GERHAN; GERAKAN PENYELAMATAN HUTAN?*
Oleh: I Wayan”Gendo”Suardana**
Berdasarkan yang data yang dimiliki oleh Departemen Kehutanan luas kawasan hutan Indonesia sekitar 120,35 juta hektare atau 63% dari luas daratan Indonesia. Luas hutan tersebut terdiri dari hutan konservasi 20,5 juta hektare, hutan lindung 33,52 juta hektare, hutan produksi terbatas 23,06 juta hektare, hutan produksi 35,2 juta hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 8,07 juta hektare. Namun dalam beberapa tahun terakhir, kondisi hutan tropis Indonesia mengalami deforestasi dengan tingkatan yang cukup memprihatinkan.
Kekhawatiran atas kondisi degradasi hutan di Indonesia kerap disampaikan oleh pemerintah terutama oleh Departemen Kehutanan. Derasnya laju deforestasi yang sangat besar yang diakibatkan oleh penebangan liar, kebakaran hutan perambahan dan lain-lain baik pada hutan tropis maupun sub tropis. Hal ini disamping memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, juga berdampak terhadap perekonomian, baik lokal maupun global. Yang lebih mengkhawatirkan adalah punahnya spesies-spesies tertentu baik flora maupun fauna dan secara nyata. kerusakan hutan telah mengakibatkan bencana bagi kehidupan bangsa Indonesia, baik dalam aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya dan moral bahkan dampak negatifnya telah melampaui batas negara.
Berdasarkan permasalahan itu, selanjutnya Departemen Kehutanan melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki kualitas hutan yang rusak dengan cara menanami lahan-lahan kristis, lahan terbuka dan kawasan hutan yang rusak agar dapat diperbaiki kualitasnya. Kegiatan rehabilitasi dan konservasi menjadi fokus dari upya pembangunan hutan di Indonesia. Salah satu program yang cukup massif dilakukan adalah Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan lebih dikenal dengan GERHAN.
Semenjak program tersebut mulai diintensifkan, berbagai klaim keberhasilan atas program tersebut terucap dari Departemen Kehutanan. Mulai dari keberhasilan penanaman 2 milyar bibit pohon sampai dengan pernyataan di media massa bahwa proyek Gerhan telah berhasil menyelamatkan jutaan hektar hutan kritis di Indonesia. Tak ragu M.S. Kaban (pada saat masih menjabat sebagai Menteri Kehutanan), membuat pernyataan bahwa Program Gerhan yang dilaksanakan sejak 2003 hingga sekarang menunai keberhasilan yang signifikan dengan adanya penurunan angka laju deforestasi. Termasuk pula klaim atas penghargaan Internasional berupa Certificate of Global Leadership dari United Nation Environment Programme (UNEP).
Demikian tulus esensi dari proyek Gerhan yang tercanang sebagai bagian dari upaya pemerintah khususnya Departemen Kehutanan untuk menyelamatkan hutan di Indoensia. Klaim keberhasilanpun begitu mulus keluar sebagai pernyataan, seolah-olah proyek Gerhan ini berhasil tanpa cela, tanpa ada kontradiksi antara gagasan dengan implementasinya.
Kontradiksi antara tujuan dan pelaksanaan Gerhan
Ditengah gegap gempita keberhasilan proyek Gerhan, muncul lamat-lamat berbagai kisah yang bertolak belakang dari klaim-klaim pemerintah. Sudah cukup lama, semenjak proyek Gerhan dilaksanakan menimbulkan kotroversi terutama pada tingkat implementasi di lapangan. Gagasan Gerhan seringkali membawa dampak yang kontras dengan gagasan awalnya. Pada prakteknya, Gerhan berujung hanya sebatas proyek untuk menangguk keuntungan sehinga berbalik menjadi praktik manipulasi anggaran, manipulasi data hutan dan luasan Gerhan. Dan yang paling parah, praktek Gerhan yang sejatinya bertujuan untuk penyelamatan dan penanaman lahan kritis, berubah menjadi praktek illegal logging. Malpraktek ini terjadi di beberapa daerah, salah satunya adalah di propinsi NTT tepatnya di kawasan Huta (Kio) Besipa’e, terletak Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timur Tengah Selatan provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam kurun waktu 2003- 2008 terjadi pembabatan secara masif terhadap hutan Besipa’e dengan mengatasnamakan proyek GERHAN.
Dari data yang dihimpun oleh WALHI pada saat advokasi kasus pembabatan hutan tersebut, proses pembabatan atas hutan Besipae sudah berlangsung dalam beberapa tahap waktu. Pembabatan skala luas terjadi dua kali, yakni pada tahun 2003 hutan di desa Mio dan pada tahun 2006 hutan di Desa Oe’ekan. Lalu, pada tahun 2008 pembabatan juga dilakukan terhadap hutan yang berada di desa Pollo dan Linamnutu. Anehnya, pembabatan tersebut didasari dengan dalih program Gerhan -sejatinya program itu adalah untuk menanami kemabali lahan-lahan kritis. Kenyataan di lapangan, bukan lahan kritis yang ditanami namun hutan yang masih lestari dibabat setelah itu baru ditanami dengan dengan bibit pohon yang sejenis.
Berdasarkan pantauan warga, pembabatan dilakukan secara terorganisir oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Timur Tengah Selatan NTT. Empat kelompok pembabat dibentuk untuk membabat hutan Besipa’e. Walhasil, pembabatan yang dilakukan secara membabi buta itu, terjadi pada akhir 2008 menggundulkan kawasan seluas 400 hektar, menghilangkan pohon Asem -tumbukan penunjang ekonomi warga. Sebelumnya, panenan asem memberikan penghasilan rata-rata 500 ribu rupiah per pohon per tahun. Satwa-satwa liar pun turun menghilang.
Dampak paling krusial adalah mengeringnya lahan pertanian warga seluas 50 ha, sehingga mereka tidak bisa lagi bertani. Sebelumnya, ketika hutan masih lestari — dijaga oleh warga dengan menggunakan hukum adat – air muncul ke permukaan tanah dan dapat mengairi lahan seluas 50 ha itu. Selain itu, sumber mata air yang menjadi kebutuhan krusial warga dapat terpilihara, sehingga relatif kebuthan air bersih warga desa dapat terpenuhi untuk kehidupan yang layak.
Tak ayal, akibat pembabatan terhadap hutan Besipa’e, kini warga tidak hanya kehilang lahan persawahan, namun juga telah kehilangan sumber mata air penopang kebutuhan air bersih warga desa. Saat ini sebagian sumber air mengering dan satu-satunya sumber mata air yang masih ada berjarak kurang lebih 3 kilometer dari desa.
Memburuknya kondisi lingkungan akibat pembabatan hutan, pada akhirnya menurunkan derajat kehidupan masyarakat, secara ekonomi, sosial termasuk hak atas lingkungan yang sehat. Bahkan keadaan ini mengancam hak yang paling fundamental, yaitu; hak untuk hidup. Hilangnya sumber-sumber penopang ekonomi yang bersumber dari kelestarian hutan Besipa’e secara otomatis menurunkan kemampuan ekonomi warga. Hilangnya pendapatan ekonomi dari panen pohon asem, hilangnya lahan pertanian seluas 50 ha adalah gambaran nyata dari melemahnya daya tahan ekonomi warga.
Dalam konteks lingkungan, hilangnya hutan yang rindang menyebabkan perubahan cuaca yang signifikan . Warga merasakan bahwa udara mulai terasa panas semenjak hutan dibabat. Dalam aspek sosial dan budaya, pembabatan hutan ini secara otomatis pula menggerus budaya masyarakat yang selama ini memiliki aturan adat atas hutan Besipa’e, terutama dalam penggunaan kayu. Implikasi lainnya adalah menurunya derajat kesehatan masyarakat. Keringnya sumber mata air membuat mereka harus memprioritaskan penggunaannya untuk keperluan primer, yaitu dikonsumsi serta memasak. Kebutuhan lain seperti mandi bahkan kebersihan perempuan yang sedang menstruasi menjadi prioritas nomor sekian. Dalam tahapan tertentu keadan-keadaan ini — dampak dari pembabatan hutan Besipa’e – – akan mengarah kepada terancamnya hak atas hidup dari warga masyarakat sekitar hutan.
Negara harus bertanggungjawab
Sebagai sebuah entitas yang dibentuk untuk tujuan kemaslahatan bersama, maka negara sepenuhnya bertanggungjawab atas keadan-keadaan sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Negara beserta aparatusnya berkewajiban melakukan langkah-langkah bagi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga.
Kondisi kritis yang dialami warga desa disekitar hutan Besipa’e telah mengakibatkan terlanggarnya hak-hak asasi mereka baik ekosob (ekonomi, sosial, budaya) maupun sipil politik. Pembabatan hutan yang dilakukan secara sitematis dalam beberapa tahap waktu yaitu; tahun 2003, tahun 2006 dan tahun 2008 yang memakan ribuan hektar hutan Besipa’e patut ditindak oleh negara dengan melakukan pemeriksaan terhadap Dinas Kehutanan Kabupaten TTS, terlebih menurut pengamatan warga pembabatan tersebut justru dilakukan oleh aparatur dari Dinas Kehutanan setempat. Termasuk melakukan pemerikasaan secara bertingkat.
Sudah saatnya negara melakukan upaya-upaya pemerikaan pro justitia terhadap pelaku pembabatan hutan dan selanjutnya melakukan langkah-langkah pemulihan atas hak-hak warga yang yang dilanggar. Termasuk mengembalikan pengelolaan hutan tersebut di bawah kontrol masyarakat adat setempat dengan hukum adatnya demi kemaslahatan warga masyarakat, serta terjaganya tatanan sosial dan budaya masyarakat adat di Ammanuban Selatan Kabupaten Timur Tengah Selatan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Hal ini sebagai pelaksanaan dari tanggung jawab negara atas penegakan HAM sebagai mana yang diatur dalam hukum internasional, konstitusi serta peraturan perundang-undangan di Indonesia.
*Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Opini – Harian Bali Express, pada Jumat, 23 Oktober 2009, hal. 4
**Penulis adalah: Majelis Anggota Wilayah PBHI Bali dan mantan pengurus Eksekutif Nasional WALHI
ironis bli, pagar makan tanaman …
bagai bola salju, efek lanjutannya bisa lebih parah. masyarakat bisa tergerak untuk meniru. konsep pemanfaatan hutan bukan lagi ‘giving and receiving’, tapi ‘eksploit and eksploit’
==================================
@dai:
itulah kenyataan hari ini.
salam
gendo