidana mempunyai arti yang sangat pentng sekali, karena sebagaian besar dalam rangkaian proses dari hukum acara pidana ini menjurus kepada pembatasan-pembatasan HAM seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan penghukuman, yang pada hakekatnya adalah pembatasan-pembatasan HAM.[1]
Walaupun secara umum dapat pula dinyatakan bahwa sebagian besar design prosedural suatu hukum acara pidana terlalu berat memberikan penekanan kepada hak-hak pejabat negara untuk menyelesaikan perkara atau menemukan kebenaran daripada memperhatikan hak-hak seorang warga negara untuk membela dirinya terhadap kemungkinan persangkaan atau pendakwaan yang kurang atau tidak benar ataupun palsu[2]
Kelemahan dari design hukum acara pidana ini sudah lama disadari oleh pemerintah termasuk oleh para ahli hukum Indonesia. Gagasan-gagasan untuk memperbaharui berbagai regulasi menyangkut hukum pidana termasuk hukum acara pidana sudah lama pula berkembang. Keinginan untuk memberikan jaminan dan kepastian akan perlindungan hukum bagi para tersangka/terdakwa sedemikian besar, terlebih disadari bahwa KUHAP yang digunakan sekarang masih jauh dari sempurna dalam mengadopsi nilai-nilai HAM didalam pengaturannya. Masih terjadi ketimpangan yang sangat besar antara hak-hak pejabat negara dengan hak-hak tersangka/terdakwa. Namun sayangnya sampai saat ini rancangan KUHAP tersebut belum mampu terealisasi menjadi Undang-Undang.
Penutup
Secara gamblang didepan kita terpapar pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara melalui aparat penegak hukumnya. Sedemikian banyak aturan hukum yang sudah ada, namun serentetan kasus baik yang terpublikasi atau tidak mempertontonkan ketidakprofesionalan aparat kepolisian terutama sebagai aparat negara yang diwajibkan secara penuh untuk melaksanakan kewajiban pokoknya dalam penegakan HAM. Serangkaian peristiwa salah tangkap adalah fakta yang terelakan dari agresifnya watak militer dalam institusi polisi dan juga institusi hukum negara ini. Mungkin masih banyak korban-korban peradilan sesat yang ada di Indonesia yang belum terpublikasi. Namun terlepas dari itu, praktik-praktik penyiksaan untuk mendapatkan keterangan dari terangka/terdakwa oleh aparat kepolisian sudah harus dihentikan. Setidaknya hal ini bisa menekan munculnya kasus peradilan sesat yang baru dan tidak ada lagi korban-korban penyiksaan atas nama kekekuasaan
Pembenahan di tubuh institusi penegak hukum di Indonesia sudah harus dilakukan secara revolusioner. Tahapan-tahapan yang ditempuh selama ini toh tetap saja menghasilkan aparat yang tidak sensitif HAM. Harapan kedepan kita dapat tersenyum gembira melihat para aparat penegak hukum di negara ini terutama Polri mejadi institusi yang profesional dimana mereka mampu membongkar suatu kasus tetapi tanpa dengan penyiksaan sehingga tidak ada lagi orang-orang yang dikorbankan untuk mengakui kejahatan yang tidak mereka lakukan.
[1] Erni Widhayanti, Hak-hak tersangka/terdakwa dalam KUHAP, (Yogyakarta: Liberty, 1998), h. 34[2] H. Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Jakarta, Refika Aditama, 2007), h. 75*Tulisan ini dimuat dalam 2 edisi di Harian Metro Bali
PELANGGARAN HAM DAN GRATIFIKASI DI POLDA JATENG
Diawali proses penggantian yang tidak pantas serta tidak transparan atas klaim asuransi kendaraan
milik kami yang hilang maka kami mengajukan tuntutan perdata (No:13/Pdt.G/2006/PN.Ska) di PN
Surakarta . Ternyata dalam Putusan PN. Surakarta tersebut (hal. 13 Point 40) terungkap adanya
penggelapan klaim asuransi sebesar Rp.5.400.000,00 (Lima juta empat ratus ribu rupiah) yang
dilakukan oleh Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana). Akhirnya dugaan penggelapan ini kami
laporkan di Poltabes Surakarta (No.Pol: B/LP/1106/IX/2005). Dari hasil penyelidikan yang
ditangani oleh Sdr. Bripka (?) Heri Purwanto, terungkap bahwa uang sebesar Rp.5.400.000,00
tersebut telah digunakan oleh PT. Tunas Financindo Sarana untuk mengurus Surat Kemajuan
Penanganan Kasus Pencurian KBM truck Nopol. H-1609-JA di Polda Jateng (Surat No.
B/3306/IX/2005/Reskrim). Dan kepada kami secara pribadi, Penyidik tersebut (Sdr. Heri Purwanto)
mengakui keterbatasan kapasitasnya untuk melakukan penyidikan, mengingat ‘hirarki’ serta
kompetensinya. Akhirnya Laporan/Pengaduan kami berhenti hingga saat ini (akhir tahun 2008 ini).
Yang menjadi pertanyaan kami adalah benarkah untuk mengeluarkan sebuah Surat Kemajuan Penanganan
Kasus Pencurian KBM, dibutuhkan biaya sebesar Rp.5.400.00,00…….????
Apabila benar, maka jelas bahwa hal ini dapat dikategorikan sebagai gratifikasi.
Namun kemana kami harus melaporkan gratifikasi yang sangat merugikan kami ini, mengingat instansi
yang berwenang menangani hal ini (KPK) tidak mempunyai unit kerja di Propinsi Jawa Tengah.
Oh ya, sebenarnya kasus ini telah kami laporkan di Bina Propam Polda Jateng dengan tembusan ke
Divisi Propam Mabes Polri dan Kompolnas. Namun tetap saja nihil hasilnya.
Beginikah Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia ?? Adakah pihak yang mau membantu kami ??
Dan apabila Anda adalah pembaca yang concern terhadap masalah Hak Asasi Manusia dan Gratifikasi/
Korupsi di Indonesia, maka dengan ini kami :
Nama : David Pangemanan
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (NIP. 110 051 868)
Alamat : Yogyakarta
Memberikan Surat Kuasa Khusus untuk melakukan tindakan duplikasi/penggandaan, terjemahan,
publikasi atas tulisan tersebut di atas, serta melaporkan Tindak Pelanggaran HAM serta Tindak
Pidana Gratifikasi yang merugikan Pemberi Kuasa, kepada Badan-Badan Hukum, baik Nasional maupun
Internasional.
Atas bantuan serta kerjasamanya, diucapkan terima kasih.
Yogyakarta, 12 Januari 2009
Hormat kami,
David Pangemanan (HP.0274-9345675 / 0812 2718 5444)
david.pangemanan@yahoo.com
INDONESIAN’S NIGHTMARE
(Mimpi Buruk Rakyat Indonesia)
Saya membeli kendaraan (truk) dengan cara kredit melalui PT. Tunas Financindo Sarana. Menjelang angsuran ke 15 (dari 36 kali), truk hilang. Dan mulailah mimpi buruk ini. Kolaborasi perusahaan finance dan asuransi, hanya memberikan penggantian sekedarnya dengan jumlah yang mereka tentukan sendiri. Lebih celaka lagi, perusahaan asuransi (PT. Asuransi Wahana Tata) memberi penggantian dengan menggunakan 2 (dua) kuitansi. Satu untuk bukti kepada debitur, lainnya untuk memfasilitasi suap (gratifikasi) bagi pengeluaran surat No.B/3306/IX/2005/Reskrim di Polda Jawa Tengah.
Dan setelah penggantian asuransi dipotong sisa angsuran (pokok hutang dan bunga yang belum jatuh tempo), uang saya dikembalikan lk. Rp. 3,4 jt; tidak lebih besar dari jumlah cicilan sebulan, bahkan jauh lebih kecil dari premi asuransi yang telah dibayarkan. Hal ini telah diadukan di Poltabes Surakarta, namun PT. TUNAS FINANCDINDO SARANA sangat lihai berkelit dan berlindung di bawah Putusan PERDATA No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska. Hebatnya lagi, Satreskrim Poltabes Surakarta ternyata tidak mampu memisahkan mana masalah Perdata dan mana masalah Pidana (Suap dan Penggelapan); apalagi jika menyinggung masalah Fidusia, Perlindungan Konsumen serta HAM. Saya yakin SDM Poltabes Surakarta ‘tidak mampu’ menangani itu.
Pengaduan tentang Penggelapan dan Suap saja, Poltabes Surakarta sudah menyerah. Dan pemerintah (baca: Polri) tentunya sudah punya jawaban sakti “Oknum”; dan selesai sudah masalah Penegakan Hukum dan HAM di negeri ini.
Celakanya di negeri ini, sebagian besar Media Massa maupun LSM Anti Korupsi yang mestinya berfungsi sebagai kontrol sosial terhadap instansi penegak hukum, ternyata lebih memilih ber SDM ria (Selamatkan Dompet Masing-masing), jauh dari obyektifitas kenyataan hukum yang berlangsung saat ini.
Mimpi buruk Rakyat Indonesia terulang lagi. Jika dahulu negeri ini dijajah perusahaan dari negeri Eropah, kini bangsa ini dijajah oleh perusahaan perusahaan……..
Haruskah kita menunggu 350 tahun lagi untuk berubah…..???
David P.
NIP. 110 051 868
(0274)9345675
Salah satu jalan mencegah peradilan sesat, memastikan tersangka, terdakwa, semua warga negara, mendapat akses advokat. Disinilah, perlu jaminan setiap orang untuk mendapat akses bantuan hukum. Mari sama-sama bekerja untuk sebuah jaminan hak atas bantuan hukum sebagai hak asasi manusia dalam konstitusi dan undang-undang.
Salam
pTr
==================================
dear Ketua Patra
makin lengkap kayaknya Blog ini dengan adanya komentar Ketua Patra.
salam
Gendo
Instrumen HAM dan penegakannya adalah salah satu pilihan taktis dan konstitusional untuk dipakai dalam mendorong perubahan yang lebih baik. Idealnya setiap produk hukum dan implementasinya harus sedapat mungkin berjalan seiring dengan prinsip-prinsip HAM.
Problem bangsa ini tidak hanya mengenai masalah sistem hukum, yaitu substansi hukum yang tidak berpihak, struktur atau institusi hukum yang korup dan bobrok, dan budaya hukum yang tidak tumbuh dari kesadaran sosial masyarakat indonesia yang plural.
Bahwa hukum sebagai produk politik menyebabkan konsekuensi hukum dipandang sebagai dependent variabel (variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakkan sebagai independent variabel (variabel berpengaruh). Hal ini mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa pada kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Secara teoritis berlaku “konfigurasi politik yang demokratik nasionalis akan melahirkan produk hukum yang berpihak kepada rakyat, namun konfigurasi politik yang liberal akan melahirkan produk hukum yang mengabdi kepada kepentingan modal”. Faktanya sistem hukum di Indonesia saat ini belum berpihak kepada rakyat dan lebih berpihak kepada kekuatan Imperialisme dan kekuatan sisa-sisa feodalisme.
Perubahan hukum/perbaikan institusi peradilan (polisi, jaksa, hakim) kearah yang lebih baik tidak akan mungkin terjadi jika penguasa hari ini masih menggunakan konfigurasi politik yang liberal.
Untuk itu, kawan-kawan pekerja hukum (serta kaum profesional lainnya yang progresif) harus terus berjuang bersama dalam suatu front rakyat dibawah kepemimpinan kelas buruh dan tani Indonesia,untuk melakukan perubahan politik yang lebih baik.
mau bilang apa lagi kenyataannya seperti inilah wajah hukum indonesia yang sesungguhnya. demi mendongkrak popularitas para aparat negeri ini selalu mengorbankan masyarakatnya sendiri. entah sengaja atau tidak namun ini merupakan suatu pukulan bagi bangsa ini. klu begini terus bangsa ini gak akan pernah berevolusi ke arah yang lebih baik. demokrasi kita sepertinya memang hanya 1/2 hati atau mungkin sudah mati sama sekali.
jika kita kritik ibu prtiwi ini dengan hukumnya yang terombang-ambing, maka tidak ada habisnya. Perlu pemikiran matang dan kerjasama yang kuat antara pemerintah dan rakyat, harus saling mendukung. bagaimana tidak seperti kapal pecah, pejabatnya saja banyak yang korupsi….