Pendobrak itu Telah Berpulang .
(Mengenang Wahyu)
————————————-
Oleh: Mokhtar
Perkenalanku dengan Wahyu tidak cukup lama, pertama kali di Kongres IPNI di Makasar tahun 2007 Kemudian kita sering ketemu dan terakhir kali pada pertemuan pembentukan Jothi di Jakarta. Dari interaksi itu saya mempunyai kesan anak muda yang energik, visioner, prespektif dan disiplin.
Saya mengenalnya Wahyu dari Bali, karena itu ketika Saudara Patri sms sekitar jam 12 malam dengan nama I Gusti Ngurah Wahyunda telah berpulang ke sisi Tuhan Yang Esa. Saya mencoba telpon untuk tanya siapa I Gusti Ngurah Wahyunda ? Tidak terjawab. Virus ngantuk menyebabkan saya tidak ‘nge’ kalau yang meninggal saudara Wahyu, tertutup oleh tulisan I Gusti Ngurah, nama dalam kasta Bali mempunyai tingkatan tinggi. Apalagi dalam perkenalan mengatakan ‘panggil aku Wahyu’ tanpa menyebutkan embel-embel I Gusti sebagaimana kebanyakan orang yang bangga dengan kastanya. Saya jadi teringkat dari seorang sahabat yang mengatakan : “Jika kita sepakat dengan egalitarianisme, mulailah dari hal yang kecil. Mulailah dengan memanggil nama secara setara.”
Wahyu dalam bicaranya cukup tegas, bersikap dan punya pandangan yang melebihi dari kebanyakan kawan-kwan pekerja HIV. Sikpanya melebihi yang pernah aku lihat dari kebanyakan orang yang mencoba mengekploatasi sakitnya agar bisa mendapatkan kuntungan pribadi. Saudara Wahyu memperlihatkan perlawanan dari kebanyakan orang, tidak mengeluh dan mengekploatasi sakitnya. Ia tetap tegar, dispilin pada garis organisasi, tanpa mengeluh dengan sakit sebagai alasan.
Kehilangan anak muda yang progresif pada usaha memperjuangan kaumnya tidaklah cukup hanya sekedar berduka yang lambat laun menjadi hilang begitu saja seperti kebanyakan orang meninggal tanpa meninggalkan sejarah. Padahal saudara Wahyu punya sejarah perjuangan yang seharusnya terenungkan, tercatat dan menjadi contoh bagi kita yang mengaku sebagai aktivis HIV. Bagi generasi tua mungkin masih ingat pada sosok Suzana Murni. Mudah-mudahan tidak lupa ! Seorang yang sangat gigih memperjuangan martabat orang yang terinfeksi HIV. Suzana adalah seorang pendobrak, pemikir pekerja keras dalam meperjuangan kehidupan orang terinfeksi HIV. Kata-katanya yang masih terekam : jika ada ular masuk ke rumah jangan tanya dari mana ular itu masuk tapi bagaimana caranya mencegah agar ular tidak masuk ke rumah. Analogi ini adalah jika ada orang yang terinkesi HIV jangan menanyakan ia tertular karena apa ? Karena itu akan membingkai pada wilayah hitam
-putih, orang menjadi terjebak pada moral. Menolong orang tidak perlu menanyakan latar belakang seseorang , wilayahnya sudah melebihi moralitas, yaitu, kemanusian.
Wahyu adalah anak muda yang visioner pada jamannya, begitu juga Suzana seorang pemula yang telah menancapkan tonggak perjuangan dalam penanggulangan HIV telah berpulang. Tapi apakah anak mudah mengenal Suzana kalau tidak ada, tomggak, paragrat atau tulisan yang merangkum perjuangannnya. Ketakutan yang sama juga apakah generasi yang akan datang, sepuluh tahun kemudian mengenal Wahyu yang gigih memperjuangan vonis rehab.
Karena itu, penting bagi kita untuk bisa merangkum pikiran dan perbuatannnya dalam memperjuangan kemanusian. Bahwa ada orang-orang yang telah menciptakan sejarah bagi penanggulangan HIV. Supaya kita tidak lupa pada jalur perjuangan, memperjuangkan mereka yang terpinggirkan. Suzana, Fredy, Wahyu dan teman-teman lain yang berpulang telah merintisnya.
Bendera perjuangan telah dikibarkan oleh Suzana, Fredy, Wahyu demi kemanusiaan yang bermartabat. Bagaimana dengan kita ?