Tulisan ini dibuat untuk Pemilihan Umum Kepala Daerah secara serentak di 5 Kab/Kota di Propinsi Bali tanggal 4 Mei 2010
PEMILUKADA; 5 MENIT UNTUK 5 TAHUN
Oleh: I Wayan ‘Gendo” Suardana*
Judul tulisan ini meminjam judul lagu dari Cokelat Band untuk menandai perhelatan puncak dari pemilukada di beberapa Kabupaten/Kota di Bali. Selasa 4 Mei 2010 adalah momentum yang cukup menentukan bagi 5 kabupaten/Kota di Bali (Kabupaten Badung, Tabanan, Bangli, Karangasem dan Kota Denpasar). Saat perhelatan puncak dari demokrasi prosedural digelar serentak untuk menentukan pucuk pimpinan eksekutif di daerah-daerah tersebut, setelah hampir beberapa bulan lamanya kampanye dengan berbagai janji dan visi misi digelar dengan begitu massif. Tentu saja seluruh janji kampanye yang dikumandangkan adalah bermuara kepada upaya dari setiap pasangan kandidat untuk mensejahterakan rakyat di masing-masing daerah.
Dalam pengamatan penulis terhadap berbgai kampanye serta visi misi seluruh kandidat yang “bertarung” secara serentak di 5 (lima) kabupaten Kota di Bali, terdapat 2 (dua) aras isu utama yang menjadi isu kampanye mereka yakni menyangkut isu Pendidikan dan Isu atas layanan kesehatan. Kedua isu ini rupa-rupanya menjadi isu yang sangat strategis sehingga menjadi semacam pondasi utama dari isus besar yakni kesejahteraan rakyat. Dalam tulisan ini penulis akan mengupas kampanye para kandidat dari sudut isu Pendidikan.
Mengenai Isu Pendidikan
Hak atas pendidikan menjadi pintu strategis bagi kampanye programatik setiap kandidat. Semenjak isu hak atas pendidikan mencuat beberapa tahun yang lalu terutama sejak dicantumkannya anggaran minimal 20% dari APBN dan APBD dalam UUD 1945, hampir dalam di setiap pemilukada isu ini menjadi tematik utama yang kerap dijabarkan sebagai program bebas SPP atau program pendidikan gratis.
Namun dalam beberapa kampanye Kandidat yang penulis ikuti isu tersebut hanya menjadi sebatas jargon politik belaka. Sangat sedikit kandidat yang mampu menjabarkan secara utuh bagaimana formulasi serta implementasi isu pendidikan gratis bagi rakyat. Sebagian besar hanya mampu menjabarkan isu ditataran permukaan saja, lebih sering malah berfilosofi dengan pernyataan-pernyataan “bahwa pendidikan penting bagi rakyat, pendidikan adalah investasi untuk mencetak kader-kader bangsa yang berkualitas”. Kalaupun ada yang menjabarkan lebih detail, rata-rata kandidat malah menjelaskan teknis-teknis yang sangat jauh dari sebuah gambaran sistem atau formulasi untuk mewujudkan program tersebut.
Ditengah ambiguitas anggaran pendididkan 20% dari APBN dan APBD, sejak diputus oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bahwasanya anggaran 20% untuk pendidikan tersebut adalah termasuk gaji pendidik dan anggaran rutin lainnya, sesungguhnya program pendidikan murah ataupun gratis untuk rakyat adalah program yang sangat sulit diharapkan. Politik anggaran yang berkembang adalah anggran yang prosentase belanja rutinnya lebih besar dari belanja publik. Demikian halnya dengan anggran 20% untuk pendidikan, yang sering terjadi anggaran pendidikan yang benar-benar digunakan untuk kepentingan pendidikan (belanja publik) adalah sangat kecil sekitar 6% s/d 8%. Selebihnya, walaupun besaran anggaran keseluruhan melebihi 20% APBD, belanja rutinlah yang menghabiskan sisanya.
Realitas politik anggaran tersebut menjadi gambaran utuh, betapa rumitnya mewujudkan pendidikan gratis untuk rakyat dalam rangka mewujudkan hak atas pendidikan. Jaminan bagi terwujudnya pendidikan gratis untuk rakyat akan makin sulit terwujud jika para Kandidat pemimpin eksekutif tidak mampu memberikan paparan yang komprehensif atau formulasi yang akan digunakan untuk mewujudkan hal tersebut.
Disisi lain, situasi pendidikan Indonesia saat ini tengah ada dalam cengkeraman neoliberalisme pendidikan atau liberalisasi pendidikan. Dimana pendidikan sedemikian rupa dibentuk dan diarahkan untuk memenuhi keinginan pasar. Sangat sedikit Kandidat yang mampu mengupas hal ini dengan baik. Malah banyak Kandidat yang tergerus dalam aras piker liberalisasi pendidikan. Sehingga gagasan atau program pendidikan gratis untuk rakyat sebenarnya menjadi tidak berarti apa-apa kecuali menjadi sebatas jargon pemanis dalam setiap kampanye. Hal ini makin kabur tatkala kampanye dipenuhi euforia politik massa rakyat termasuk suasana kampanye yang selama ini adalah jauh dari suasana dialogis atau dalam situasi debat yang intelek kecuali debat yang mengambil angle “sisi-sisi pribadi”.
Saatnya menggunakan hak pilih dengan cerdas
Dalam demokrasi langsung sebagaimana yang digelar saat ini, posisi rakyat sangat menjadi penentu dari masa depan setiap daerah minimal dalam kurun waktu 5 tahun ke depan. Mekanisme yang menempatkan rayat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi menjadi ujian bagi proses demokratisasi di Indonesia. Bererefleksi dari perhelatan pemilihan umum baik dalam skala nasional maupun dalam skala daerah, kerap kedaulatan rakyat hanya menjadi formalitas karena demokrasi langsung pada akhirnya tercederai oleh berbagai proses pemilu yang tidak berpihak secara esensial kepada kedaulatan rakyat. Kedaultan rakyat masih diukur sebatas mobilisasi massa rakyat dalam kampanye Kandidat atau sebatas diukur dengan alat ukur terbatas yakni tingkat partisipasi massa rakyat pemilih yang datang ke tempat pemilihan/bilik suara.
Padahal kualitas demokrasi tidaklah diukur dengan alat ukur yang sedangkal itu. Kualitas demokrasi harusnya seiring dengan peningkatan kualitas massa rakyat dalam menggunakan hak pilihnya. Dalam konteks ini, maka massa rakyat pemilih harus mampu memilih Kandidat pemimpin eksekutif dengan menempatkan keyakina atas kemampuan setiap Kandidat untuk mewujudkan janji-janji politiknya. Isu Pendidikan sdapat dijadikan ukuran dari kualitas setiap Kandidat, apakah layak atau tidak untuk dipilih. Tidak hanya sebatas menajadi cantolan jargon politik tetapi diukur dari kemampuan setiap Kandidat untuk menjabarkan janji atas pendidikan gratis untuk rakyat ditengah ambiguitas politik anggaran serta situasi liberalisasi pendidikan di Indonesia. Saatnya massa rakyat mewujudkan kedaulatan rakyat dengan menggunakan hak pilihnya secara cerdas, memilih berdasarkan keyakinan politik. Karena pilihan hari ini dalam waktu 5 menit sesungguhnya akan menyandera selama 5 tahun.
———————————————————-
*I Wayan “Gendo” Suardana SH adalah Majelis Anggota Wilayah PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) Bali dan Dewan Daerah WALHI Bali
Kemaren ikut milih ga Ndo? Kapan elo maju? Udah waktunya seorang Gendo melakukan aksi yang lebih besar untuk Bali 🙂 *Piss*
wah, pertanyaan arif ternyata mewakiliku. lengkap. tinggal nunggu jawaban gendo. 😀