PROBLEMATIKA PRINSIP NON-DISKRIMINASI
DALAM NASKAH UU KESEHATAN
Oleh: I Wayan Gendo Suardana, S.H.*
Diakhir masa kerjanya, anggota DPR RI kembali menyentak kesadaran publik. Kali ini penyebabnya adalah pengesahkan Rancangan Undang-Undang Kesehatan menjadi Undeang-Undang pada Sidang Paripurna 14 September 2009 . Bukan hanya karena proses pembentukannya yang sangat tertutup juga karena RUU kesehatan yang disusun sangat diskriminatif dan cederung mengabaikan hak konstitusional dan HAM dari warga negara, bahkan pada saat pengesahannya pun dilakukan tanpan pandangan akhir dari fraksi-fraksi yang ada di DPR RI. Padahal dari sejak diajukan tahun 2000 sebagai bentuk revisi dari UU No 23 Tahun 2004, masyarakat mengharapkan RUU kesehatan ini menjadi salah satu produk kebijakan yang dapat memenuhi hak atas kesehatan setiap orang
Pengesahan RUU kesehatan masih banyak menyimpan permasalahan yang cukup mendasar dalam pemenuhan hak atas kesehatan warga negara. Terdapat beberapa pasal dalam naskah UU kesehatan ini yang bertolak belakang secara teori maupun norma HAM. Naskah UU Kesehatan ini cenderung menititkberatkan isu moral sebagai pedoman dalam pengaturan kesehatan. Alih-alih mendorong pemenuhan hak atas derajat kesehatan yang optimal bagi setiap warga negara, yang ada, negara/pemerintah malah terbebaskan dari kewajibannya untuk bertanggungjawab bagi penegakan HAM khususnya hak atas kesehatan.
Salah satu pasal yang diskriminatif terdapat pada Pasal 72 butir a. “Setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangannya yang sah.“ . Frase ini tentu bertentangan dengan prinsip dasar HAM yaitu prinsip non diskriminasi. Menempatkan perkawinan sebagai dasar dari penikmatan hak atas kesehatan menyebabkan hak atas kesehatan tidak lagi menjadi milik setiap manusia sebagai pemangku hak. Hak tersebut direduksi menjadi hak yang didasarkan pada perkawinan.
Parahnya, pada butir b sampai c dari pasal 72 naskah UU kesehatan ini menekankan norma agama sebagai pedoman dari penentuan pelaksanaan kesehatan reproduksi. Sehingga semangat pemenuhan hak atas kesehatan khususnya hak reproduksi dapat berpotensi diskriminatif. Padahal sebagai bagian dari hak asasi manusia, hak atas kesehatan adalah bersifat universal dan tidak bersifat diskriminatif. Hak asasi manusia mensyaratkan individu-individu agar memiliki akses yang diakui terhadap perawatan kesehatan, dan sebagai konsekuensinya, pemerintah wajib memberikannya Sebagaimana dinyatakan oleh Komite Hak Ekosob; hak atas kesehatan meliputi ‘freedoms‘ dan ‘entitlements‘ , ‘freedoms berarti rights to control one’s health and body’ serta ‘rights to be free from interference’ yang harus dilindungi oleh negara. Entitlements berarti pemberian persamaan kesempatan bagi setiap orang untuk menikmati derajat kesehatan yang optimal (Titon Slamet Kurnia, 2007, 49).
Prinsip non-diskrimisasi dalam pemenuhan hak atas kesehatan, termaktub dalam UUD’45 pasal 28 H yang menyatakan: ” setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Tidak satupun frase di dalam pasal ini yang dapat ditafsirkan sebagai pembatasan penikmatan hak berdasarkan status tertentu, termasuk status perkawinan. Secara singkat dapat disampaikan, bahwa dalam perspektif hak asasi manusia maupun konstitusi, hak kesehatan bersifat universal dan dan merupakan hak setiap individu tanpa dibatasi oleh status apapun. Sehingga pemberian persamaan kesempatan bagi setiap orang untuk menikmati derajat kesehatan yang optimal adalah keniscayaan
Terlebih bila hak atas kesehatan dihubungkan dengan hak asasi manusia lainnya. Hak atas kesehatan berkait erat dengan hak untuk hidup. Hak untuk hidup akan dapat dinikmati secara sempurna bila pemegang hak dalam keadaan sehat. Berhak untuk hidup berarti selaras dengan berhak atas kesehatan yang optimal. Dalam hak asasi manusia, hak untuk hidup adalah berkategori non derogable rights, dimana hak ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan pemenuhannya bersifat mutlak. Dengan demikian jikalau hak hak atas kesehatan dihubungkan dengan hak untuk hidup, makan bahwa pemenuhan hak atas kesehatan bersifat mutlak.
Pembatasan bagi pemenuhan hak atas kesehatan tidak dapat dibenarkan dilihat dari perspektif hak asasi manusia dan dalam persepktif hak kostitusional setiap warga negara. Mencermati berbagai argumentasi tersebut diatas, sudah sepatutnya hak kesehatan dikembalikan kepada pemenuhan hak bagi setiap individu tanpa perlu lagi membatasinya dengan berbagai status termasuk status perkawinan, status ekonomi, diffabel atau tidak.
Pasal 72 butir a dalam Naskah UU Kesehatan adalah bagian kecil dari sekian banyak rumusan pasal-pasal yang bersifat diskriminatif dan berpotensi melanggar hak asasi manusia serta hak konstitusi warga negara Indonesia. Sudah sepatutnya Naskah UU Kesehatan ini direvisi agar hak atas kesehatan dapat dinikmati secara penuh oleh pemegang hak, terlebih Indonesia telah meratifikasi berbagai hukum HAM internasional.
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Bali Express, Senin 12 Oktober 2009, h. 4 dengan judul; “Masalah Prinsip Dalam Naskah UU Kesehatan”.
Penulis adalah: Majelis Anggota-Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Bali dan Presidium Nasional-Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP)
Keren bang analisanya.
btw, apa kita bisa di bagikan softcopy UU kesehatannya, kalo ga ada RUU-nya juga boleh bang.
Jadi penasaran ma produk terbaru ini.
Thx.