Malaikat: “KUgendong Mbah Surip ke sisiNYA”
I Wayan “Gendo” Suardana
Suara riuh dari sebuah lapangan bola volley di tengah-tengah desa di Kuta Utara membuat konsentrasi saya buyar saat mengikuti sebuah pelatihan. Kebetulan tempat tersebut dekat dengan Lapangan Volley dimana disana digelar kejuaraan antar kampung. Apalagi pertandingannya digelar malam hari diiringi komentator amatiran yang mengiringi setiap aksi dari pemain volley melalui sebuah toa yang cukup membuat telinga seolah bengkak.
Namun di setiap jeda set dari sebuah pertandingan, pasti kepala saya bergoyang-goyang dan sambil senyum;
……Tak Gendong kemana-mana
Tak gendong kemana-mana
enak dong, mantep donk
daripada kamu naik pesawat kedinginan…
mendingan tak gendong toh..
enak to, mantep to..
ayo mau kemana…
yach, lirik lagu bergenre reagge ini membuat saya seketika enjoy. Tak terbayang hampir seluruh peserta pelatihan selalu bergoyang saat lagu ini diputar, padahal hanya didengar melalui sebuah Toa -soundsystem yang sebenarnya tidak cukup menghantar lagu untuk diperdengarkan secara nyaman-.
Awalnya memang saya tidak tertarik dengan lagu ini. Padahal sebelumnya saya beberapa kali saya sudah mendengarnya. Tapi waktu itu saya sama sekali tidak tertarik dan cenderung “mencemooh” lagu ini. Lirik lagu yang sederhana, suara serak yang keluar dari mulut seorang yang sudah uzur turut mempengaruhi cara pandang saya akan keunikan lagu ini. Saking tidak tertariknya, saya tidak ingat siapa yang menyanyikan, kecuali seorang kakek dengan dandanan ala Rastafara.
Hingga pada saat momentum pelatihan, justru saya baru bisa enjoy dan mulut saya komat kamit menirukan lagu itu. Sangat gampang, menirukan liriknya saking sederhannanya tapi begitu menghanyutkan. Dan keadaan ini sungguh kontradiktif. Saya justru menikmati lagu tersebut saat diperdengarkan dari sebuah Toa. Hmmm mungkin bukan masalah soundsystemnya tapi mungkin karena jiwa saya baru terusik tatkala melihat orang-orang begitu sumringah mendendangkan lagu ini. Saat itulah saya baru bisa mengenali bahwa lagu ini begitu asik, unik, justru karena kesederhanaannya dan dibawakan juga oleh kakek yang terkesan eksentrik tetapi tetap dengan balutan kesederhanaan.
Saat kepala saya bergoyang sambil tersenyum melihat tingkah polah temen-temen yang bergoyang mengikuti lagu tersebut, ups! saya baru tersadar, bahwa saya tidak tahu nama penyanyinya. Yach nama si kakek yang sempat membuat saya menyangka dia adalah orang gila dan bahkan sempat terpikir menuduh sang produser adalah orang yang tidak mengerti musik karena mau merekam dan menampilkan lagu yang tidak bermutu.
Seketika itu pula saya bergegas bertanya kepada seorang kawan. Begitu saya menanyakan nama penyanyinya, kawan saya tertawa terbahak-bahak sambil mengejek,:”jadi kamu selama ini kamu goyang-goyang kepala ngapain?”, begitulah dia berkata sembari memberitahu saya bahwa penyanyi itu bernama Mbah Surip.
Sejak saat itu saya nulai tertarik dengan Mbah Surip sehingga saya searching sosok Mbah Surip di internet. Mmmm sosok yang demikian misterius, semakin membuat saya sering mengikuti beritanya. Sampai kemudian seorang teman yang mengirimkan SMS dan memberitahukan sosok itu meninggal dunia. Saya kaget, rasanya belum puas saya menyusuri kehidupannya ternyata dia telah pergi. Seperti tersentak, saya terbawa oleh sebuah ingatan entah beberapa lama waktu ke belakang. Sepertinya saya beberapakali menjumpai sosok tua berambut gimbal di Wapres (warung Apresiasi) Bulungan, mmm mungkinkah itu Mbah Surip?
Ah, saya tidak mau terhanyut lebih lama.
Mbah, kemarin banyak artis yang telah kamu gendong, banyak orang yang kamu mau gendong dengan lagumu, tetapi saat ini ditengah semua orang berharap kamu gendong dengan nyanyianmu ternytaa mereka sudah harus mengendong jasadmu.
Selamat Jalan Mbah Surip.
Semoga malaikat menggendongmu samapai disisiNYA.
Diatas bumi, 5 Agutus 2009
selamat jalan Mbah Surip, kau memberikan kami sebuah inspirasi bagaimana hidup sederhana dan apa adanya… we love u full… 🙂
Selamat jalan Bang Surip, tidur bangun dan tidurrrrrrrrrrrrrr, kurangi tidur dan banyak minumm kopi. Jangan sampai tinggal di Balik Papan alias peti mati.