MARI MELAWAN TERORISME SECARA UTUH (Tanggapan atas artikel I Made Mustika)

gendovara

MARI MELAWAN TERORISME SECARA UTUH

(Tanggapan atas artikel I Made Mustika)

I Wayan “Gendo” Suardana, SH

Menarik mencermati artikel I Made Mustika yang berjudul “Setelah Noordin Tewas, Siapa menyusul” di harian Bali Express (19/09/2009). Secara garis besar tidak ada perbedaan pendapat saya dengan Saudara Made Mustika, namun ada beberapa pernyataan dalam artikel ini yang membuat saya cukup tergelitik untuk menanggapi. Terutama yang terkait dengan sub tema “kembali ke Pancasila”, dimana dalam pendapat saudara Made Mustika untuk mengajarkan kembali ke Pancasila dalam melawan terorisme terdapat kalimat yang cukup membuat saya merasa tertarik untuk memberikan tulisan tanggapan. “…Usulan ini bukan dimaksudkan untuk set back atau langkah mundur. Atau seolah-olah meniru Orde Baru. Jikapun dikatakan sebagai set back, sepanjang dapat meniadakan kemunculan teroris, maka saya anggap itu lebih baik (garis tebal dari penulis). Daripada malu mengajarkan Pancasila tapi muncul gerakan terorisme. Pilih mana?”

Pendapat tersebut saya garisbawahi dalam tulisan ini, karena menimbulkan interprestasi lain dipikiran saya. Pada dasarnya saya sepakat dengan sosialisasi Pancasila sebagai salah satu cara dalam menangkal terorisme di masyarakat. Namun frase diatas seolah-olah mengamini metode Orde Baru dalam pengajaran Pancasila asal meniadakan kemunculan terorisme (padahal dibeberapa paragraf yang lain, Saudara Made Mustika menyadari bahwa pola Orde Baru tersebut keliru). Pernyataan ini justru sangat substasial bagi saya untuk diberikan tanggapan, karena secara tersirat ada kekeliruan dalam memandang pelaku teror.

Mengenai definisi terorisme, sampai saat ini belum ada kesepakatan yang kuat mengenai hal tersebut. Bahkan PBB pun belum berhasil membuat definisi tentang terorisme. Namun secara umum istilah terorisme mencakup terorisme negara (state terrorism) dan terorisme non negara (nonstate terrorism). Namun seiring dengan maraknya kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh kelompok non negara  di Indonesia, terorisme non negara menjadi lebih populer. Keadaan ini pada akhirnya mereduksi makna terorisme hanya sebatas terorisme non negara dan cenderung mengabaikan terorisme negara.

Ditengah carut marutnya definisi terorisme ditambah maraknya praktek terorisme dengan  pengeboman secara beruntun di Indonesia pada akhirnya mereduksi makna terorisme itu sendiri. Tidak aneh saat masyarakat mulai menuntut kepada pemerintah untuk melakukan segala tindakan efektif bagi pemberantasan terorisme. Termasuk bila pemberantasan tersebut bertentangan dengan kebebasan sipil. Patut  disayangkan kemarahan atas aksi-aksi teror yang dilakukan selama ini oleh kelompok teroris non negara  -Noordin M Top Cs- menyebabkan masyarakat melupakan bahwa tindak pemberantasan termasuk upaya pencegahan terorisme tidak boleh dilakukan dengan melanggar HAM.  Padahal dalam pemberantasan terorisme yang dilakukan oleh pemerintah terhadap  actor non negara,  tetap berkewajiban menghargai kebebasan sipil. Apabila kekuatan negara/pemerintah tidak dikontrol, bisa saja selanjutnya negara akan berubah menjadi pelaku teror itu sendiri. Mengingat pelaku teror tidak hanya dapat dilakukan oleh aKtor non negara tepapi dapat dilakukan juga oleh negara.

Kalaupun kita sepakat bahwa persoalan pemberantasan terorisme tidak hanya sebatas “pertempuran fisik” tapi lebih kepada pertarungan ideologi. Maka ruang pertempuran ideologi ini bukanlah pilihan yang harus “membunuh” kebebasan warga negara untuk menentukan cara mereka menjadi seorang Pancasilais. Pilihan setback, dalam interprestasi saya justru memberikan ruang yang cukup besar bagi bnegara untuk kembali mengangakangi kebebasan sipil atas nama Pancasila. Padahal bila refleksi kembali pada rezim Orde Baru, justru atas nama Pancasila, jutaan rakyat Indonesia dibantai, jutaan hektar  tanah rakyat dirampas, dan perbedaan menjadi tabu.

Pada saat itu Pancasila justru menjadi “teror” bagi warga negaranya, karena setiap saat keluar tuduhan anti Pancasila dari pejabat Orde baru kepada setiap tindakan masyarakat yang bertentangan dengan kebijakan Orde Baru. Bila pengertian set back dipahami seperti itu untuk memberantas terorisme, makan terorisme tidak hilang. Mungkin saja terorisme ala Noordin M top cs dapat diberantas, tapi akan segera digantikan oleh terorisme negara, dimana negara dengan aparaturnya akan menjadi pelaku utama sebagaimana yang dipraktekan oleh rezim Orde baru.

Kekhawatiran atas sikap berlebihan negara dalam rangka penanganan terorisme cukup beralasan. Ditengah prustasi publik atas aksi-aksi teror yang selama ini mendera kehidupan masyarakat, maka keamanan menjadi lebih penting dari kebebasan. Bukan tidak mungkin hal tersebut terjadi, mengingat Konsolidasi demokrasi di Indonesia belum terwujud karena transisi demokrasi di Indonesia masih jalan ditempat. Padahal keseimbangan antara keamanan dan kebebasan harus diwujudkan untuk menangani terorisme baik dari non negara maupun dari negara. Terlebih sampai saat ini reformasi sektor keamanan di Indonesia belum mencapai titik yang ideal.

Pengajaran Pancasila mesti dilakukan sebagai salah satu upaya melawan penyebaran ideologi terorisme yang selama ini telah disebarluaskan oleh kelompok-kelompok teroris non negara semacam Noordin M. Tpo cs. Tetapi menjadi catatan tebal, bahwa pola pengajarannya tidak serta merta menjadi dominasi negara -baik materi, metode-. Memberikan kekuasaan yang dominan kepada negara dan mengabaikan kebebasan sipil sama saja dengan membuka peluang negara menjadi pelaku teror dan apabila ini terjadi maka Pancasila akan kembali menjadi tameng dari perilaku teror negara terhadap sipil sebagaimana Orde baru dan selanjutnya akan menimbulkan kekerasan baru sebagai bentuk perlawanan dominasi negara.

Denpasar, 19 September 2009

*Tulisan ini dimuat pada Harian Bali Express pada Rabu, 23 September 2009

**Penulis adalah: Majelis Anggota -Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Bali, saat ini juga menjabat sebagai Presidium Nasional- Serikat Pekerja HUkum Progresif (SPHP)

Total
0
Shares
1 comment
  1. PANCASILA nyaris terlupakan… Saya brani taruhan, sebagian besar dari kita sudah ga’mampu lagi melafalkan, menjabarkan apalagi menerapkan nilai-nilainya dalam keseharian…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

PEMILU 2009 DAN KEDAULATAN RAKYAT*

Next Post

PILKADA; MENYONGSONG DEMOKRASI SUBSTANSI

Related Posts