KOTA DAN BUDAYA: RUANG PUBLIK, TITIK TEMUNYA?
Oleh:
Mudji Sutrisno
Diselenggarakan Atas Kerjasama
Goethe-Institut Jakarta dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta
Jakarta, 16 April 2009
I. PENGANTAR
Ketika sebuah lapangan alun-alun kota Surakarta yang berdampingan bahkan menjadi perluasan tata kerajaan berperan sebagai tempat masyara-kat bertemu bersama dan kadang protes halus dengan menjemur diri (pépé) di hadapan raja, di sana penghayatan ruang bersama dilaksanakan dalam makna budaya atau kultural.
Penghayatan itu bermakna budaya karena maksud temu di ruang ber-sama merupakan ungkapan saling bertemu dengan artian nilai agar harmoni hidup bersama bisa dilangsungkan terus dalam perayaan-perayaan kerak-yatan sekatenan, perayaan pasar malem, lebaran, acara seni panggung bahkan menjelang peralihan abad ekonomis (dengan dikenalnya uang seba-gai nilai tukar dan nilai pakai sekaligus), ruang bersama alun-alun masih me-nyatu dengan peran “ruang dalam” istana (nDaleman), lalu ruang “benteng” dan rekatan istana, religi dan tempat kumpul masyarakat untuk oasis kebu-dayaan dan kesenian mereka.
Ada sebuah rekatan tata nilai yang saling mengutuhkan antara pusat ja-gat kuasa raja, religi (yang ketika Islam masuk lalu ada masjid kerajaan), serta lapangan alun-alun untuk segala keperluan ungkapan perayaan hidup bersama dalam seni dan kebudayaan.
Sejak kapan ruang bersama bergeser fungsi dan berubah posisinya?
Pertama, sejak pemaknaan ruang bersama digeser dari bingkai nilai kul-tural dan fungsi temu bersama merayakan kebersamaan menjadi hanya ber-bingkai lapangan tempat panggung pameran dagang dengan kepentingan ekonomis dan nilai ekonomis industri menggusurnya menjadi pasar dagang jual beli.
Apakah itu fenomena modernitas, dalam arti, rasionalitas (pola pikir kal-kulasi untung-rugi) dalam ekonomi modern mengganti bahkan menggusur ekonomi tradisional yang tukar-menukar kebutuhan hidup lewat bahan-ba-han tanaman, buah yang disaling-tukarkan untuk kehidupan hari demi hari, sebelum uang dengan nilai tukarnya menggantikan ini semua?
Bila itu gejala modernitas, maka akibat-akibat apa yang mengenai peri-laku orang-orang dalam menghayati ruang bersamanya?
Pertanyaan-pertanyaan ini melanjutkan refleksi kedua dari paparan ini, yaitu soal penghayatan ruang bersama yang bergeser dari makna kultural menjadi ekonomis, serta apa yang berebut dan siapa yang memperebutkan ruang bersama itu: kekuatan-kekuatan manakah hingga orang-orang pemilik awal yang semula aktif kini menjadi penonton pasif?
Atau lebih tandas lagi, kini penonton-penonton ini sudah dijadikan objek konsumsi atau sekedar konsumen oleh dominasinya penguasaan ruang ber-sama di tangan pemodal?
Dalam buku-buku karya Jürgen Habermas seperti The Structural Trans-formation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois So-ciety (1989), lalu Knowledge and Human Interest (1988), dan The Theory of Communicative Action (1987), kita terbantu untuk mengkonsep-teorikan fe-nomena persoalan ruang bersama dalam benturan antara dunia nilai-nilai dan kepentingan, lalu ruang bersama manakah yang secara modern (bila proyek modernitas mau dikritisi agar dehumanisnya dan instrumentalis-nya yang berciri memperalat dan mengobjekkan) bisa dikurangi.
II. PIAZZA
Ketika penghuni-penghuni kota (citta dinanza) butuh tempat untuk mengekspresikan diri, mereka lalu berkumpul di alun-alun yang disebut “piazza” atau “square”. Ekspresi kemauan dan kritik yang mau diungkapkan, dicetuskan di lapangan kecil itu hingga lama-kelamaan lalu disebut sebagai ruang publik. Artinya, sebuah tempat dengan keluasan untuk berekspresi, berpendapat dan saling menghargai pendapat warga kota dalam sistem pe-merintahan kota yang demokratis.
Ketika ruang publik dihayati sebagai tempat berkumpul, di sana berkem-bang pula tradisi ekspresi bersama dalam “manifestazione”: ungkapan unjuk pendapat dan debat publik di mana hati boleh panas namun akal budi tetap dingin, dan argumentasi rasional harus tetap menjadi pemimpin polemik atau debat publik itu.
Mengapa “piazza” atau “plaza” yang arti harafiah sederhananya cuma berarti tempat lalu menjadi simbol ada atau tidaknya penghargaan terhadap suara publik dalam ruang publik? Mengapa pula, dalam sejarah peradaban berdialog dan berdebat ketika konflik kepentingan muncul, akhirnya “piazza” atau “plaza” menjadi indikator bagi ada dan tidaknya hak warga untuk mengritik, untuk bersuara?
Pertanyaan-pertanyaan di atas terjawab dalam proses berkembangnya apa yang disebut “polis” (kota dengan politik kesejahteraan untuk warga) lalu materi pokok yang dibahas dalam ruang publik yang lalu dikenal oleh seja-rah pemikiran sebagai “res publica” (republika dalam arti awal, yaitu pokok-pokok hak kehidupan publik rakyat atau warga di mana penanganannya ada dalam otonomi warga itu). Sejak “res publica” menjadi kata kunci untuk se-buah proses perjuangan hak-hak publik yang otonom dan harus dihormati oleh sistem kota atau sistem negara (state atau lo stato); maka di sana repu-blika akhirnya diidentifikasi sama dengan gerakan masyarakat (societas) untuk tetap berdaulat. Dan sejak itu pulalah “res publica” menyatu dalam langkah gerak serempak yang sama dengan perjuangan berdaulatnya rakyat atau berdemokratisasi.
Penghayatan sadar mengenai ruang publik oleh warga untuk politik ke-sejahteraan bersama (communitas publica) lalu menjadi ciri otentik dari per-juangan riil warga masyarakat untuk menolak mati-matian setiap usaha ne-gara yang mau membelenggu; campur tangan atau membatasi hak-hak sipil publik seperti hak berkumpul; berserikat, mengeluarkan pendapat dengan merdeka, serta hak publik mengontrol kekuasaan dalam mekanisme politik.
Ruang publik yang semula bermakna luas sebagai wahana hidup bersa-ma untuk berekspresi kreatif merdeka sebagai warga, di mana bermain-ma-in, bercengkrama, ngobrol dan menghirup udara segar, serta rekreasi dan relaksasi untuk hidup lebih lanjut lagi, pelan-pelan mendapatkan makna khu-susnya sebagai ruang publik politik perjuangan hak-hak publik untuk demo-krasi.
Yang membuat ruang bersama berubah dari tempat temu sebagai “piaz-za” atau “plaza” menjadi fungsi ekonomis pasar adalah masuknya kepen-tingan kelas-kelas ekonomis yang berubah sejak kapitalisme menjadi penen-tu hidup manusia.
III. IKLAN DAN KONSUMSI GAYA HIDUP
Life style atau gaya hidup merupakan salah satu cara bersikap yang dipakai oleh orang tertentu ketika ia mau tampil layak dan aktual di hadapan orang-orang lain.
Seharusnya, gaya hidup merupakan rentetan pengolahan sikap meng-hayati hidup dengan pertimbangan akal budi mengenai cocok tidak dengan “posture” (bentuk fisik); tingkat pendidikan, keadaan sosial (strata) pada ma-syarakat, serta pula cita-cita ke depan mengenai makna atau arti hidup, mi-salnya, sebagai orang Indonesia yang kelas menengah sosial serta mau tampil modern dan rapi cerdas sebagai cita-cita.
Yang seharusnya ini lalu ditampilkan sebagai gaya hidup dalam cara berpakaian, pilihan selera makan, pilihan bacaan koran, majalah atau buku, pilihan lagu-lagu, lalu kesemuanya itu ditampilkan secara fisik dengan mode dan “gaya” tertentu atau “trend” tertentu.
Di sini ada tiga sikap mengolah gaya hidup seseorang. Yang pertama, sikap seleksi dalam gaya hidup. Artinya, orang itu berpendirian terhadap arus mode yang ada dan hanya memilih yang baik, cocok dengan kepribadi-annya. Seleksi pertimbangannya adalah pribadinya yang cerdas dan nurani-nya tampil terhormat dan berharkat.
Yang kedua, sikap adaptasi yang berarti menyesuaikan terus-menerus dengan tawaran-tawaran ide dan citra modis, dan pria taman atua perempu-an cantik yang sebagian disesuaikan kondisi diri orang itu, keluarganya da-lam kondisi ekonomi, sosial, dan kultural. Adaptasi merupakan sikap tengah-tengah antara seleksi, dan nanti yang ketiga adalah imitasi. Bandingkan po-kok-pokok ini dengan perilaku sosial.
Yang ketiga adalah sikap imitasi da-lam gaya hidup. Inilah gaya hidup menirukan, membuat citra diri seseorang tiap kali diimitasikan dengan tokoh publik, bintang, atau arus mode dan gaya paling mutakhir, lalu itu semua dilahap dan ditirulah setotal-totalnya.
Pada sikap ketiga yaitu imitasi inilah kebanyakan orang dengan meniru gaya hidup idolanya atau kelas glamor idola dengan kesamaan makanan, gaya pakaian, gaya rambut, bahkan segi-segi yang secara sengaja ditawar-kan oleh pasar iklan sebagai pencipta citra atau “trend setter” diambil dan di-pakai sebagai cara hidup dan bergaya dalam hidup.
Ketika penentu gaya hidup yang dominan adalah pasar dengan iklan dan nilai konsumsi yang dipompa terus untuk terus membeli yang baru; terus tampil modern, berakibat konsumtifnya gaya hidup karena penampilan diba-yar amat mahal dengan membeli terus mode pakaian terbaru, peralatan ke-cantikan terbaru, mobil dan asesori-asesori untuk tampil elegan. Padahal, ja-tidiri penampilan yang sebenarnya tetaplah dari jiwa yang dewasa dan ke-cantikan dari dalam kepribadian seseorang.
Ketika orang tidak merasa berharga dan tidak merasa percaya diri sebe-lum makan McDonald, minum Coca-Cola, merokok Dunhill hijau berfilter, berparfum Dior, berbedak paling mutakhir, di situlah gaya hidup yang dicitra-kan oleh pasar konsumsi produk iklan benar-benar dihayati dalam sikap imi-tasi yang mengikuti gaya hidup tanpa sikap seleksi yang cerdas.
Mengapa imitasi gaya hidup kelas selebriti dan idola yang dijual pasar menjadi identitas populer bersama dengan cepat? Sebab, pencipta jualan gaya hidup dalam citra/idola-idola iklan sengaja merangsang nafsu terus membeli dan keinginan tampil baru yang naluriah selalu melekat pada diri manusia.
Dengan menghujani terus lewat pelipatgandaan bertubi-tubi pada napsu ini, maka tidak sempat lagi akal menyeleksi dan terbuailah (terangsanglah) nafsu konsumsi yang kemudian sebagai gaya hidup dikatakan: saya baru bermakna dan ada artinya keberadaan saya bila saya bila saya membelinya!
“I buy therefore I exist”: saya hanya berarti bila saya membelinya!
Gaya hidup konsumtif hasil pasar iklan ini paling banyak menghujani ge-nerasi remaja dan anak ketika pendidikan kepribadian dewasa untuk sikap seleksi tidak ditanam dalam proses lama sejak dini. Sebab, ketika teman-te-man si anak di SD dalam gaya kelas menengah hampir semua memakai ga-ya tas Tweety atau sepatu Nike, maka salah satu anak yang belum mema-kainya akan merasa belum berarti di hadapan teman-temannya.
Gejala seperti inilah yang menunjukkan bahwa sikap imitasi dalam gaya hidup sudah menuju ke lampu merah peringatan akan pentingnya penanam-an sikap percaya diri melakukan seleksi dengan budi untuk tampil diri dari kecantikan “dalam” atau jiwa pribadi.
Tantangan adaptasi buta dan imitasi buta terhadap gaya hidup konsum-tif yang merajalela pada saat pasar terus berlomba menawarkan idola, gaya hidup yang dijual mahal seharusnya membuat orang tua dalam keluarga; se-kolah atau imitasi pendidikan bersatu duduk bersama untuk menyikapinya agar bukan gaya hidup konsumtif, fisik tampan dan ayu yang nomer satu, te-tapi gaya hidup dari kecantikan batin pribadi-pribadi matang menyeleksi pi-lihan-pilihanlah yang sejak dini diproses jauh-jauh.
IV. KONSUMSI
Konsumsi (sebagai hegemoni gaya hidup Amerika) menurut George Rit-zer masuk dan menyerambah lewat “media presence”, yaitu teve, film, inter-net yang menerobos ruang imaji lebih cepat dan lebih telak dari “material reality presences” atau “physical presences”.
Ada tiga mediumnya sebagai serbuan ruang publik. Pertama, kehadiran restoran-restoran cepat saji. Kedua, kartu kredit atau ATM dan “katedral” konsumsi sebagai simbol eksistensi gaya hidup dan tampil anggun apabila sudah memakai dan membeli gaya hidup dan mengonsumsi yang ditawar-kan dalam “I consume therefore I exist”.
Fenomena pertama, dalam tahun-tahun terakhir kehadiran restoran-res-toran cepat saji. Amerika langsung mendorong negara-negara lain meniru cara-cara manajemen bisnis Amerika soal makanan cepat saji. Tidak hanya terjadi paradoks di mana pesona masak-memasak manusiawi untuk “kuliner” dilenyapkan, diganti pesona baru cepat terhidang, pelayan-pelayan bersera-gam yang terampil dan dimisteriuskannya proses ramuan saji cepat dalam eksotisme baru yang menyedot konsumsi generasi muda untuk menyandang gelar hidup gaul bila sudah nongkrong di sana.
Yang kedua, ATM atau kartu kredit menjadi simbol internasionalisasi bukti pembayaran yang ‘gagah’, penuh pesona bahkan ‘irasional’ bila di da-lamnya penuh hutang yang terus-menerus boros habis baru sadar bila dita-gih oleh “debt collector”. ATM adalah kartu ‘hutang’ secara riil dalam tran-saksi namun terselubung dalam simbol eksotis gaya hidup dan gaya mem-beli sebagai ang beruang (tapi berhutang!).
Yang ketiga, “katedral-katedral” konsumsi tempat merayakan konsumsi sebagai ritual gaya dan penghayatan mengonsumsi sebagai simbol ‘agama’ baru, yaitu konsumerisme dalam kapitalisme.
Mal, dengan pemusatan toko hiburan, pemenuhan hasrat makan, hasrat menonton dengan nikmat, dan hasrat tampil bergaya dengan melenggang ceria bahkan ‘show’ apa yang sedang dipakai di ruang publik menjadikan mal sebagai panggung “cat walk” kelas tengah ke atas dan punya penikmat-an gaya hidup minum kafe, makanan “junk food” simbol kemajuan dan per-gaulan urban/kota.
Belanja atau keliling mal dengan melihat etalase-etalase berjam-jam te-lah menyita waktu kreatif. Jalan-jalan di taman kebun, museum bidaya, atau seni yang kultural diganti ekonomi kapital di “shopping centers”.
Yang keempat, pusat-pusat perbelanjaan dalam mal dan maraknya mo-del “discount” di mal-mal itu telah menggusur ruang publik belanja di pasar-pasar tradisional. Pasar tradisional kalah bersaing tidak hanya oleh kepasti-an standard barang yang dijual, kualifikasi kadaluwarsa tidaknya dengan sti-ker jelas bisa dipakai sampai tanggal berapa tetapi pula rasa psikologis aman berbelanja jenis makanan dari pembeli karena jelas tidak usah tawar-menawar harga.
Ruang publik taman kota, kebun binatang, atau museum terkurangi di-kunjungi karena pusat belanja mal dilengkapi dengan pusat-pusat “teater bi-oskop”, “entertainment places”, “bookstore”, serta menjadi wahana jalan-ja-lan dan sarna berbelanja menjadi tujuan.
Mengisi waktu di hari Minggu atau hari senggang seluruhnya. Jadilah ja-lan-jalan sambil konsumsi dan menikmati hari libur menjadi suatu proses. Gaya hidup konsumsi yang dipenuhi semuanya (oleh pusat-pusat). Oleh pu-sat-pusat, belanja ini dari pemenuhan hasrat konsumsi, kebutuhan mata in-derawi cuci mata, sampai intelektual bacaan serta hasrat makan dan minum yang semuanya dikemas menjadi kebutuhan rutin setiap ‘akhir pekan’ tanpa terasa, tanpa sadar mereduksi ruang-ruang batin sadar, mereduksi ruang-ru-ang batin dan publik manusia hanya melulu satu dimensi, yaitu “konsumsi”.
V. DAYA SIHIR MAL
Jon Gross dalam tulisannya berjudul “The Magic of the Mall: An Ana-lysis of Form, Function and Meaning in the Contemporary Retail Built Envi-ronment”, menyatakan sebagai berikut:
“Para pengiklan berusaha menyatukan komoditas dengan simbol-simbol budaya yang umum dipahami dengan harapan tidak cuma memenuhi kebutuhan konsumer mengenai komoditasnya tetapi agar konsumer mengindentifikasi diri dengannya. Maka “you are what you buy”: identitasmu melekat tampil pada apa yang kau beli harus di-tambah langsung dengan “Anda membelinya di mana?”, maka ba-ngunan mal, letaknya, dirancang untuk mendorong pembeli menge-jarnya dan merasa bergengsi di tempat mal belanjaannya.”
Mal adalah mesin ajaib untuk belanja yang dimanipulasi hasratnya de-ngan arsitektur, setting lokasi, lanskap simbolik hingga sekaligus mengalami fantasi belanja di mal yang menggabungkan rasa belanja di ruang-ruang yang bersejarah tetapi sudah dikemas eksotis memenuhi hasrat belanja, ja-lan-jalan, nonton dan tampil diri sebagai identitas dengan menaruh mal di lanskap budaya pop yang menyatukan kepuasan pemenuhan hasrat ruang privat dan ekspresi citra ruang publik sebagai ‘gaul’, mampu membeli gaya hidup ‘modern’.
Dari sisi politik ekonomi, tempat seperti mal merupakan ‘political fact’, artinya, tempatnya di tangan kontrol kelas yang sedang berkuasa secara bi-rokratis dan pemilik modal. Untuk membangun tempat eksotis buat pusat be-lanja pengembang memanipulasi nostalgia kaum modernis maju yang dam-ba akan komunitas otentik yang khas sesuai stratifikasi sosial dan pemilikan.
Mentransformasi kenangan silam akan pasar-pasar tradisional sebagai “centrum” komunitas, kini dicipta lanskap dengan nostalgia ekologis hijau, misalnya pada “Country Club Plaza” di kota Kansas. Maka “Shopping Towns”
“would be not only pleasant places to shop, but also centers of cultur-al enrichment, education and relaxation, a suburban alternative to the decaying downtown.”
Ingatlah langsung China Town di Cibubur, American Cities dan Imaji-imaji Eropah yang dibangun di sana!
Ruang publik yang diwujudkan oleh ideologi nostalgia kenangan kun-jungan-kunjungan kota-kota anggun Eropah atau pusat-pusat dunia dipadu-kan dengan jalan setapak yang hilang karena di Jakarta selalu bermobil!
Gross menunjuk ciri-ciri ruang baru yang dikonstruksi di sekitar mal dan tempat relaksasi sebagai berikut:
1. “Shopping Center” sebagai “civic space”, artinya ditampilkannya mal dan pusat belanja sebagai ruang-ruang publik yang aman, enak, sehat dengan pesona nyaman terjaga di sana dengan bercengkrama dan ja-lan-jalan Anda akan menatap, melihat dan dilihat oleh yang lain dengan ‘gaya pakaian’, gaya jalan dan gaya hidup.
2. Pasar modern atau pusat belanja mal menjadi pula ruang liminal (me-nurut Victor Turner dalam Ritus, 1982) di mana mal tepat berada di an-tara eksotisme yang suci dan yang sekular, antara yang lokal dan glo-bal, antara yang resmi berjenjang dan bebas spontan. Ruang liminal ini memungkinkan Anda menjadi diri Anda. Coba yang aneh-aneh, lucu-lu-cu, termasuk yang mengatasi nilai baik buruk tanpa resiko disensor se-cara moral dan bebas dari pengawasan institusional.
3. The Shopping Center juga sebagai ruang transaksi di mana kompetisi dan discount saling berlomba dan kita memilih untuk terus memuasi ha-srat mengkonsumsi.
4. Ruang-ruang di mal dirancang menjadi taman firdaus dengan air man-cur instrumental dan mini alami yang oleh pengembang menjadi ruang-ruang instrumentalisasi “seakan-akan alami dan surgawi ekologis na-mun seemingly, make believe hanya di situ saja lantaran begitu pulang ke rumah, rasa dan imaji ini tersadar lagi!
VI. EPILOG
Ruang bersama yang awalnya dihayati secara kultural kemudian oleh rejim penentu makna ditambah rejim kelas pemenang kepentingan yang mengalahkan kelas-kelas bawah dengan modal dan kapital akhirnya tidak hanya mengubah peran temu bersama penghayatan ruang bersama dari kultural menjadi fungsional, instrumental, untuk kepentingan kelas bermodal, tetapi juga dalam istilah Antonio Gramsci, telah menguasai, dalam hegemoni sistem simbol dan makna hingga menundukkan kelas-kelas tak berpunya modal dan telah dihegemoni dalam menafsirkan hidup karena kesadaran kri-tisnya telah ditundukkan lewat pendidikan, tafsir realitas dengan cara “non-coercive” (tak memaksa namun yang dilumpuhkan adalah kesadaran kritis-nya), menjadi segalanya dimaterialkan, dibendakan dalam proses reifikasi.
Maka pertanyaan dasarnya, mengapa itu terjadi, bukankah kesadaran manusia itu kritis dan mampu mengetahui serta menghimpun informasi menjadi pengetahuan? Justru pada tahapan rangkuman pengetahuan (dari proses berkepentingan ingin tahu untuk “cognitive interest” akan informasi dan memakai pengetahuan), manusia memiliki berlapis-lapis kepentingan. Mulai dari mengiyakan informasi dan pengetahuan realitas seperti adanya (affirmative) sampai memakai pengetahuan secara kritis dengan kesadaran-nya untuk perubahan (tranformatif kritis), “pergulatan atau perang kepenting-an itulah yang menentukan akhir laga menang kalahnya.
Ketika pengetahuan dengan rasionalitas instrumental tidak digunakan untuk transformasi bertujuan peradaban bersama maka yang terjadi di ruang bersama adalah perang kepentingan dari anggota-anggotanya yang dime-nangkan oleh mereka yang bermodal; mereka yang mampu menyatukan pengetahuan dengan kuasa kapital untuk kepentingan ekonomis serta oleh mereka yang menguasai dunia-dunia simbolik dalam mengartikan makna ke-hidupan ini.
Karena itu, untuk menyelamatkan ruang bersama agar tetap demokratis dalam arti tiap orang secara fair menghayati hidup bersama dengan meng-hormati harkat dan ruang-ruang pribadinya dalam temu bersama, dibutuhkan syarat utamanya. Pertama, dialog terbuka buat membuka kepentingannya melalui komunikasi yang demokratis di antara peserta ruang bersama. Ke-dua, dialog komunikasi yang mencari terus-menerus titik temu konsensus ketika perbedaan kepentingan bertemu untuk kepentingan umum yang dida-hulukan demi kelangsungan hidup bersama dalam ruang bersama.
Konsensus-konsensus ini, dalam bacaan saya, sebenarnya menjadi ru-ang bersama tempat terbuka dialog untuk tulus membuka kepentingan ma-sing-masing dan membuka pula nilai-nilai penghayatan hidup dari ruang per-sonal ke ruang bersama dan diambil titik-titik temu konsensus untuk nilai dan kepentingan bersama atau yang dalam bahasa politis, ekonomis, kultural: kesejahteraan bersama atau kebaikan bersama (bonum commune). Sebuah cita-cita utopiskah?
Pustaka
Berry, John W., dkk., Psikologi Lintas Budaya, Jakarta: Gramedia, 1999.
Brydon, Ann, & Sandra Niessen (eds.), Consuming Fashion, Oxford: Berg, 1988.
Fyfe, Nicholas R., & Judith T. Kenny (eds.), The Urban Geography: The Reader, London: Routledge, 2005.
Gramsci, Antonio, Selections from the Prison Notebooks (ed. & terj.: Quintin Hoare & Geoffrey Nowell Smith), New York: International Publishers, 1971.
Gruen dan Smith, Shopping Towns USA, New York: Doubleday,1960.
Habermas, Jürgen, “The Public Sphere: An Encyclopedia Article”, dalam Stephen Eric Bronner & Douglas M. Kellner (eds.), Critical Theory and Society: A Reader (terj. Sara Lennox & Frank Lennon), London: Routledge, 1989.
Helas, Paul, Scott Lasth, & Paul Morris (eds.), Detraditionalization, Oxford: Blackwell, 1966.
Marcuse, Herbert, One Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society, Boston: Beacon Press, 1981.
Nastiti, Titi Surti, Pasar di Jawa: Masa Mataram Kuno, Abad VIII-XI, Jakarta: Pustaka Jaya, 2003.
Ritzer, George, MacDonaldization: The Reader, London: Pine Forge Press, 2006.
Williams, Raymond, Culture and Society, Middlesex: Penguin, 1960.