KEMBALINYA REZIM IJIN: Demokrasi di Ujung Tanduk
Jakarta (16/6). Dalam kurun beberapa tahun belakangan, tercatat berbagai gerakan penyampaian pendapat dari warga Negara mengalami tekanan, baik bersifat pembubaran, pelarangan bahkan kriminalisasi dengan menggunakan hukum pidana. Pemidanaan tersebut memanfaatkan berbagai pasal-pasal haatzaai artikelen dan lese majesty serta pasal-pasal “karet” lainnya yang masih berlaku dalam hukum positif Indonesia. Tindakan-tindakan tersebut secara massif dilakukan dalam upaya membungkam kritik yang dilakukan oleh warga negara.
“Kebebasan menyampaikan pikiran dan pendapat di muka umum, sebagaimana yang dilindungi oleh konstitusi UUD 1945, semakin sering dibungkam oleh aparat, khususnya kepolisian, dengan kembali diberlakukannya rezim perijinan”, ujar I Wayan “Gendo” Suardana, Koordinator Gerakan Anti Pembungkaman Demokrasi.
Berdasarkan data WALHI, sejak tahun 2004 hingga 2009 setidaknya terdapat 19 kasus pelanggaran hak atas kebebasan bereskpresi dan menimbulkan puluhan korban baik aktivis demokrasi, pejuang lingkungan, Pembela hak asasi manusia, aktivis mahasiswa dikriminalisasi; ditangkap, diadili bahkan dipenjara.
Salah satu tindakan yang paling menonjol saat ini adalah mempolitisasi UU No. 9 tahun 1998 dari sebatas pemberitahuan menjadi rezim ijin. Pergeseran substansi ini dilakukan dengan memperalat Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) dijadikan alat bargaining oleh Kepolisian agar kelompok yang hendak menggunakan hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum mengikuti kemauan mereka. Pada tahap ini aparat kepolisian kerap tidak memberikan STTP kepada kelompok yang akan menggunakan haknya untuk berekspresi. Pengabaian kewajiban oleh kepolisian untuk mengeluarkan STTP sebagaimana yang diatur oleh Pasal 13 ayat (1) huruf a UU No. 9 tahun 1999 yang menyatakan: “Setelah menerima surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Polri wajib: a. segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan”.
Dalam berbagai kasus, Polisi seringkali mengarahkan kegiatan penyelenggaraan penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana yang diatur dan dijamin oleh UU No. 9 tahun 1998 menjadi kegiatan keramaian yang serta merta harus mengikuti tata cara perijinan pengadaan keramaian. Juklap Kapolri No. Pol: Juklap/2/XII/1995 secara efektif digunakan untuk menghalang-halangi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Terdapat berbagai peristiwa, misalnya: (1) Pembubaran acara Forum Keadilan untuk Kelautan dan Perikanan di Manado tahun 2009, (2) pembubaran Kongres Golput di Jogjakarta,tahun 2009, (3) Pembubaran acara diskusi “Pembangunan Pabrik Semen Sukolilo: membawa keuntungan bagi masyarakat lokal?” tahun 2009, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Padahal seharusnya sejak diberlakukannya UU No. 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, maka sepatutnya segala hal yang berkaitan dengan penyampaian pendapat dimuka umum termasuk seminar, kongres, dll hanya tunduk kepada UU tersebut. Secara mutatis mutandis Juklap Kapolri No. Pol: Juklap/2/XII/1995 sudah tidak berlaku dalam pengaturan penyampaian pendapat di muka umum. Penggunaan Juklap tersebut dalam upaya mengatur pelaksanaan penyampaian pendapat dimuka umum telah melampaui yuridiksinya sepatutnya menimbulkan pertanyaan dan evaluasi mendalam bagi aparat kepolisian yang secara massif menggunakan juklap tersebut pasca pemberlakukan UU No. 9 tahun 1998.
Karenanya, Gerakan Anti Pembungkaman Demokrasi meminta kepada Komisi III DPR RI untuk segera melakukan pemanggilan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk memberikan penjelasan terkait dengan implementasi UU No. 9 tahun 1999 dan Juklap Kapolri No. Pol: Juklap/2/XII/1995. Selain itu, Gerakan Anti Pembungkaman Demokrasi juga mendesak kepada DPR RI dan Pemerintah RI untuk memberikan jaminan atas kebebasan masyarakat sipil untuk menyampaikan pendapat di muka umum secara merdeka.
GERAKAN ANTI PEMBUNGKAMAN DEMOKRASI
WALHI, HRWG, IHCS, SPI, LBH Masyarakat, KONTRAS, Institute Hijau Indonesia, INFID, LBH Jakarta, FPPI, PBHI, IMPARSIAL, LBH Pers, Sawit Watch, KpSHK, PBHI Jakarta, Perkumpulan PRAXIS, JATAM, KIARA, KPA, SHI, Solidaritas Perempuan
Kontak Person: I Wayan “Gendo” Suardana – 08563700677