PEMILU 2009 DAN KEDAULATAN RAKYAT*
I Wayan “Gendo” Suardana, S.H. **
Sekapur Sirih
Bila memperhatikan catatan Ilmuwan politik Samuel P. Huntington bahwa, era transisi mestinya berakhir setelah ada dua kali pemilu berkala yang demokratis, dimana pemilu-pemilu tersebut mengantarkan suatu rezim demokratis, yang bekerja atas dasar konstitusi yang demokratis pula. (Samuel P. Hutington, 1991). Maka tidak dapat dipungkiri bahwa pemilu 2009 sesungguhnya mempunyai arti yang penting pasca jatuhnya rezim Orde Baru yang diikuti dengan Pemilu 1999 dan pemilu 2004.
Apabila merujuk pada catatan tersebut, maka sepatutnya pada tahun 2009 -ditandai dengan pelaksanaan Pemilu 2009- Indonesia sudah mulai mengakhiri masa trasisi demokrasi dan masuk ke era konsolidasi demokrasi, pada 2009 ini?
Perhelatan Pemilu 2009 dapat dikatakan telah selesai. Sebagian besar agendanya telah terlaksana dan hanya tinggal menyisakan pelantikan legislatif dan Presiden/Wakil Presiden saja akhir tahun ini. Namun posisi penting pemilu 2009 ini -sebagai penanda masuknya Indonesia ke tahap era konsolidasi demokrasi- diragukan oleh banyak pihak karena dinilai menyisakan banyak permasalahan.
Dalam catatan dari Ray Rangkuti, inisiator Forum Penyelamat Demokrasi terdapat 9 catatan kritis atas penyelenggaraan pertama, KPU diragukan kompetensi, kenetralan dan tanggung jawabnya yang mendorong adanya kecurangan dan penghilangan hak pilih. Kedua, DPT tidak pernah dinyatakan dan ditetapkan KPU secara pasti. “Ketiga, pelanggaran otoritas pemerintah ditemukan dalam bentuk mobilisasi sumber daya serta penggiringan pemilih pada calon tertentu. Keempat, timses memanipulasi sumber dan jumlah pendanaan serta melanggar aturan kampanye,” katanya. Catatan kelima, sambungnya, lembaga yudisial cenderung mengabaikan pengaduan dari lembaga pengawasan. Keenam, media massa cenderung tidak memberi akses setara bagi setiap kontestan. “Ketujuh, lembaga riset dan penyiaran mengabaikan rasionalitas dan kemaslahatan publik dengan dengan melanggar kaidah ilmiah atau etika penyiaran hasil survei dan hitung cepat. Kedelapan, keterlibatan lembaga asing pada sektor strategis yang berpotensi memanipulasi hasil pemilu. Dan kesembilan, kepala pemerintahan tidak menunjukkan tanggung jawab yang optimal dalam mengupayakan pemilu yang bermutu, jujur dan adil.
Pendapat diatas hanya sebagian dari berbagai pendapat yang menempatkan pemilu 2009 dalam penilaian negatif. Bahkan persoalan-persoalan dalam pemilu berekses kepada terlanggarnya hak-hak konstitusional Warga negara termasuk didalamnya adalah terlanggarnya HAM mereka.
Untuk mempermudah dalam dalam melakukan evaluasi maka penulis akan lebih memfokuskan analisa pada persoalan pemenuhan HAM warga negara dalam pemilu 2009 dengan pivot Daftar Pemilihan Tetap (DPT) dari begitu banyaknya permasalahan yang mendera Pemilu 2009.
Hak memilih sebagai hak konstitusi dan hak asasi manusia
Hak untuk memilih adalah hak dasar yang dimiliki setiap individu/warga negara sehingga pemenuhannya harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) dituangkan dalam pasal 28I ayat 1 dan pasal 28G ayat 2 UUD 1945 maupun dalam berbagai instrumen hukum nasional: UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
Secara singkat dapat diyatakan, bahwa hak ini menjamin secara bebas bagi setiap warga negara untuk turut serta dalam menentukan pemerintahannya dengan memilih wakil-wakilnya baik di legislatif maupun di eksekutif. Dalam hal ini, negara diwajibkan untuk dalam melaksanakan tanggungnyajawabnya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak setiap individu. Jaminan ini adalah dengan menerbitkan peraturan-perundang-undangan yang dapat melindungi hak tersebut, termasuk pula dengan melakukan upaya-upaya bagi terjaminnya hak untuk memilih dari warga negara. Tidak terkecuali, warga negara yang mengambil pilihan untuk tidak berpartisipasi -lebih populer disebut Golput-..
Hal tersebut sesuai dengan prinsip tanggungjawab negara dalam HAM yaitu berkewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak asasi manusia setiap individu. Pengingkaran yang dilakukan oleh Negara secara sengaja maupun melalui pembiaran maka dapat dinyatakan negara telah melakukan pelangaran HAM. Terlebih dilakukan secara masif dan/atau melalui upaya sistematis, maka hal tersebut dapat disamakan dengan pelanggaran berat Negara atas hak asasi manusia di bidang sipol.
Permasalahan yang sangat menonjol terkait dengan jaminan atas hak memilih dari setiap warga negara dalam pemilu 2009 adalah terkait dengan permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sebagaimana data yang yang disampaikan oleh Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), pelanggaran itu terjadi hampir disemua provinsi, kabupaten dan kota. Data serupa juga disampaikan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang melansir 40 persen persoalan Pemilu 2009 berkisar pada masalah DPT.
Dari data yang dilansir dari berbagai sumber, jumlah orang yang kehilangan hak pilihnya berkisar 34.253.088 hingga 68.506.176 pemilih atau sekitar 20-40 persen dari jumlah pemilih terdaftar. Atau sebagaimana yang diakui oleh KPU, bahwa sekitar 10 juta warga negara yang mempunyai hak pilih kehilangan haknya untuk memilih. Walapun Makkamah Kostitusi mencoba menanggulangi keadaan tersebut dengan mengeluarkan putusan untuk memperbolehkan penggunaan kartu identitas (KTP, SIM, Paspor) untuk memilih, namun tetap saja tidak mampu memberikan jaminan sepenuhnya bagi terpulihkannya secara maksimal hak-hak warga negara untuk menggunakan hak memilihnya.
Masifnya pemilih yang gagal melaksanakan haknya dalam pemilu karena tidak terdaftar dalam DPT menjelaskan bahwa negara telah gagal dalam menjamin hak memilih dari warga negara. Keadaan ini bukan saja mereduksi legitimasi hasil pemilu, namun lebih dari itu kasus ini jelas merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan sekaligus pengebirian hak konstitusi dari warga negara untuk turut serta dalam menentukan pemerintahan.
Beberapa Faktor Kisruh DPT
Manajemen Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 dinilai terburuk di Indonesia selama ini. Kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai sangat tidak maksimal dan tidak profesional. Seperti dikatakan Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow. Kinerja yang buruk ini berakibat pada data pemilih yang amburadul, penyediaan logistic yang kacau, dan pelaksanaan pemungutan suara yang tidak professional (JP, 11/4/2009).
Secara teoretis-normatif, pemilu adalah momen penting untuk menjaring para wakil rakyat dan presiden serta wakilnya yang memperoleh mandat dan kepercayaan rakyat karena pertimbangan integritas dan kompetensinya. (Komaruddin Hidayat, 2006). Dalam hal ini, rakyatlah yang memiliki hajat tersebut. Mereka memiliki hak memilih siapa wakil mereka dalam kursi pemerintahan nanti. Untuk itu diperlukan satu proses pemilu yang free dan fair. Sehingga dibutuhkan administrasi Pemilu sebagai contoh misalnya tentang penetapan pemilih dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap), penyediaan dan distribusi logistik, pelatihan petugas pemilu tentang aturan dan penggunaan berbagai formulir, juga fase pemungutan dan penghitungan suara
Kisruh DPT menjadi gambaran betapa buruknya administrasi pemilu 2009. Kritik tajam dialamatkan kepada proses penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT).
- Data pemilih Pemilu 2009 menggunakan data dari SIAK (Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan), diolah menjadi DP4 (Daftar Potensial Pemilih Pemilu) dan diserahkan KPU. DP4 tidak dibuat dengan basis pencacahan door-to-door, (sebagaimana yang pernah dilakukan dalam Pemilu 2004, disebut P4B), sehingga ini lah yang membuat DPT terlihat tidak akurat. Padahal ide data Pemilu 2004 adalah data pemilih berkelanjutan
- DP4 dibuat oleh Depadagri dan diserahkan ke KPU untuk pemutahran sementara disis lain KPU mengalami kesulitan untuk pengecekan data pemilih karena Biro Data dan Informasi KPU 2004 telah dihapus dari struktur organisasi KPU 2009.
- Data yang diserahkan oleh Depdagri ke KPU file data nya berbentuk excel. Kesulitannya adalah ketika KPU mencoba menyusun database dengan cara menggabungkan kembali semua data pemilih tiap kecamatan di Indonesia dalam file excel, fasilitas file excel tidak mampu menampung data pemilih yang sekitar 154.741.787 jiwa dengan 5 variabel (nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin dan alamat) karena file excel hanya memuat 64.000 baris.
- DP4 yang diserahkan oleh Depdagri memiliki kualitas sangat buruk, mulai dari terdaftarnya anak dibawah umur yang belum menikah, terdaftarnya orang yang sudah meninggal dunia, terdaftarnya anggota TNI/Polri aktif, terdaftarnya pemilih ganda sampai pemilih yang berhak tetapi justru tidak terdaftar. Kejadian ini pernah terjadi di Bali yaitu di Kabupaten Bangli dimana anak dibawah umur belum menikah diberikan menggunakan hak pilih.
- Dalam hal melakukan pemutakhiran data adalah KPU kabupaten/kota dibantu Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Disinilah letak ketidak efesienannya dan parahnya berakibat pada sumirnya penanggungjawab bilamana ada kesalahan data. Terbukti KPU dan Mendagri saling tuding dalam hal tersebut. Sementara dalam UU ditentukan bahwa dalam pengaturan pengawasan dan penyelesaian perselisihan dalam pemutakhiran data dan penetapan daftar pemilih, Depdagri tidak dimasukkan sebagai pihak yang mungkin terlibat dalam perselisihan. Padahal, sumber kerusuhan DPT adalah data DP4 yang diserahkan Depdagri. (Reni Suwarso dan Didik Prasetiyono, 2009)
Buruknya pelaksanaan Pemilu 2009 bahkan menyebabkan banyak pihak mencurigai bahwa telah terjadi upaya secara sistematis untuk memenangkan pihak yang berkuasa. Pemilu 2009 dapat disebut sebagai “Liberal Machiavellian Election” (Huntington and Moore 1970) karena penguasa melakukan intervensi administrasi pemilu dengan melakukan pengkondisian kontitusi, penguasaan dan pengendalian lembaga penyelenggara pemilu, subversi peraturan dan aturan pemilu, manipulasi proses pemilu, ketidakakuratan pendaftaran pemilih dan penyelenggaraan pemilu.
Secara jelas, pihak yang bertanggungjawab adalah negara dalam hal ini adalah aparatur negara yaitu Presiden Republik IndonesiaJ dan KPU. Disamping itu patut juga dituntut pertanggungjawaban Depdagri terkait dengan data pemilih tetap.
Kesimpulan dan Saran
Carut marutnya persoalan Pemilu 2009 terkhusus masalah DPT menimbulkan banyak rentetan persoalan lain. Selain menentukan kualitas pemilu sekaligus kualitas demokrasi suatu negara, permasalahan ini juga berujung kepada hilangnya hak memilih dari warga negara yang dijamin oleh UUD’45 yang secara jelas adalah hak asasi dan hak konstitusi dan jika ditarik lebih jauh hilangnya hak untuk memilih adalah pengebirian atas kedaulatan rakyat sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 UUD’45
Semoga buruknya penyelegaraan Pemilu tidak terjadi lagi dikemudian hari, terlebih dalam beberapa waktu ke depan KPU Daerah akan menjadi punggawa dari beberapa proses pilkada. Semoga hal ini bisa menjadi refleksi besar untuk mewujudkan proses pemilihan dalam rangka pembentukan pemerintahan yang free dan fair, tentu dengan menjauhkan bentuk Pilkada “Liberal Machiavellian Election” sebagaimana yang dimaksud oleh Huntington and Moore sehingga Kedaulatan Rakyat dapat tetap terjaga sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negri ini.
Atas keadaan tersebut KPU harus segera melakukan pembenahan secara maksimal terutama dalam managemen penyeenggaraan pemilu. Tindakan ini termasuk pula melakukan peningkatan kapasitas terhadap KPUD/Kabupaten terlebih dalam waktu dekat mereka akan melaksanakan pemilihan kepala daerah/Pilkadal.
Denpasar, Sabtu Agustus 2009
*Makalah ini disampaikan pada acara Sosialisasi dan Evaluasi Pemilu 2009 oleh Komisi Pemilihan Umum Propinsi Bali, pada 31 Agustus 2009, bertempat di Hotel Inna Sindhu Beach Denpasar Bali
**Pemakalah adalah: Majelis Anggota Wilayah Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Bali dan saat ini juga sebagai Presidium Nasional Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP) Indonesia