MENCERMATI KELIHAIAN KOMUNIKASI POLITIK SBY

gendovara

MENCERMATI KELIHAIAN KOMUNIKASI POLITIK SBY

Oleh I Wayan “Gendo” Suardana, S.H.*

Bila dicermati dalam kurun beberapa waktu belakangan ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baik dalam kapasitasnya sebagai presiden maupun petinggi Partai Demokrat kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan atas situasi yang berkembang dalam dinamika sosial kemasyarakatan di negara ini.

Salah satu pernyataannya adalah dalam pidato Presiden (8 Desember 2009) dalam menyambut Peringatan Hari Anti Korupsi Internasional (9 Desember 2009). Seperti biasa SBY mencoba menetralisasi pernyataan-pernyataan yang dia sampaikan sebelumnya terkait agenda aksi anti korupsi yang digalang oleh komponen masyarakat sipil. Kurang lebih dalam pidatonya tersebut. SBY menyatakan dukungan terhadap gerakan pemberantasan korupsi termasuk mendukung aksi peringatan hari anti korupsi internasional seraya menegaskan bahwa dia berada di garis paling depan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Tidak lupa sambil menyelipkan klaim prestasi-prestasi dalam bidang pemberantasan korupsi.

Pernyataan yang menurut penulis sungguh berbeda nuansanya dengan pernyataan yang SBY keluarkan sebelum-sebelumnya. Dalam beberapakali kesempatan, SBY berulangkali menekankan kekhawatiraanya atas rencana pelaksanaan aksi massa untuk memperingati hari anti korupsi yang digalang oleh kelompok sipil akan digunakan untuk kepentingan politik berupa penjatuhan posisinya sebagai presiden. Juga menyatakan bahwa aksi massa tersebut akan dibonceng oleh para penumpang gelap. Tidak cukup hanya SBY saja, aparat di bawahnyapun bersuara senada. Sehingga terkesan kekhawatiran ini telah menajdi kekhawatiran rezim.

Mungkin lantaran tekanan situasi politik yang berbeda sehingga respon SBY dalam penyikapan hari anti korupsi Internasional kali ini berbeda jauh dengan peringatan yang sama pada tahun 2008. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa di awal kepemimpinan jilid keduanya, SBY telah dihadiahi persoalan politik dan hukum yang berat. Mulai dari rekayasa kriminalisasi KPK sampai kondisi politik serius dimana hak angket atas kasus Bank Century bergulir begitu maju. Dapat dikatakan hak angket tersebut berbeda dengan 8 hak angket yang bergulir di era kepresidenan SBY yang pertama.

Namun paparan di atas dapat saja terbantahkan bila merunut kembali berbagai pernyataan SBY yang kerap mendramatisasi keadaan bahkan cenderung prematur. Mari cermati kembali sikap SBY dalam menanggapi tragedi Bom JW Mariot Jakarta (17 Juli 2009). Dengan sangat yakin SBY menyatakan bahwa tragedi bom tersebut berhubungan dengan persoalan politik terutama menyangkut kemenangannya dalam pilpres 2009. SBY mensinyalir bahwa ada kelompok-kelompok yang tidak suka dengan kemenangannya dan mencoba mengganggu termasuk merencanakan pendudukan KPU demi penggagalan hasil Pemilu. Bahkan dengan keyakinan diri yang tinggi berulangkali SBY menyatakan bahwa pernyataannya berdasarkan data intelijen, data yang valid dan seolah-olah tidak terbantahkan.

Namun demikian faktanya, setelah kasus pemboman hotel itu dapat dibongkar oleh aparat kepolisian, tidak satupun fakta-fakta yang dapat menjelaskan hubungannya dengan gangguan politik yang ditujukan terhadap SBY.

Beberapakali terkesan bahwa pernyataan yang disampaikan SBY cenderung tidak terbukti dan terlihat terburu-buru. Terkesan bahwa SBY salah langkah dalam menyikapi perekembangan dinamika politik. Bahkan banyak yang menganggap SBY telah gagal membangun komunikasi politik yang efektif.

Dengan sikapnya yang reaktif, banyak pengamat politik dan akademisi komunikasi poltik yang menyatakan komunikasi poltik SBY sangat buruk. SBY dianggap membuang energi dan waktu atas reaksinya terhadap komentar-komentar yang mengkritisi posisi dan kebijakannya. Penilaian ini termasuk tindakan SBY yang over-reaktif seolah melupakan suatu ketetapan dalam komunikasi politik, bahwa tindakan politik ternyata lebih penting ketimbang komunikasi politik yang bersifat verbal. Dalam teori pragmatis-informatif, seluruh tindakan komunikator adalah bagian dari komunikasi politik, dan menjadi elemen-elemen informasi yang bisa jadi cermin dari posisi dan reposisi politik sang komunikator politik di mata publik. Teori ini juga menekankan bahwa komunikasi politik secara non-verbal (baca: tindakan politik) lebih dominan dan signifikan dalam tindak komunikasi secara keseluruhan. Alangkah elegannya jika SBY diam, tidak terpancing, lebih berusaha membenahi dan meningkatkan kualitas tindakannya sejalan dengan tugasnya sebagai presiden, ketimbang memerangkap diri ke dalam jurang kebodohan komunikasi politik.

Namun berbeda dalam pandangan penulis. Tindakan komunikasi politik yang dilakukan SBY tidaklah meupakan kebodohan komunikasi politik. Bagi penulis, seluruh tindakan komunikasi politik SBY justru telah dihitung secara matang dan dilakukan dengan kesengajaaan. Bahkan hasil akhirnya selalu menempatkan SBY sebagai pemenang komunikasi politik. Bahkan menurut hemat penulis tindakan-tindakan mendramatisasi keadaan yang selama ini diperlihatkan SBY adalah sebagai pola komunikasi politik yang dianut SBY dan rezimnya.

SBY berhasil memanfaatkan posisi yang ada dengan mengeluarkan pernyataan-pernyatan yang mengambang dan bahkan bila perlu bersifat intimidatif. Contoh kasus dapat dilihat dalam kasus Bom JW Mariot dan Kasus peringatan Hari Anti Korupsi Internasional. Dengan lihai SBY mendramatisasi keadaan tersebut, dengan mendorong bahwa peristiwa tersebut adalah manuver dari kelompok-kelompok yang berseberangan serta ingin menjatuhkan posisi SBY. Dengan retorika politiknya SBY kemudian mampu mengintimidasi keadaan dan memotong gerakan sosial yang ada. Dan hal tersbut cukup efektif.

Dalam kasus rencana aksi peringatan Hari Anti Korupsi Internasional, menurut Fadjroel Rahman, bahwa pernyataan SBY telah “menimbulkan” kekhawatiran sebagian warga sehingga menyurutkan niat mereka untuk turut berpartisipasi. Isu-isu bahwa aksi tersebut ditunggangi, berpotensi anarkis pada akhirnya secara efektif menyerang psikologis warga.

Pernyataan tersebut memang dipastikan menimbulkan kontroversi, terlebih pernyataan senada keluar secara kompak dari bawahan SBY seperti Andi Mallarangeng, Menkopolhukam dll. Dan setelah kontroversi memuncak, lalu menjelang detik-detik momentum yang ada, SBY akan segera mengakhiri dengan pidato yang indah yang tentu akan berbeda jauh dengan pernyataan sebelumnya. Maka SBY lah yang jadi pemenangnya. SBY tetap akan nampak sebagai seorang presiden yang menghargai demokrasi, kebebasan berekspresi dengan membuat pidato yang “meralat” pernyataan sebelum-sebelumnya. Sementara di sisi lain efek pernyataan intimidatif yang diumbar sebelumnya masih belum hilang dan masih menghantui warga.

Demikian pula dengan sikap SBY dalam kasus kriminalisasi KPK. Walaupun banyak yang menilai komunikasi politik SBY dalam kasus tersebut buruk. Dimana pernyataan SBY dianggap bertele-tele dan mengambang, namun hasil akhirnya kembali dimenangi SBY dengan pidatonya pasca menerima rekomendasi Tim 8 yang dibentuk untuk kasus tersebut.

Penulis tidak hendak mengulas atau menafsir pernyataan-pernyataan dari SBY, namun dalam tulisan ini penulis hendak menyatakan bahwa dampak dari pola-pola yang digunakan oleh SBY dalam menyikapi perkembangan sosial kemasyarakatan terkait dengan proses demokratisasi di Indonesia sangat besar.

Pola komunikasi yang diterapkan oleh SBY dan timnya patut dicermati secara serius. Secara tidak sadar komunikasi tersebut mirip dengan bangunan dan kerangka komunikasi politik Suharto dan rezim Orde Barunya. Melakukan politik satu arah, selanjutnya menciptakan tekanan dan intimidasi kepada publik dan terakhir menangguk untung dari situasi yang ada.

Demi menjaga proses demokratisasi di negeri ini, sebaiknya SBY dalam konteks komunikasi politik berhenti mengunakan pola-pola seperti itu. Sebaiknya komunikasi yang dibangun dengan pihak lain didasari dengan sikap fair dalam setiap proses dan efek komunikasi politik itu sendiri. Artinya setiap tindakan komunikasi poltik yang dibangun baik oleh SBY dan juga timnya harus digunakan untuk membangun demokratisasi dan bukan untuk mempertahankan status quo.

============================================

* Penulis adalah Presidium Nasional- PENA’98 (Perhimpunan Nasional Aktivis ’98), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bali.

** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Total
0
Shares
5 comments
  1. SBY sptnya memang senagja menciptakan ketakutan itu pada masyarakat. dengan begitu masyarakat akan merasa terlindungi ketika dia mengambil sikap represif, misalnya.

    untung, masyarakat kita sudah jauh lebih sadar pada komunikasi horor ala SBY.

  2. Buat orang kayak kamu tu ya, semua orang lain itu jahat / goblok / sinister. Kayak kamu aja paling bener. Belagu. Pahlawan krecek kesiangan.
    ======================
    hehe
    keliru tuh mas,
    ga semua orang jahat kok dimata saya;
    hatta baik, tan malaka baik, Gus Dur Baik dan masih banyak lagi yang baik
    tapi kalo SBY sih emang ga ada baiknya kok di mata saya

    hahaa
    dan sah2 aja kan kalo saya menilai, seperti anda menilai saya?
    ehmmm

    salam

    G

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

MELAWAN PENYAKIT LUPA (Refleksi atas Tragedi Semanggi I)

Next Post

Pelarangan Buku di Indonesia: Hempasan dari Masa Lalu (John Roosa)

Related Posts